Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

ACC: Pemberantasan Korupsi Tak Sejalan dengan Nawacita

Kompas.com - 09/12/2015, 01:54 WIB
Kontributor Makassar, Hendra Cipto

Penulis

MAKASSAR, KOMPAS.com - Anti-Corruption Committee (ACC) menilai, pemberantasan korupsi sepanjang 2015 melemah. Puluhan kasus korupsi di Kepolisian maupun di Kejaksaan mandek.

Menurut Sekretaris Eksekutif ACC Abdul Kadir Wokanubun, pelemahan gerakan antikorupsi membidik KPK.

Kondisi ini, menurut dia, bertolak belakang dengan Nawacita yang diusung pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Salah satu poin Nawacita adalah mendorong penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. (Baca juga: Pegiat Anti-Korupsi Gelar Aksi "Bersihkan DPR")

"Setahun terakhir, ACC Sulawesi mencatat beberapa isu yakni pelemahan KPK melalui revisi UU KPK, kriminalisasi terhadap pimpinan dan penyidik KPK, serta pimpinan KPK titipan, dan revisi UU KPK dengan pasal-pasal dalam revisi UU KPK yang tidak menunjukan penguatan," kata Abdul Kadir, Selasa (8/12/2015).

Ia mencontohkan usulan perubahan dalam pasal terkait penyadapan Revisi UU KPK. Melalui revisi tersebut, kasus yang ditangani KPK dibatasi hanya yang mengandung kerugian negara Rp 50 miliar.

Muncul pula usulan oembatasan umur KPK menjadi 12 tahun penjara. "Serta beberapa pasal selundupan lain merupakan agenda terselubung untuk melemahkan kerja-kerja KPK Kriminalisasi Pimpinan dan Penyidik KPK Kriminalisasi Abraham Samad (AS) dan Bambang Widjojanto (BW)," kata Kadir.

Belum lagi kasus hukum yang dituduhkan kepada Ketua KPK nonaktif Abraham Samad dan Wakil Ketua KPK nonaktif Bambang Widjojanto.

Kasus keduanya terjadi di tengah gencarnya upaya KPK dalam memberantasan kasus korupsi, khususnya kasus besar seperti BLBI dan Century. (Baca: "Kata Pemberantasan Korupsi seperti Tempe yang Jadi Makanan Sehari-hari")

Selain itu, Kadir menilai adanya upaya pelemahan KPK melalui proses hukum terhadap penyidik KPK Novel Baswedan.

"Kriminalisasi terhadap penyidik KPK Novel Baswedan jarak waktu 9 tahun antara terjadinya tindak pidana yang disangkakan (2004) dengan proses pidana yang dilakukan terhadap NB (2013),"  kata Kadir.

"Saat NB (Novel Baswedan) di KPK, menguatkan tudingan kriminalisasi yang sulit dibantah. Penetapan tersangka terhadap NB juga mengindikasikan pelemahan KPK secara terencana. Mandeknya sejumlah kasus korupsi ditangan Plt Pimp KPK," tutur dia.

Kasus KPK mandek

Kadir juga menilai penanganan sejumlah kasus di KPK mandek setelah Abraham dan Bambang digantikan pimpinan sementara Taufiequrachman Ruki, Indryanto Seno Adji, dan Johan Budi.

Sejumlah kasus yang dinilai mandek di antaranya penyelidikan kasus BLBI, penyidikan kasus Century, rekening gendut Kepolisian, dan kasus cek pelawat. (Baca: Melawan Korupsi adalah Harga Mati)

"Plt (pelaksana tugas) pimpinan KPK juga secara nyata melemahkan KPK secara institusi dengan menyetujui revisi UU KPK yang memuat pasal-pasal pelemahan. Plt pimpinan KPK tidak menunjukkan langkah konkrit dalam kasus Novel Baswedan yang sarat kriminalisasi. Plt Pimp KPK malah mendorong NB mengikuti proses hukum," tutur dia.

Kasus mandek di Sulselbar

Direktur Riset ACC Wiwin Suwandi menambahkan, selain kasus-kasus tersebut, ada pula kasus yang mandek di tangan kepolisian dan kejaksaan Sulselbar.

"Contohnya kasus korupsi gerakan peningkatan produksi dan mutu kakao nasional pada Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Luwu yang sumber pembiayaannya Dari APBN 2009 dengan kerugian negara Rp 5,4 miliar," ujar Wiwin.

Dalam menangani kasus ini, Kejati Sulselbar mengeluarkan surat penghentian penyidikan pada Juli 2012. (Baca: Ruki Dianggap Gagal Selamatkan KPK dari Upaya Pelemahan)

Kasus ini menyeret tiga tersangka yang dua di antaranya telah divonis. Satu tersangka lainnya, yakni Saleh Rahim, hingga saat ini belum diproses di pengadilan.

Kasus lainnya yang disoroti ACC adalah kasus bansos Sulsel 2008 yang menyeret dua tersangka dari pihak eksekutif, yakni Andi Muallim dan Anwar Beddu.

Kasus ini juga menyere empat tersangka dari pihak legislatif, yakni Adil Patu, Mustagbir Sabri, Kahar Gani dan Mujiburrahman.

Terkait lasus ini, menurut Wiwin, hasil audit BPK menunjukkan adanya proposal dana bansos fiktif dengan kerugian negara Rp 8,8 miliar.

Namun, lanjut Wiwin, Kejati Sulselbar melakukan tebang pilih dengan tidak mengusut aktor lain yang diduga terlibat. (Baca juga: Kapolri: Perlu Ada Kriteria Keberhasilan Pemberantasan Korupsi)

Bukan hanya itu, ACC mengkritik penanganan laporan terkait indikasi penyelewenangan dana bansos Kabupaten Sidrap 2011-2012.

BPK Sulsel menyatakan, ada dana yang tidak dapat dipertanggungjawakan peruntukannya yang merugikan negara sebesar Rp 4 miliar lebih.

Tetapi, lanjut Wiwin, hingga saat ini kasus tersebut tidak jelas penanganannya. ACC telah melaporkan kasus ini sejak 2013 ke Kejaksaaan Tinggi Sulsel.

Selain itu, ACC menyoroti kasus logistik KPU Sulsel 2013. Menurut Wiwin, ada indikasi permainan lelang dalam pengadaan logistik KPU tersebut.

Dugaan ini, lanjut Wiwin, diperkuat dengan putusan KPPU Nomor 10/KPPU-L/2014 yang menyatakan adanya indikasi kerugian negara Rp 5,6 miliar. (Baca juga: Kuatkan KPK dan Selalu Berantas Korupsi di Indonesia)

Kasus lainnya adalah pengadaan alat laboratorium bahasa Dinas Pendidikan Kabupaten Wajo 2011 yang diduga merugikan keuangan negara Rp 1,1 miliar.

Terkait kasus ini, ACC menyoroti langkah Kejaksaan Tinggi Sulselbar yang menganulir status tersangka Syarifuddin Alrif.

"Padahal sudah ada kerugian negara Rp 1,7 M dengan 3 tersangka dan kasusnya mandek," urai Wiwin.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com