Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Legenda Gerhana Matahari dari Puncak Menoreh

Kompas.com - 08/03/2016, 09:54 WIB
Kontributor Magelang, Ika Fitriana

Penulis

MAGELANG, KOMPAS.com - Bagi sebagian masyarakat yang tinggal di Magelang dan beberapa daerah di Jawa Tengah, gerhana matahari total diyakini merupakan waktu ketika buto (monster) bernama Batara Kala sedang mencaplok (memakan) matahari.

Pada saat itulah, para orangtua harus menyembunyikan anak-anak mereka di kolong tempat tidur dan menyiapkan sesajen di atasnya. Tujuannya agar anak-anak mereka tidak ikut dicaplok oleh buto jahat yang sedang turun ke bumi.

Dikisahkan oleh seorang budayawan asal Magelang, ES Wibowo (58), asal muasal mitos Batara Kala mencaplok matahari datang dari negeri kayangan Suralaya yang berada di puncak tertinggi pegunungan Menoreh, perbatasan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah dan Kulonprogo, DIY.

Konon di puncak itu terdapat punthuk songo (sembilan) yang dihuni oleh sembilan Betara atau dewa. Suatu ketika, Batara Guru (Pemimpin nan Dewa) hendak memberikan air yang memiliki tuah luar biasa. Air yang disebut Tirta Kamandanu itu dapat menyembuhkan penyakit, memberikan umur panjang serta menyejahterakan umat.

Seluruh Batara berkumpul untuk mendapatkan air itu dari sang pemimpin kecuali Batara Kala. Namun Batara Kala yang licik berhasil menyusup di antara Batara yang sedang mengantre air itu.

Ia menyamar menjadi Batara Indra (Batara Hujan) dan berhasil meneguk air berkhasiat itu. Keberadaan Batara Kala akhirnya diketahui oleh Batara Surya (Batara Matahari). Ia marah lalu melaporkan perilaku Batara Kala yang licik itu kepada Batara Guru. Batara Kala dihujat dan diserang oleh Dewa Wisnu.

"Dari peristiwa itu, Batara Kala bersumpah akan membalas perbuatan Batara Surya. Pada saat-saat tertentu ia akan mencaplok atau memakan matahari, dan saat itulah terjadi gerhana matahari di bumi," kisah ES Wibowo.

Larangan saat gerhana

Ketika gerhana matahari terjadi, orangtua melarang anak kecil keluar rumah. Terutama anak-anak yang lahir pada saat fajar (julung wangi), siang (julung sungsang) dan petang (julung caplok).

Orangtua juga harus menyiapkan sesajen di atas tempat tidur berupa kopi pahit, air putih, rokok klembak, dan bunga merah putih.

"Kalau akan gerhana matahari, orangtua dahulu selalu berpesan, 'Jangan keluar rumah, nanti ikut dicaplok buto,'" katanya.

Tidak hanya untuk anak-anak, bagi wanita hamil juga tidak diperbolehkan keluar rumah karena dikhawatirkan anak dalam kandungan akan memiliki bibir sumbing seperti bentuk gerhana matahari.

Wanita hamil harus membuat bubur merah mutih sebagai tolak bala. Saat gerhana matahari, dunia menjadi gelap gulita. Masyarakat meyakini kegelapan itu menjadi pertanda akan datangnya penderitaan, pegeblug atau wabah penyakit dan paceklik. Itulah sebabnya warga berlarian untuk memukul kentungan dan lesung untuk memberikan peringatan bahwa bencana akan datang.

"Warga juga akan memukul-mukul batang pohon buah dengan tujuan agar buah-buahan tidak rusak," paparnya.

Berpikir positif

Namun ES Wibowo menekankan bahwa legenda Batara Kala berikut mitos-mitos yang berkembang di masyarakat tidak wajib diyakini. Masyarakat boleh percaya dan boleh juga tidak.

Ia pun mengimbau untuk tetap berpikir positif karena ada sesuatu yang baik dari mitos itu. Kata ES Wibowo, ketika gerhana matahari terjadi membuat situasi tiba-tiba gelap, lalu tiba-tiba terang lagi, perubahan drastis ini ternyata mempengaruhi kondisi tubuh manusia.

"Biasanya kita akan bingung dan pusing jadi disarankan untuk di dalam rumah saja, atau melihat gerhana dengan media air," jelas pria yang pernah menerima penghargaan sebagai Senior Sastra dan Seni Ritual oleh Pemkot Magelang itu.

Salah seorang warga Pucangsari Kota Magelang, Kurniawati, menceritakan pengalamannya saat Indonesia mengalami gerhana matahari total pada tahun 1983 silam.

Meski terkesan menakutkan, namun gerhana matahari menjadi momentum langka yang dinanti-nantikan anak-anak.

"Kami takut, tapi juga penasaran, kami semua bersembunyi di dalam rumah, lalu shalat gerhana bersama," kata dia.

Kala itu, pemerintah juga mewanti-wanti masyarakat untuk tidak keluar rumah, apalagi sampai melihat langsung penampakan gerhana matahari di langit.

"Katanya berbahaya, kalau mau lihat juga harus pakai air di ember atau pakai kacamata," kenang dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com