Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menanti Bakso dan Sosis "Tambora"

Kompas.com - 02/04/2015, 15:04 WIB
Berkendara di Lintas Tano-Sape di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, kita akan menjumpai sapi dan kerbau merumput di pinggir jalan. Tak jarang ternak tersebut melintas menyeberangi jalan. Karena itu, di sejumlah tempat kawanan ternak tersebut bisa merumput, dipasang rambu-rambu bergambar sapi/kerbau agar pengendara berhati-hati.

Pemandangan di jalan raya yang membentang dari ujung barat Pulau Sumbawa di Pelabuhan Poto Tano, Kabupaten Sumbawa Barat, hingga ujung timur Pulau Sumbawa di Pelabuhan Sape, Kabupaten Bima, tersebut merupakan potret kehidupan masyarakat Sumbawa. Memelihara sapi atau kerbau menjadi bagian hidup mayoritas masyarakat selain bertani.

”Sumbawa ini bergantung pada sapi. Untuk menyekolahkan anak, naik haji, beli motor, beli tanah, dan banyak lagi, semua memanfaatkan sapi,” ujar Budi Abe (41), peternak dan pedagang sapi yang tergabung dalam Kelompok Tani Ternak Buin Pedi di Kecamatan Moyo Utara, Kabupaten Sumbawa, 21 Maret lalu.

Berawal dari memelihara seekor sapi, kini Budi memiliki 20 ekor sapi. ”Semua biaya sekolah anak dari jual sapi,” ujar Budi yang lulusan SMP ini. Anak pertamanya menjadi anggota TNI, yang kedua lulus akademi kebidanan, yang ketiga kuliah di Universitas Sumbawa, dan yang terkecil kelas V SD.

Perry Awi (45), rekan Budi, memiliki 40 ekor sapi. Ia bisa membeli mobil berkat jual-beli sapi. Sapi-sapinya antara lain dijual ke Jawa dan Kalimantan. Hasilnya dibelikan sapi lagi untuk perputaran ekonomi. Sapi sekaligus menjadi tabungan.

Seperti halnya sapi, kerbau juga dijadikan tabungan. Untuk keperluan sehari-hari, masyarakat bisa dicukupi dari hasil pertanian.

”Kalau anak mau masuk sekolah atau ada keluarga sakit keras, kerbau bisa dijual. Satu ekor kerbau ukuran 80 kilogram bisa dijual Rp 8 juta. Kerbau hitungannya lebih mahal dari sapi karena bobotnya lebih besar,” kata Kamaruddin (34), warga Kecamatan Kempo, Kabupaten Dompu, yang memiliki 40 ekor kerbau.

Pemeliharaan sapi, kerbau, dan juga kuda di Pulau Sumbawa umumnya dengan cara dilepasliarkan di padang penggembalaan yang dalam istilah setempat disebut lar. Salah satu padang penggembalaan yang luas, sekitar 2.000 hektar, di Doro Ncanga, Dompu, di lereng Gunung Tambora. Di sana, ribuan ternak dibiarkan bebas memakan rumput di padang tanpa makanan tambahan lainnya.

Sumbawa memang gudang ternak. Dari populasi sapi di NTB yang saat ini sekitar 1,2 juta ekor, sebagian terbesar berada di Sumbawa. Demikian pula dengan kerbau, sekitar 80 persen dari lebih dari 56.000 kerbau di NTB berada di Sumbawa.

Industrialisasi

Dengan potensi yang ada, dan untuk memenuhi kebutuhan daging, termasuk kebutuhan nasional, Pemerintah Provinsi NTB memang memprioritaskan pengembangan sapi yang dipadukan dengan bidang pertanian dan kelautan melalui program Pijar (sapi, jagung, rumput laut). Pada 2008-2013 dicanangkan program NTB bumi sejuta sapi. Tujuan utamanya untuk memperbanyak induk.

”Target dapat tercapai. Sambil terus meningkatkan budidaya sapi, tahun 2013-2018 (program) bergeser dari budidaya ke industrialisasi,” kata Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi NTB Budi Septiani di Mataram beberapa waktu lalu.

Program industrialisasi tersebut terutama untuk mengurangi penjualan sapi hidup keluar NTB, memberi nilai tambah kepada masyarakat, serta membuka lapangan kerja dan usaha-usaha kecil.

Selama ini, selain untuk memenuhi kebutuhan bibit nasional, sapi dari NTB juga dipasarkan ke luar NTB dalam kondisi hidup untuk memenuhi kebutuhan daging nasional. Pada tahun ini, kuota untuk sapi potong yang dikirim ke luar NTB dalam kondisi hidup sebanyak 34.000 ekor.

Proses industri peternakan tersebut dimulai dengan merevitalisasi rumah pemotongan hewan (RPH), yaitu RPH Asakota di Kota Bima dan RPH Banyumulek di Lombok Barat. Kedua RPH ini diproyeksikan bisa memproduksi daging beku untuk memenuhi kebutuhan nasional.

Saat ini, baru RPH Asakota yang sudah mulai memproduksi daging sapi beku yang diberi merek Tambora Mountain Beef, untuk dikirim ke Jakarta. Pengiriman perdana pada 22 Maret lalu sebanyak 2,5 ton. Ini merupakan kerja sama Pemprov NTB dan Pemerintah Kota Bima sebagai pemilik RPH dengan PT Berdikari yang merupakan BUMN Peternakan.

Kepala PT Berdikari Persero Cabang NTB Hasbi mengatakan, pengiriman ke Jakarta melalui jalan darat membutuhkan waktu 4-5 hari. Daging beku tersebut dipasarkan ke sejumlah supermarket di Jakarta. ”Pemotongan pertama baru 40 ekor, setiap hari paling tidak 15 ekor. Ini sesuai kapasitas cold storage yang sebanyak 15 ton,” katanya.

Budi Septiani mengatakan, dari potensi sapi potong tahun 2015 yang sebanyak lebih dari 140.000 ekor, sebanyak 45.000 untuk memenuhi kebutuhan daging nasional. Selama ini, sapi potong dikirim ke luar NTB dan dipotong di daerah tujuan. Ke depan, sapi dipotong di NTB dan dikirim ke luar NTB dalam bentuk daging beku.

Hasbi mengatakan, target pertama produksi daging beku memang baru di RPH Asakota. Sapi yang dipotong dari wilayah Kabupaten Sumbawa dan Dompu. Baru setelah itu, target selanjutnya di RPH Banyumulek untuk sapi dari Pulau Lombok.

Mulai April ini, kata Hasbi, ditargetkan produksi daging sapi di RPH Asakota bisa stabil. Dari total sapi yang dipotong, 60 persen untuk produksi daging beku, sisanya untuk produksi olahan daging berupa bakso dan sosis. Produksi bakso dan sosis dimulai bulan ini. Dalam hal ini, PT Berdikari bekerja sama dengan Pemkot Bima membina usaha mikro, kecil, dan menengah di Bima.

”PT Berdikari memberikan peralatan dan daging untuk diolah. Kualitas dipantau, hasil dibeli PT Berdikari untuk dijual ke Jakarta. PT Newmont sebenarnya sudah minta 50 ton bakso per bulan, dan PT Freeport 125 ton bakso per bulan, saat ini kami belum menyanggupi,” kata Hasbi.

Kepala Seksi Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Peternakan Kota Bima Cahyadi mengatakan, daging sapi beku produksi RPH Asakota merupakan daging sapi organik, karena sapi Sumbawa dipelihara di padang penggembalaan secara alami, memakan rumput, tanpa diberi makanan tambahan. ”Rasa dagingnya pun lebih manis,” katanya.

Dengan gaya hidup sehat masyarakat perkotaan saat ini, bukan tidak mungkin daging sapi Sumbawa dan produk turunannya akan mendapat tempat khusus. Setelah Tambora Mountain Beef, kini ditunggu bakso dan sosis ”Tambora”. (IKA/ENG/REK/RUL)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com