Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sugeng, Sosok Pejuang Kemerdekaan yang Luput dari Perhatian Pemerintah

Kompas.com - 10/11/2015, 13:12 WIB
Kontributor Yogyakarta, Wijaya Kusuma

Penulis

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Fisiknya memang sudah renta, namun Sugeng Hadisuyatna (89), warga Plumbungan Patuk, Gunungkidul, DI Yogyakarta masih ingat betul saat-saat terpaksa makan ketela mentah.

Dia pun masih ingat saat mengangkat senjata berjuang untuk kemerdekaan Indonesia.

Kakek kelahiran 26 Desember 1926 ini menuturkan, saat Jepang mengumumkan membentuk Pembela Tanah Air (PETA) di beberapa daerah, Sugeng merasa terpanggil untuk bergabung.

Lalu pada 1944 ia bersama pemuda lainya memutuskan untuk mendaftarkan diri masuk PETA. "Saya mendaftar bersama pemuda lainya karena ingin membela Tanah Air. Daftarnya saat itu di kelurahan," ucap dia.

Setelah mendaftar, Sugeng lantas mendapat pelatihan perang di Wonosari. Di Wonosari itulah Sugeng digembleng latihan militer, mulai dari baris-berbaris hingga bagaimana cara menggunakan senjata.

"Pangkat saya saat itu gyuhei di PETA DAI.IV.Daidan, Gunungkidul," tandasnya.

Usai PETA dibubarkan pada tahun 1945, Sugeng pun tak lantas kembali ke rumah. Ia langsung masuk ke Batalyon 10 Yogyakarta.

"Tugas pertama saya di Ambarawa Jawa Tengah," kata dia.

Di Ambarawa itu, Batalyon 10 Yogyakarta diberikan misi untuk menghadang Sekutu yang datang dari Semarang. Tak pelak, pertempuran sengit pun tak terelakan.

"Saat perang itu saya terkena mortir gas, tapi ya tetap perang. itu sampai beberapa hari," kata Sugeng.

Sugeng menceritakan, selama pertempuran itu, ia dan para pejuang lainya hanya makan apa yang ada.

"Kalau ada ya apa aja dimakan, yang penting bisa mengisi perut. Ya ketela mentah dan jagung mentah," ucapnya.

Satu tahun, Sugeng lantas pulang ke rumah, karena kakaknya gugur tertembak tentara sekutu.

Meski di rumah, Sugeng tak lantas berdiam diri, ia yang ditunjuk sebagai pamong desa lantas berinisiatif mengumpulkan bahan makanan dan mengirimkanya untuk pasukan Indonesia.

"Bahan makan untuk tentara Indonesia sangat sulit. Jadi saya kumpulkan bahan makan lalu saya kirim ke pasukan," ujarnya.

Ia pun masih ingat, ketika pada tahun 1948 pasukan Belanda membakar desanya. Beberapa rumah termasuk miliknya turut terbakar habis.

Hidup sendiri
Saat ini, Sugeng hidup sebagai petani di Plumbungan Patuk, Gunungkidul. Kondisi fisik yang renta membuat penghasilan yang didapatnya dari bertani hanya pas-pasan.

"Dulu saya masih punya tenaga untuk bertani, tapi sekarang ya sekuatnya. Umur saya sudah tua," ujar dia.

Bahkan untuk menyambung hidupnya, kakek yang kini tinggal sendirian ini setelah istrinya meninggal ini harus meminta kepada anak-anaknya.

Selama ini, Sugeng mengaku tidak pernah mendapat bantuan dari Pemerintah. "2006, kami dikumpulkan didaftar untuk mendapat bantuan. Tapi sampai sekarang juga belum ada apa-apa," tegas dia.

Sugeng pun lantas memutuskan untuk tidak hadir di pertemuan-pertemuan selanjutnya, sebab selain harus memakan biaya, juga tidak ada kepastian.

"Saya tidak datang lagi, biaya dan fisik saya ini sudah tidak mampu. Harapan saya ada perhatian bagi para mantan pejuang Kemerdekaan," katanya lirih.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com