Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kota Ternate: Tantangan Mengasah Potensi

Kompas.com - 15/07/2015, 15:00 WIB

Oleh Dahono Fitrianto dan Frans Pati Herin

Sebagai pusat perekonomian Provinsi Maluku Utara, Kota Ternate memiliki segala potensi untuk maju dan bersinar, tidak hanya di tingkat lokal, tetapi juga nasional atau bahkan internasional. Namun, berbagai potensi itu terkesan belum terasah maksimal.

Potensi utama yang langsung terlihat di permukaan adalah potensi sektor pariwisata. Sejak dari pandangan pertama dari udara, saat pesawat bersiap mendarat di Bandara Sultan Babullah, terlihat bentang alam luar biasa indah yang dimiliki Ternate.

Laut yang biru bening, kota di tepi laut, dan hutan menghijau di sekujur tubuh Gunung Gamalama di tengah Pulau Ternate menjanjikan perjalanan rekreasi yang memanjakan mata dan jiwa. Masih terkait alam, Ternate juga memiliki potensi wisata geologi dengan keberadaan Gunung Gamalama yang masih aktif dan sisa-sisa letusannya di masa lalu yang menakjubkan, seperti situs Batu Angus dan Danau Tolire Besar di bagian utara Ternate.

Namun, potensi wisata Ternate tidak hanya terbatas pada pesona alamnya.

Kota ini juga membawa narasi sejarah, yang tak hanya penting dalam skala nasional, tetapi dunia. Sejarah mencatat, Ternate menjadi pintu masuk bangsa-bangsa Eropa ke Kepulauan Maluku dan Nusantara pada era penjelajahan dan penaklukkan dunia pada abad ke-16. Sejumlah benteng bangsa Eropa di Ternate menjadi saksi bisu persaingan dan perebutan pengaruh pada abad kolonialisme itu, pada saat Eropa begitu haus akan rempah-rempah.

Nurachman Irianto, arkeolog dan pengajar Jurusan Sejarah, Universitas Khairun, Ternate, mengatakan, paling tidak ditemukan 12 peninggalan benteng di seluruh Ternate. "Semua ada 12 benteng. Ada (benteng) Portugis, Spanyol, Belanda, dan beberapa benteng yang dibangun masyarakat lokal," ujar Maman, panggilan akrab Nurachman, Senin (6/7).

Sebagian benteng itu masih utuh, seperti Benteng Oranye buatan Belanda yang terletak di pusat Kota Ternate dan Benteng Kalamata di bagian selatan pulau tersebut. Namun, sebagian lagi tinggal reruntuhan, seperti Benteng Kastela di pantai barat pulau.

Bicara soal sejarah, Ternate juga memiliki salah satu kesultanan yang masih aktif hingga saat ini. M Sofyan Daud dalam bukunya Ternate Mozaik Kota Pusaka (2012) menyebutkan, Kerajaan Ternate terbentuk pada tahun 1257.

Keberadaan Kesultanan Ternate ini menjanjikan kekayaan budaya dan tradisi yang juga bisa diolah untuk menarik minat wisatawan, di samping tentu saja untuk dilanjutkan nilai-nilai kearifan lokalnya.

Bahkan perkembangan ekonomi kota tersebut, yang makin mendekati perkembangan kota-kota besar lain di Indonesia dengan berbagai kelengkapan sarana dan prasarananya, juga menjadi daya tarik bagi penduduk sejumlah wilayah di sekitarnya untuk berekreasi. "Setiap akhir pekan, banyak orang dari Halmahera dan Tidore datang cari hiburan," kata Faris Bobero, warga Ternate.

Besarnya potensi wisata Ternate itu tecermin dari angka wisatawan, baik domestik maupun mancanegara, yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Ternate Anas Conoras mengatakan, wisatawan Nusantara dan mancanegara terus meningkat secara signifikan.

Sebaliknya, promosi wisata di Ternate sangat terasa masih kurang. Sekadar brosur atau baliho besar berisi foto-foto obyek wisata andalan di kota itu saja sulit ditemui di area kedatangan di Bandara Sultan Babullah, awal Juni lalu. Foto-foto obyek wisata ini justru dipasang di terminal keberangkatan bandara.

Keberadaan Kesultanan Ternate sebagai simbol sejarah dan budaya Ternate juga tidak terasa. Berbeda dengan tempat-tempat lain yang masih memiliki kesultanan aktif, seperti Yogyakarta dan Cirebon, yang paling tidak masih memajang simbol-simbol fisik keraton dan kekayaan budaya setempat di setiap sudut kota.

Bahkan kawasan di sekitar Keraton Kesultanan Ternate pun tidak terlihat ditata secara khusus untuk menyoroti keistimewaan tempat tersebut. Alih-alih, di seberang jalan depan keraton justru dipasang baliho-baliho raksasa yang menutupi pandangan.


Kurang terinternalisasi

Hal tersebut diakui dan disayangkan pihak kesultanan. Menurut Nudzuludin Sjah, putra mendiang Mudaffar Sjah, Sultan Ternate yang ke-48, konsep pembangunan Kota Ternate kurang menonjolkan identitas Ternate sebagai salah satu kota bersejarah di Indonesia.

Tidak ada ornamen atau simbol-simbol kesultanan yang ditampilkan sepanjang jalan dari bandara menuju pusat kota. Nuansa kota budaya hampir tidak kelihatan lagi. Selain itu, kompleks Keraton Sultan Ternate juga tidak terurus.

Petunjuk jalan menuju benteng-benteng bersejarah di Kota Ternate juga sangat minim. Bahkan tak ada petunjuk menuju Benteng Oranye yang begitu besar dan terletak tepat di pusat bisnis Ternate.

Herman Oesman, sosiolog dari Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU) di Ternate, mengatakan, potensi kesultanan seharusnya terus digali, terutama peran kultural dan kearifan lokalnya dalam mengatur tatanan interaksi masyarakat.

"Sayangnya nilai-nilai adat dan tradisi keraton kurang terinternalisasi di tengah masyarakat. Tidak terlihat ada upaya untuk menstrukturkan kultur keraton itu seperti di Yogyakarta," papar Herman.

Sahrony A Hirto, pengamat kebijakan publik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UMMU, menambahkan, Pemkot Ternate terkesan kehilangan konsep budaya dalam membangun kota tersebut. "Wali kota terlalu mementingkan aspek ekonomi," tutur Sahrony.

Salah satu contoh kacaunya konsep pembangunan itu adalah pembangunan taman wisata air atau water boom di tepi pantai di bagian selatan Ternate. "Kami ini, kan, orang pantai, sejak kecil sudah biasa bermain air di pantai. Lalu buat apa dibangun water boom untuk bermain air?" ujar Sahrony.

Kasus pembangunan water boom ini pula yang membuat Wali Kota Burhan Abdurahman terseret kasus hukum dugaan korupsi pembebasan lahan yang disidik Kejaksaan Tinggi Maluku Utara sejak 2012.

Meski demikian, Sahrony menghargai berbagai upaya Pemkot Ternate dalam menata ruang di kota tersebut. Contohnya penerapan konsep kota tepi air (waterfront city) sejak era Wali Kota Syamsir Andili (2000-2010). "Baru lima tahun terakhir konsep waterfront city benar-benar berusaha diterapkan dengan mengembangkan wilayah pesisir. Mengembangkan laut menjadi wajah kota," ujarnya.

Pembangunan sejumlah taman publik di kawasan pesisir, seperti Taman Nukila, Taman Falajawa, dan Taman Skateboard Ternate di Jalan Sultan M Djabir Shah, juga diapresiasi sebagai upaya memberi ruang bagi masyarakat untuk berinteraksi.

"Tingkat stres pemuda di sini dulu sangat tinggi sehingga sering terjadi tawuran. Tetapi sejak ada taman-taman itu, anak-anak muda mendapatkan ruang. Tawuran antarkampung pun bisa direduksi," kata Sahrony.

Begitu banyak dan besar potensi Kota Ternate untuk berkembang. Terlalu sayang jika potensi itu tak tergarap secara serius.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Juli 2015, di halaman 23 dengan judul "Tantangan Mengasah Potensi".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com