Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketika Tangis Warga Tapak Semen Luluhkan Hakim

Kompas.com - 18/11/2015, 08:01 WIB
Kontributor Semarang, Nazar Nurdin

Penulis

SEMARANG, KOMPAS.com – Tangis warga Kabupaten Pati, Jawa Tengah pecah seketika petang itu. Di ruang sidang yang tak lebih 20 meter persegi, tidak ada yang menduga sebelumnya, mereka bisa kompak menangis, tersedu.

Pemantiknya, tentu adalah majelis hakim Pengailan Tata Usaha Negara Semarang. Hakim secara bulat mengabulkan gugatan mereka.

Lima warga Pati yang mewakili warga yang tidak menyetujui pabrik semen berdiri mengajukan gugatan. Maret 2015 lalu.

Surat Keputusan Bupati yang mengizinkan pabrik semen kemudian digugat. Gayung bersambut. Warga mendapat pendampingan dari Jaringan Masyarakat Peduli Kendeng, dan Lembaga Swadaya Masyarakat dalam bidang lingkungan.

Semenjak itu, warga pun berjuang. Mereka rutin tiap pekan mendatangi persidangan. Menggunakan truk, sesekali bus dari Pati ke Semarang.

Energi mereka seolah tak pernah habis. Tak seperti orang kota ketika menghadapi persoalan, mimik mereka jelas terlihat takut. Wajah mereka sayu. Sesekali batuk menyertainya karena ruangan ber-AC.

Warga kampung itu kemudian mau tak mau melihat proses persidangan di kota, mengikuti gaya orang kota. Tentu bisa dibayangkan, sikap mereka ketika bersidang.

Tatapan lemah mereka dari kampung tak bisa menutupi itu. Apalagi mayoritas mereka memakai pakaian serba hitam, celana di atas mata kaki, serta ikat kepala.

Dari Kampung Kendeng, mereka berjuang. Mereka beradaptasi. Saat sidang, mereka merekam. Dengan ponsel yang ada, mereka mengabadikan momen persidangan.

Dari sekian warga menangis itu, muncullah seorang perempuan paruh baya. Kanah namanya, usianya sekitar 45 tahun. Ibu ini tiba-tiba masuk dan menangis di persidangan.

Perangainya terlihat jelas, karena memang berbeda dengan pengunjung lainnya. “Kalau saya gak berjuang seperti ini, siapa yang memperjuangkan nasib rakyat kecil seperti kami ini,” ujar Kanah, dengan mata sembab.

Selama sidang lebih dari 7,5 jam, Kanah berdiri di tengah pintu ruang sidang. Ia memakai tas kardus yang dibungkus sak beras Bulog.

Sebagai petani, ia memakai caping, yang kemudian ada atribut tolak Pabrik Semen. Kanah terlihat “kumel” karena sudah tiga hari ikut jalan long march sejauh 122 kilometer memperjuangkan tanahnya.

Di punggungnya berkibar bendera merah putih, dan bendera hitam bertuliskan JMPK.

Tangisannya yang terus menerus itu kadang membuat pengunjung iba melihatnya. Salah seorang pengunjung, Mega menawarkan duduk kepadanya. Namun ditolaknya.

"Saya tawari duduk juga tak mau. Maunya berdiri terus,” timpal Mega.

Kanah adalah satu dari potret petani Kendeng. Ia warga Desa Brati, Kecamatan Kayen, Pati. “Saya punya sertifikat lahan, sawah. Saya gak mau jika harus digusur karena semen, terus saya nanti hidup di mana?” keluh dia.

"Kan itu hak saya. Pemeritah tak bisa memaksa kalau kami tidak mau,” ujar Kanah.

Tanah mereka di Kendung diklaim subur, juga potensial untuk ditambang batu gamping dan batu lempung.

Para tetanngga yang ikut juga simpati kepadanya. Kata mereka, “dia maunya begitu (berdiri). Dia gak puas kalau gak dengar sidang secara langsung,” ujar ibu-ibu lainnya.

Perjuangan warga desa itu agaknya membuat para pihak sadar. Tak selamanya pemerintah bisa memaksakan kuasanya kepada rakyat.

Hakim dengan nuraninya memutuskan dengan melihat sisi lain dari perjuangan masyarakat Gunung Kendeng. (K93-14)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com