Peristiwa bersejarah lainnya adalah gelombang besar yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004. Ini menginspirasi orangtua memberi nama mereka Tsunami.
Dinas Registrasi Kependudukan Aceh mencatat, terdapat 31 orang bernama Tsunami. Sebagian besar mereka lahir ketika tsunami, dan sisanya lahir beberapa bulan setelahnya. Umumnya, mereka berada di pesisir barat-selatan Aceh, yakni tempat terdampak tsunami paling parah di Aceh.
Salah satu dari mereka adalah Halimah Rus Tsunami yang lahir sehari menjelang tsunami, lalu dinamai lima hari setelah tragedi itu. Halimah berarti anak cerdas, sedangkan Rus merupakan nama panggilan bidan yang membantu persalinannya.
”Melalui nama itu, saya dan suami ingin Ami (panggilan Halimah Rus Tsunami) menjadi anak pintar, berguna untuk orang lain, dan selalu mengingat kebesaran Tuhan. Bencana tsunami adalah bukti kebesaran Tuhan,” kata Siti Dahliati (39), ibunya.
Ami tidak mempermasalahkan itu karena setelah menonton VCD tentang tsunami, dia paham namanya terkait peristiwa besar sehingga dia layak bangga.
Direktur Pusat Kajian tentang Representasi Sosial Risa Permanadeli mengatakan, di Indonesia, nama bukan sekadar penanda individu, tetapi juga catatan. Ketika terdapat peristiwa besar, dengan sendirinya peristiwa itu ingin diabadikan.
”Orang zaman dulu jarang menggunakan nama anak sebagai pengingat ikatan cinta orangtua, tidak seromantis itu. Baru belakangan saja nama anak menjadi pengingat kisah cinta orangtuanya,” ujarnya.
Baca juga: Ketika Orang-orang Minang Sempat Takut Memakai Nama Asli Daerah
Nama memang tak sekadar nama. Nama juga bercerita tentang wajah masyarakat di suatu masa. Ia juga dapat menjadi perekam sejarah negeri berikut dinamika sosial politik yang melingkupi. (EKI/EGI/WKM/CHE/SF/INE/DRI/AIN)
------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Februari 2016, di halaman 1 dengan judul "Sebut Nama Saya, Andy Go To School...".