Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 22/04/2015, 23:00 WIB

KOMPAS - Hari masih gelap. Tiba-tiba, dia dikeluarkan dari sel. Dia diperiksa dan dipaksa mengakui barang bukti tiga karung plastik berisi ganja seberat 58,7 kilogram adalah miliknya. Pukulan dan tendangan bertubi-tubi meluncur ke tubuhnya. Dalam kondisi kesakitan dan ketakutan, akhirnya dia membenarkan semua pertanyaan penyidik.

Zainal Abidin bin Mgs Mahmud Badaruddin, salah satu terpidana mati kasus narkotika, menyampaikan pengakuannya itu melalui telepon di sela-sela pembicaraan dengan putrinya, sebut saja Intan, yang sudah 15 tahun berpisah sejak dirinya ditahan.

Tukang pelitur lulusan SD yang kini ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Pasir Putih, Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, itu tak putus asa mencari keadilan sebelum dirinya menghadapi regu tembak dalam waktu dekat.

"Saya dipaksa untuk mengaku seperti itu, Pak. Saya dipukul, Pak. Ditendang, Pak. Saya takut, Pak. Malam-malam saya dikeluarkan dari sel dan dibuatkan berita acara pemeriksaan (BAP). Waktu itu belum ada pengacara. Waktu saya di pengadilan, saya bilang, itu tidak benar. Pak Hakim tanya, 'Kenapa kamu tanda tangan?' Saya terpaksa karena saya dipukul. Ini buktinya. Kata Pak Hakim, tidak usah, tidak usah...," tutur Zainal.

Ketika ditanya apa harapannya untuk tiga anaknya yang kini beranjak dewasa, Zainal pun tak kuasa menahan emosi. "Sedih, Pak... dari kecil ditinggalkan...." Zainal lalu terdiam. "Saya tidak bisa omong. Hanya Tuhan yang tahu...," ujarnya.

Kasus Zainal ini berawal dari penggerebekan polisi di rumah keluarga besar Zainal di Jalan KI Gede Ing Suro, Kelurahan 30 Ilir, Kecamatan Ilir Barat II, Palembang, 21 Desember 2000 pukul 05.30. Dalam operasi itu, polisi menemukan dan menyita barang bukti tiga karung plastik berisi ganja seberat 58,7 kg, 1 telepon genggam, 2 timbangan duduk, dan uang tunai Rp 3.345.700. Subuh itu pula Zainal ditangkap bersama Kasyah binti Karta (istrinya) dan Aldo (teman Zainal asal Aceh).

Berdasarkan pengakuan Zainal di persidangan, sebagaimana diungkapkan Ismail, Sadli, dan Shahrin B Nasution (tim penasihat hukum Zainal tahun 2001 dari LBH Peradil Palembang) serta Ade Yuliawan (penasihat hukum Zainal saat ini), ganja itu milik teman Aldo bernama Dedi dan Wahyu. Ganja itu dititipkan di rumah Zainal karena Dedi dan Wahyu menghindari razia di Lintas Timur Sumatera.

Zainal baru mengetahui karung itu berisi ganja pada malam hari setelah Dedi dan Wahyu pergi ketika Aldo mengajak memindahkan karung untuk menghindari hujan. Zainal menelepon Dedi agar segera mengambil kembali ganja itu, dan Dedi menjanjikan mengambil siang harinya. Namun, subuh, polisi menggerebek rumah Zainal. Hingga kini, Dedi dan Wahyu masih buron.

Namun, pengakuan Zainal di persidangan itu berbeda jauh dengan keterangan dalam BAP polisi yang disusun Serka Ghofur selaku penyidik pembantu. Pada bagian awal, BAP itu sudah memberatkan Zainal.

"Lahir di Palembang, tanggal lupa/tahun 1966, suku Palembang, agama Islam, jenis kelamin laki-laki, kewarganegaraan Indonesia, pendidikan SD tamat, pekerjaan jual beli ganja," demikian tertulis dalam dokumen BAP tertanggal 21 Desember 2000.

Shahrin B Nasution saat ditemui di Palembang menunjukkan dokumen itu.

Ade Yuliawan juga mempertanyakan proses penyusunan BAP itu. "Bagaimana mungkin membuat BAP semacam itu. Ini, kan, sudah penuh tendensi. Apa ada di KTP pekerjaan jual beli ganja. Ini dari awal sudah kecelakaan," ujar Ade di kantornya, di Jakarta.

Ghofur yang masih aktif bertugas di Poltabes Palembang belum bersedia memberikan keterangan tentang hal ini. "Saya tidak bisa kasih keterangan kalau tidak ada izin pimpinan," ujarnya di ujung telepon.

Mencermati dokumen Putusan No 550/Pid.B/2001/PN.PLG, halaman 16, dalam persidangan di Pengadilan Negeri Palembang, Ghofur menyanggah melakukan paksaan dengan menakuti, memukul, atau melakukan kekerasan.

Perlu ketelitian

Di tengah maraknya peredaran narkotika di negeri ini, tidak bisa dimungkiri, banyak yang geram terhadap kelakuan para pengedar narkoba dan ingin menghukum seberat-beratnya. Namun, mendengar pengakuan Zainal, terlintas juga di benak kisah memilukan George Junius Stinney Jr (14), warga Carolina Selatan, Amerika Serikat, 70 tahun silam. Saat itu, pengadilan meyakini pemuda kulit hitam ini terbukti secara sah dan meyakinkan membunuh dua gadis berusia 11 tahun dan 8 tahun. Palu hakim pun menjatuhkan vonis mati. Nyawa Stinney diambil paksa di kursi listrik. Namun, 17 Desember 2014, pengadilan di Carolina Selatan mengakui ada kesalahan. Sayang, pengakuan itu datang sangat terlambat.

Kini, Zainal tinggal menunggu putusan peninjauan kembali (PK) yang tengah diproses kembali, yang sebelumnya mandek 10 tahun. Proses PK di Mahkamah Agung adalah pintu terakhir bagi Zainal setelah di Pengadilan Negeri Palembang divonis 18 tahun penjara, di Pengadilan Tinggi Palembang dan kasasi divonis mati.

Aldo, rekannya yang dihukum lebih berat darinya, 20 tahun, karena tidak banding, kini bahkan sudah bisa kembali hidup normal di masyarakat dan akan menjadi pegawai honorer.

"Semoga eksekusi terhadap papa dibatalkan dan semoga ada keringanan hukuman terhadap papa," ujar Intan penuh harap.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com