Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kopi Flores "Tenggelam" di Negeri Sendiri

Kompas.com - 15/08/2016, 18:15 WIB

Dua varian

Dua varian utama jenis kopi arabika yang telah dikenal adalah Arabika Flores Bajawa dan Arabika Flores Manggarai. Arabika Flores Bajawa di Kabupaten Ngada bahkan telah mengantongi sertifikat perlindungan Indikasi Geografis (IG) tahun 2010. Adapun Arabika Flores Manggarai dalam proses verifikasi IG. IG adalah penanda yang menunjukkan daerah asal produk karena faktor lingkungan geografis, termasuk alam, manusia, atau kombinasi keduanya, sehingga memberikan ciri dan kualitas tertentu produk itu.

Kopi arabika dari Bajawa di Ngada dinyatakan sebagai varian berbeda dengan kopi arabika produksi Manggarai, Manggarai Barat, dan Manggarai Timur. Perbedaan muncul terkait lingkungan. Setelah diolah, kopi Arabika Flores Manggarai biasanya menghasilkan aroma kopi bubuk yang terkesan manis dan menyimpan aroma rempah. Sensorial menunjukkan cita rasa herbal, floral, spicy, dan pepper, dengan tingkat kekentalan cita rasa sedang hingga tinggi.

Kopi Arabika Flores Manggarai memiliki rasa yang tidak pahit dan sepat. Rasa itu muncul akibat terapan petani dalam pemanenan. Hanya buah gelondong merah yang mereka petik.

Atas dasar keunikan itulah, Manggarai Timur mendaftarkan Perlindungan Indikasi Geografis ke Kementerian Hukum dan HAM. "Ini sebagai bentuk perlindungan terhadap identitas kopi daerah kami," kata John Sentis, Kepala Dinas Perkebunan Manggarai Timur.

Bupati Manggarai Timur Yoseph Tote mengatakan, sertifikasi itu sangat dibutuhkan, mengingat kondisi kopi di wilayahnya banyak dijual pedagang ke luar daerah, tetapi kemudian tidak disebut sebagai kopi Flores. Akibatnya, kopi Flores seolah tenggelam di negeri sendiri. "Kita butuh melindungi kopi Flores agar jangan terus-menerus diklaim kopi milik daerah lain," katanya.

Hamparan tanaman kopi arabika Flores membentang dari Ngada, Manggarai, Manggarai Timur, Manggarai Barat, Nagekeo, hingga Ende dengan total luas 18.575 hektar. Dari luas itu, tanaman yang telah berproduksi seluas 12.150 hektar. Adapun tanaman dengan usia belum produktif 5.918 hektar dan yang sudah tua 507 hektar.

Demi melindungi kopi Flores, menurut Kepala Dinas Perkebunan, Pertanian, dan Peternakan Ngada, Korsin Wea, telah dibuat perda tentang pengendalian lalu lintas perdagangan kopi. Perda telah berlaku Maret lalu. Upaya ini adalah komitmen bersama antara pemerintah daerah, petani, dan para pemangku kepentingan lain.

Korsin menyebutkan, dari 2.000 ton produksi tahunan Ngada di lahan 5.000 hektar, baru 20 persen hasil kopi yang dipasarkan ke luar daerah dengan mengantongi merek Kopi Arabika Flores Bajawa, yang merupakan komoditas asli daerah itu. Sebagian besar kopi yang dijual dengan harga murah oleh pedagang sejumlah daerah di Sumatera, Sulawesi, dan Jawa, selanjutnya dijual dengan merek kopi setempat. Kondisi inilah yang tidak menguntungkan petani daerah asal kopi.

Karena itu, pihaknya mulai mengawasi peredaran kopi lokal. Setiap pedagang yang menjual kopi arabika Bajawa ke luar daerah wajib melapor dan mendapatkan surat keterangan dari Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) sebagai pemilik sertifikat IG sejak 2010 dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Tujuannya agar komoditas kopi tersebut memperoleh keterangan benar berasal dari kawasan indikasi.

Hasil kopi yang dipasok tanpa mengantongi surat keterangan MPIG bisa dikenai sanksi berupa pemblokiran produk.

Menurut Korsin, pihaknya terus mengupayakan pemberdayaan bagi petani agar menerapkan praktik tanam berkelanjutan dan bantuan peremajaan tanaman kopi tua. Petani semakin dituntut memahami besarnya kebutuhan kualitas kopi yang baik. Standar berkelanjutan itu mulai dari praktik penanaman ramah lingkungan, tanpa pupuk kimia, hingga pemrosesan yang benar seusai panen.

Semua kebijakan ini, kata Korsin, diharapkan akan semakin mengangkat kualitas dan citra kopi Flores. "Jika diolah sesuai standar yang baik, harga kopi jauh lebih tinggi," katanya.

Ia membandingkan harga kopi arabika yang diolah dengan standar ekspor memiliki harga dua kali lebih tinggi daripada yang dijual bebas oleh tengkulak ke luar daerah. (Kornelis Kewa ama/Frans Pati Herin/Irma Tambunan)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Agustus 2016, di halaman 24 dengan judul "Kopi Flores 'Tenggelam' di Negeri Sendiri".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com