Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Suara Tembakan Warnai Pembubaran Acara "Lady Fast" di Yogyakarta

Kompas.com - 03/04/2016, 20:13 WIB

Menurutnya, acara yang digelar mencakup diskusi mengenai isu-isu perempuan, lokakarya pemutaran film, dan hiburan musik.

“Intinya kami membahas mengenai beragam masalah yang dialami perempuan, seperti kiat menangani kekerasan seksual. Kami sama sekali tidak mengusung ideologi atau agama tertentu,” kata Pramilla kepada wartawan BBC Indonesia, Jerome Wirawan.

Dia mengaku acara itu diadakan di Survive Garage, sebuah ruang komunitas seni yang berwujud rumah.

“Artinya, acara yang kami adakan berada di ruang privat, bukan ruang publik,” katanya.

Acara Lady Fast, lanjutnya, telah mendapat persetujuan dari rukun tetangga setempat dengan perjanjian acara tidak boleh diselenggarakan di atas pukul 23.00 WIB.

Peserta Lady Fast, kata Pramilla, mencapai sedikitnya 50 orang. Mereka merupakan anggota komunitas perempuan dan ada pula yang sengaja berkunjung melihat karya seni.

Kiprah ormas

Kiprah ormas yang mengatasnamakan Islam di Yogyakarta bukan kali ini terjadi. Pada Februari lalu, Pondok Pesantren Al-Fatah di Bantul yang dihuni sejumlah waria ditutup oleh Front Jihad Islam.

Camat Banguntapan, Jati Bayubroto, mengatakan alasan penutupan karena pesantren tersebut tidak memiliki izin dan bertentangan dengan nilai-nilai islami, serta pernah ditemukan miras di lokasi tersebut.

Padahal, sebelumnya kepolisian di Yogyakarta menegaskan akan memberikan jaminan keamanan bagi pesantren tersebut setelah adanya ancaman penyegelan.

Lies Marcoes-Natsir selaku pegiat perempuan dan Islam pada lembaga Rumah Kita Bersama, memandang reaksi polisi di Yogyakarta sebenarnya menunjukkan suatu pertanda.

“Ada dualisme hukum di negara ini. Pertama, hukum positif yang dibangun dari pendekatan sekuler. Lalu, selanjutnya ada kekuatan hukum primordial yang basisnya dari pandangan keagamaan. Hukum primordial ini masuk ke ruang publik dengan mengambil alih peran negara yang seharusnya tidak diperbolehkan,” kata Lies.

Jika pengambilalihan itu terus dibiarkan, lanjut Lies, menunjukkan bahwa negara mengakui ada kekuatan lain dalam hal penegakan hukum yang seharusnya menjadi wewenang negara.

“Ini negara yang berdaulat. Bagaimana mungkin sebuah kekuatan lain, apapun basis alasannya, mengambil alih peran penegakan hukum?” tanya Lies.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com