Pada 2002, Bupati Kuantan Singingi sudah meminta KLHK melepas areal PT HSL menjadi areal penggunaan lain (APL), agar dapat dijadikan kebun.
Beberapa kepala daerah lain juga memasukkan rencana tata ruang beberapa HTI diubah menjadi APL.
Kondisi itu membuat perambah berduit dan punya kekuasaan semakin terang-terangan menunjukkan kepemilikan lahan ilegalnya.
Terpidana Gulat Manurung (orang dekat Gubernur Riau non aktif yang dihukum enam tahun dalam kasus suap bersama Gulat Manurung) disebut-sebut memiliki kebun di areal PT HSL.
Itu salah satu penyebab rencana tata ruang wilayah Riau terus menggantung di KLHK.
Simbiosis antara perambah kecil dan besar muncul disaat keberadaan mereka diusik. Perambah cukong memberi modal dan bantuan moril sementara perambah kecil menyiapkan fisik menghadapi petugas penertiban.
Kondisi seperti itu tidak hanya terjadi di Pelalawan, melainkan diseluruh hutan Riau.
Begitu besarnya perambahan yang merusak ekosistem Taman Nasional Tesso Nilo. Muncul pertanyaan, dengan kondisi perambahan merajalela yang menyulut kebakaran, apakah tindakan keras pemerintah mencabut dan membekukan izin perusahaan dapat mengakhiri kebakaran di masa mendatang?
Rasanya tidak.
Selama permasalahan perambah hutan milik negara dan pekebun kecil tidak diselesaikan, selama itu pula kebakaran masih akan terjadi.
Inilah pokok permasalahan yang belum disentuh pemerintah secara serius.
(Selesai)
________________________
Baca artikel sebelumnya:
Menyusuri Kehancuran Taman Nasional Tesso Nilo I
Menyusuri Kehancuran Taman Nasional Tesso Nilo 2