Membakar lahan dan menanam kelapa sawit, menurut juru bicara WWF Riau, Syamsidar adalah pola perambah TNTN.
Perambahan berlangsung belasan tahun, terutama setelah booming harga kelapa sawit pada 1997.
Pembiaran membuat areal perambahan TNTN sudah lebih dari 65.000 hektar dari total 83.000 hektar. Sekarang ini, diperkirakan sekitar 70.000 keluarga bermukim di TNTN.
Transportasi puluhan ribu perambah di TNTN sangat mudah, karena tersedia transportasi jejaring laba-laba. Apalagi ekosistem TNTN berupa tanah mineral bukan gambut.
Bahkan, di Simpang Kampar, setiap hari terdapat bus asal Medan yang siap mengantar dan menjemput anggota keluarga, kerabat dan handai tolan perambah. (Baca: Menyusuri Kehancuran Taman Nasional Tesso Nilo I).
Harian Kompas pernah menulis TNTN lebih cocok menjadi Taman Sawit Tesso Nilo (Kompas, 25/6/2015).
PT Hutani Sola Lestari (berada dalam satu ekosistem dengan TNTN) yang dicabut izinnya oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sesungguhnya tidak pernah dibuka oleh pemiliknya sejak diberi izin tahun 1999.
Lahan HPH itu sudah lebih dulu dikavling ribuan orang dari kelompok kecil sampai raksasa.
Kehadiran perambah dan konflik tidak mungkin diselesaikan lagi tanpa campur tangan negara. Di areal PT HSL lebih banyak kebun kelapa sawitnya yang dapat dipanen.
Di seluruh kawasan ekosistem TNTN, terdapat sedikitnya sembilan pabrik kelapa sawit perusahaan yang tidak memiliki kebun sendiri. Pabrik itu menampung kelapa sawit dari areal hutan taman nasional.