Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menjejaki Petilasan Multatuli

Kompas.com - 30/06/2016, 10:14 WIB

Hal yang sama dikatakan oleh Basran-tokoh adat Masyarakat Natal. Katanya, "Padahal masih sering ada orang bule datang mengunjungi Natal, mencari petilasan Douwes Dekker." Apa pun yang terjadi, halaman belakang rumah itu saat ini ditumbuhi rumput liar, tempat buangan sampah, sementara di depannya-persis di samping Sumur Multatuli yang sampai saat ini airnya masih dipakai penduduk setempat-jadi peceran bekas limbah rumah tangga.

Sama seperti bekas rumah Douwes Dekker, sumur tidak terpelihara. Padahal, di mulut gang tertulis nama Sumur Multatuli, lengkap dengan papan penunjuk arah. Padahal, dengan dua pipa menghunjam masuk ke sumur, satu pipa menyedot air untuk keperluan sanitasi SD Negeri 1 Natal dengan 380 siswa, satunya lagi untuk rumah penduduk di sekitar sumur, sumur ini berfungsi. Airnya jernih dengan beberapa ikan mujair berenang, di kanan-kiri rumput liar serta beberapa dinding yang melapuk rontok. Multatuli. Sumur berusia lebih dari 1,5 abad itu masih berfungsi.

Di pintu masuk halaman sekolah berdiri kokoh bekas bangunan beton, berukuran 2 meter x 1,5 meter, konon bekas gudang uang di zaman Douwes Dekker. Kosong, biasa dipakai anak sekolah bermain-main sewaktu istirahat. Relatif bersih, apalagi di depan bangunan-lebih tepatnya kotak beton-itu ada ruang kosong yang terbuka. Sebutan gudang uang, mungkin benar, sebab selain ketebalan temboknya juga ada bekas pintu besi berlapis dua yang ketebalannya tidak kalah dari temboknya. Bedanya bekas tempat tinggal Douwes Dekker mirip gubuk, gudang uang ini kuat, sementara kantor Douwes Dekker kuat dan masih bisa ditempati sampai sekarang-bangunan rumah yang sudah pasti direnovasi berkali-kali yang terletak persis di depan sekolah dan hanya dipisahkan oleh Jalan Multatuli di depannya.

Pagi itu, kota Natal ramai. Sedang kena giliran hari pasaran, kesempatan bertemunya berbagai barang dagangan sekaligus jadi sarana komunikasi antara penduduk. Barang dagangan apa saja bisa diperoleh di sana, mulai dari hasil bumi dan hasil laut, baju sampai HP beragam merek berikut pernik-perniknya. Ikan yang dugaannya menjadi barang dagangan utama di kota pantai itu, tidak lebih dari lima palak. Mengapa? "Di sini orang tidak suka makan ikan, harganya mahal. Nelayan juga sedikit," kata seorang pedagang ikan yang selama berjam-jam menunggu kedatangan calon pembeli.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com