Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 15/06/2015, 15:29 WIB

Sekarang, di Taman Budaya Sumbar berisi perkantoran dan gedung-gedung seni pertunjukan, serta warung-warung cinderamata atau kios seni yang menampung karya seniman-seniman lukis dan pengrajin. Dahulu, tahun 80an bercokol sanggar-sanggar, karena waktu itu sanggar tidak begitu banyak. Sekarang karena sudah banyak grup, maka semua sanggar dikeluarkan dari taman budaya, "Tempat ini hanya menyediakan tempat untuk berlatih. Sekarang setidaknya ada grup randai sebanyak 165, grup tari lebih 200, grup teater sekitar 30an, perupa puluhan komunitas, belum lagi yang perorangan, dan grup-grup musik," tutur Rizal.

Rizal menambahkan, dulu yang memperjuangkan ini menjadi pusat kesenian adalah AA Navis, Khairul Harun, Wisran Hadi, Mursal Esten, Leon Agusta, M Yuspik Helmi. "Dulu di tempat ini ada lapau Catuih Ambuih milik seniman tutur bernama Bagindo Fahmi. Di tempat inilah para seniman nongkrong. Mereka nongkrong sejak jam 10 pagi sampai malam. Setelah menyerap inspirasi dari tempat ini, mereka pulang di malam hari untuk selanjutnya menulis hingga pagi," kenang Rizal.

Menurut Rizal, mereka ngobrol sambil minum kopi, teh, dan lontong gulai paku. Jika dulu seniman sumbar mencapai popularitas di nasional dan baru kemudian memikirkan Sumbar, maka sekarang para seniman Sumbar justru membesarkan namanya di lokal dan internasional. Contohnya, Eri Mefri, seorang koreografer. Dia sudah melalangbuana ke gedung-gedung kesenian dunia seperti di Jerman, Amerika, Australia, Singapura, Jepang, China, Belanda.

Waktu terus bergerak, zaman dan rezim pun terus bergant. Setelah era AA Navis, generasi berikutnya adalah Hamid Jabar, Abrar Yusra, Rusli Marzuki Saria, Darman Munir, Haris Effendi Tahar, A ALin D, Makmur Hendrik.

Setelah mereka menyusul Syarifuddin Arifin, Rizal tanjung, Alwi karmena, Asbon Budinan haza, M Ibrahim Ilyas, Edi utama. Sekarang muncul generasi selanjutnya. Ada S. Metron, Yus Rizal KW, Nasrul Azwar, Khaerul Jasmi, Gus TF Sakai, Andri sandra, Yut Fitra.

semua yang tersebut di atas rata-rata memang sastrawan, sebab seni yang kuat ada di Sumbar memang sastra, baik sastra lisan maupun tulisan.

Padang ya Padang. Seperti galibnya riwayat pertumbuhan kota di dunia, di antara cerita yang menarik itu, terselip juga kisah kelam sebuah kota. Di samping kabar menggembirakan mengenai IORA, saya juga membaca berita tentang fenomena prostitusi di Padang yang merebak ibarat fenomena gunung es. Sedikit muncul ke permukaan, banyak terjadi di bawah permukaan tapi tak terungkap.

Surat kabar yang beredar di adang, HALUAN, mewartakan, jajaran penyidik Satreskrim Polresta Padang menetapkan mucikari alias germo yang “menjual” dua perempuan belia, “BA”(42) sebagai tersangka. Ia terjerat UU Perlindungan Anak No 23 Tahun 2002 karena diduga mengeksploitasi anak. Hingga kini penyidik Reskrim terus mendalaminya.

Hmmm... Padang memang sedang menggeliat. Datanglah ke pinggirann pantai jika malam tiba, khususnya saat malam minggu. Warung-warung berjajar di tepi pantai, sementara para penjual jagung memadati kedua sisi Jembatan Siti Nurbaya untuk melayani para pelancong yang memadati jembatan yang mengambil tokoh dalam novel "Kasih Tak Sampai" karya Marah Roesli.

Ah ya, sedemikian terkenalnya tokoh Siti Nurbaya dalam novel itu. Namanya bukan saja disematkan untuk nama jembatan, namun kisahnya sudah sedemikian identik dengan Padang. Tapi omong-omong, nama Marah Roesli sebagai penulisnya tak saya temukan di seluruh penjuru kota Padang, sebagai nama jalan, misalnya.

Bukankah seorang pahlawan bukan hanya mereka yang mengangkat bedil dan kelewang? Mereka yang mengukir sejarah melalui pena dan perkataan juga patut disebut pahlawan, bukan? Yang namanya sangat layak untuk dikenang sebagai nama jalan, gedung, atau apapun yang gampang diingat orang.

@JodhiY

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com