Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kehidupan Eks Tapol di Kendari, Bebas tetapi "Terpenjara"

Kompas.com - 01/10/2015, 20:41 WIB
Kontributor Kendari, Kiki Andi Pati

Penulis


Gelombang penangkapan

Situasi mulai memanas ketika PKI disebut-sebut sebagai dalang peristiwa berdarah pada 30 September 1965. Lambatu semakin khawatir ketika pemerintah mengumumkan PKI sebagai partai terlarang. Ia kemudian ditangkap pada 1970 bersama ribuan orang yang dituduh menjadi anggota dan simpatisan PKI di Sultra.

“Kita dijemput tentara katanya mau diamankan, ternyata kita tidak pulang-pulang. Dalam tahanan kita disiksa, disetrum, dipukul, ditindis pakai meja selama beberapa hari untuk menjawab pertanyaan mana dokumennya, struktur PKI seperti apa?” kenang Lambatu.

Di Sulawesi Tenggara, penangkapan pertama terjadi pada 18 Oktober 1965. Delapan pimpinan PKI ditahan Korem 143. Disusul tindakan lain berbau kebencian yang menyebar secara cepat di provinsi ini dan menyebar berbagai kabupaten lain. Pada 1968, 200 orang yang dikategorikan anggota PKI dipenjara.

“Saya tak bisa tidur mendengar semua itu. Terlebih lagi karena Buton disebut-sebut sebagai pemasok senjata bagi Partai Komunis,” kata Lambatu.

Wa Ode Zatimah, istri Lambatu bahkan sampai demam sejak penyisiran anggota partai dilakukan. Lambatu mengatakan, dia tak pernah memikirkan hidupnya akan berubah. Ia menenangkan istrinya dan mengatakan musuh partai komunis hanyalah imperialisme dan feodalis, yang lainnya tak ada.

Namun Lambatu keliru. Pada 7 November 1965, sejumlah petugas masuk ke rumahnya. Istrinya berdiri gemetar. Anggota militer itu mencari dokumen yang terkait dengan kudeta. Tak menemukan dokumen, Lambantu digelandang ke markas militer malam itu juga.

Dia kemudian mengalami penyiksaan fisik dengan interogasi hingga berbulan-bulan lamanya dengan pertanyaan yang sama hingga Ia tak bisa berpikir. Mengapa masuk PKI? Mana dokumen-dokumennya? Struktur PKI seperti apa? dan pertanyaan lain yang membuatnya tercengang-cengang tanpa bisa menjawab.

Ia dijebloskan ke penjara Buton hingga 1970 tanpa surat penahanan dan pengadilan. Lambatu mengingat, interogasi dilakukan berulang-ulang dari tahun ke tahun, dari pagi hingga tengah malam dengan pertanyaan yang sama.

”Dengan penyiksaan dipukuli sehingga banyak korban, keluarga saya turut jadi korban. Meskipun mereka di luar. Karena pemaksaan dalam mencari dokumen-dokumen, sehingga diadakan penggeledahan di dalam rumah. Dalam penggeledahan itu terjadi pelanggaran seksual dari petugas waktu itu terhadap istri saya,” dia mengisahkan.

Akibat kejadian itu, istrinya menderita stres dan akhirnya meninggal dunia pada 1976. Untuk mengetahui siapa yang salah dan benar dalam peristiwa itu, menurut Lambatu, pemerintah meluruskan sejarah.

“Hidup seperti apa ini tak bisa lagi berpikir. Saya hanya ingin ini segera berakhir, Jangan sakiti istri dan keluargaku,” tambah Lambatu.

Akhirnya berita melegakan tiba pada 1969, ketika Pangdam VII Wirabuana, Andi Azis Rustam dan Oditur Militer Kolonel Busono dan Kolonel Bagyo dari Direktorat Kehakiman Pusat memutuskan Buton tak terbukti menjadi kawasan pemasok senjata buatan China untuk PKI.

Namun setelah siksaan dan pemenjaraan bertahun-tahun yang mematikan jiwa ratusan orang itu, kabar baik tersebut datang sangat terlambat. Penangkapan dan penyiksaan itu, bukan saja menjadi kenangan gelap yang senantiasa melintas dalam hidup para mantan tahanan politik itu, tapi juga menjadi catatan buruk untuk para anak cucu mereka yang ikut menderita dan disisihkan dari pergaulan selama berpuluh-puluh tahun.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com