Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lahan Diserobot Perusahaan Kelapa Sawit, Warga Kirim Surat ke Presiden

Kompas.com - 17/09/2015, 23:56 WIB
Kontributor Pontianak, Yohanes Kurnia Irawan

Penulis

PONTIANAK, KOMPAS.com – Sejumlah warga di Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo, lantaran ingin mendapatkan perlindungan hukum. Surat yang dikirim tersebut terkait masalah sengketa lahan milik 40 warga yang masuk dalam areal Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan perkebunan sawit PT Sintang Raya (PT SR).

Satu di antara tuntutan warga yaitu meminta Badan Pertanahan Negara (BPN) Kalbar untuk melaksanakan putusan dari Mahmakah Agung terkait dengan gugatannya kepada perusahaan perkebunan tersebut. Surat yang ditujukan kepada Jokowi tersebut juga ditembuskan kepada Menko Polhukam dan Kapolri.

Junedi (58), satu di antara warga mengungkapkan permasalahan yang dihadapi warga saat ini berawal dari gugatan yang diajukan karena lahan milik masyarakat masuk dalam HGU Perusahaan PT SR. Gugatan tersebut telah diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Pontianak.

Selain Junedi ada dua orang lain yang ikut menggugat, yaitu Wiji dan M Lias. Keduanya merupakan warga Dusun Pelita Jaya, Desa Olak-olak Kubu, Kecamatan Kubu Kabupaten Kubu raya.

"Jika dijumlahnya ada sekitar 40-an hektar, karena ada 40-an kepala keluarga. Tetapi yang menggugat itu saya dan beberapa teman," ujar Junedi, Kamis (17/9/2015).

Junedi menambahkan, dalam persidangan, putusan pengadilan memenangkan gugatan yang diajukan dirinya bersama warga lainnya. Kasus ini kemudian berlanjut ke PTUN di Jakarta, karena pihak perusahaan mengajukan banding. Putusan yang keluar kembali memenangkan Junedi sebagai penggugat. Namun pihak perusahaan kembali mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

"Hasilnya, Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi pihak perusahaan PT SR. Dalam putusan yang berkekuatan tetap itu, menyatakan batal sertifikat hak guna usaha milik perusahaan PT Sintang Raya seluas 11.129,9 hektar. Putusan MA itu keluar 27 Februari 2014," jelas Junedi.

Namun, lanjut Junedi, hingga saat ini pihak BPN Provinsi Kalbar belum menindaklanjuti putusan dari Mahkamah Agung. Padahal menurutnya, berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan, Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan, Bab III Kewenangan Pembatalan Hak Atas Tanah dan Pendaftaran Hak Atas Tanah Asal Konservasi, pada Pasal 73 ayat 4 menyebutkan pelimpahan kewenangan Kepala BPN RI kepada Kakanwil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74.

"Kakanwil memiliki kewenangan untuk melaksanakan putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap," katanya.

Untuk tingkat kabupaten, lanjut dia, sudah menindaklanjuti putusan itu dengan mengirimkan surat ke BPN Kalbar dan pusat. Sayangnya dari BPN Provinsi belum melakukan ekskusi atas putusan tersebut. Warga pun menunggu eksekusi yang hingga saat ini belum dilakukan. Padahal secara resmi sudah disurati oleh BPN Kabupaten Kubu Raya.

Dalam persoalan tersebut, tidak hanya lahan Junedi saja yang masuk dalam HGU perusahaan. Junedi menyebutkan setidaknya ada 40 kepala keluarga yang lahannya masuk dalam HGU. Lahan masing-masing warga memiliki luas satu hektar.

"Saya khawatir jika persoalan ini terus tertunda, maka timbul gejolak di lapangan dan masyarakat menjadi korban. Namun, jika putusan itu sudah dieksekusi, maka masyarakat di lapangan enak dan tidak timbul masalah lagi," harap dia.

Kriminalisasi warga

Warga lainnya, Masnan menyebutkan buntut dari kasus ini masyarakat mendapat intimidasi dan kriminalisasi dari perusahaan. Dia mencontohkan ada masyarakat yang ditangkap karena dituduh mencuri buah sawit milik perusahaan.

"Kalau masyarakat tidak mendapat bantuan hukum, maka bisa menjadi korban kriminalisasi oleh pihak perusahaan," kata dia.

Sementara itu, Akoi, salah seorang warga yang merasa dikriminialisasi oleh pihak perusahaan mengungkapkan hal yang sama. Akoi dilaporkan pihak perusahaan ke Polres Pontianak atas tuduhan mencuri buah beberapa waktu yang lalu.

"Saya belum di-BAP, tetapi sudah disebutkan sebagai tersangka," ucap Akoi.

Menurut Akoi lahan yang kini digarapnya itu merupakan lahan plasma. Lahan itu juga sudah memiliki SPT dan dimitrakan ke perusahaan. Sehingga dia menganggap perusahaan tidak punya dasar yang kuat untuk menuduhnya mencuri buah. Padahal, Akoi menilai kehadiran perusahan diharapkan bisa meningkatkan perekonomian masyarakat. Kenyataan ketika terjadi konflik perusahaan, masyarakat ikut menjadi korban.

"Saya minta perlindungan kepada siapa lagi, kalau hukum tidak bisa membela kami. Saya sudah kirimkan surat ke presiden untuk meminta perlindungan hukum," pungkas Akoi.

Kepala Desa Olak-Olak Kubu, Bambang Sudaryanyo secara tegas meminta perusahaan menerima putusan yang sudah dikeluarkan oleh Mahkamah Agung. Jika perusahaan ingin mengajukan kembali, kata dia, silakan mengikuti aturan prosedural yang ada.

Bambang mengungkapkan, masyarakat berharap perusahan bisa mengikuti dan melaksanakan aturan perkebunan. Selama ini menurutnya pihak perusahaan tidak memberikan 20 persen dari lahan plasma inti ke masyarakat. Sehingga, jika timbul HGU baru, maka 20 persen hasilnya diberikan untuk masyarakat.

"Tindaklanjut dari persoalan inipun, sudah digelar pertemuan antara Pemkab Kubu raya bersama instansi terkait, perusahaan dan masyarakat yang bersengketa. Dalam pertemuan itu, Pemkab meminta tindakan kriminalisasi, intimidasi dan arogansi yang dilakukan perusahaan dihentikan sebelum ada solusi untuk menyelesaikan permasalahan ini," jelas Bambang.

Bambang menyebutkan selama ini masyarakat tidak pernah menyerahkan lahan mereka untuk masuk dalam HGU perusahaan. Apalagi saat ini menurutnya HGU yang dimiliki perusahaan tersebut sudah batal berdasarkan putusan dari Mahkamah Agung.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com