Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Potret Reklamasi "Setengah Hati" di Bekas Tambang Harita di Kendawangan

Kompas.com - 17/02/2015, 12:08 WIB
Kontributor Singkawang, Yohanes Kurnia Irawan

Penulis

Menurut Nikodemus, warga tidak tau berapa luas kawasan yang dikelola HPAM dan kawasan milik masyarakat. Sejak zaman kepala dusun sebelumnya, Nikodemus mengatakan bahwa warga sudah pernah meminta diperlihatkan peta kawasan kepada pihak perusahan. Tetapi tidak pernah ditanggapi dan diperlihatkan oleh pihak perusahaan.

Tak jauh dari bekas tambang HPAM, ada sebuah bukit yang mulai terpangkas. Warna bukit pun tak lagi hijau seperti bukit lainnya. Warnanya merah, karena sudah dikupas. Ketinggiannya pun tidak utuh lagi.

Puluhan truk dan puluhan alat berat tak henti menggaruk dan membawa tanah-tanah itu untuk material timbunan. Sebaliknya, di beberapa kawasan terlihat timbunan, seperti bekas galian dari daerah rawa dan gambut.

Berdasarkan penuturan Nikodemus, lahan rawa gambut sengaja digali dan ditimbun kembali dengan tanah dari bukit. Proses itu untuk membangun smelter bauksit yang saat ini sedang dalam proses pengerjaan.

Smelter Grade Alumina itu dibangun oleh PT Wall Harvest Wining Alumina Refinery (WHW). "Jadi tanah rawa gambut dipindah ke bukit, tanah yang dibukit ditimbun dibekas rawa gambut," kata Nikodemus.

Dampak Lingkungan

Tak hanya reklamasi yang tidak dilakukan HPAM yang dikeluhkan oleh warga. Dampak lingkungan dari limbah yang dihasilkan juga dikeluhkan hingga masyarakat yang tinggal di pesisir pantai Kendawangan.

Dari cerita Nikodemus, sebelumnya di kawasan bekas tambang tersebut, setiap aliran sungai merupakan bagian dari rawa dan hutan. Sungai itu yang dulu biasa mereka gunakan untuk mandi, mencari ikan dan aktivitas lainnya. Namun, sejak dibukanya kawasan untuk pertambangan bausit, tempat yang ada menjadi keruh.

Sungai yang ada diputus alirannya dan dijadikan kolam raksasa untuk kebutuhan washing plant bauksit. "Kalau musim hujan tiba, banjir sudah pasti juga akan menghampiri kampung kami. Kami sekarang bikin sumur masing-masing di rumah untuk sumber air bersih," kata Nikodemus.

Bekas pembuangan limbah mengakibatkan banyak pepohonan rawa yang hidup segan mati pun tak mau. Bahkan, banyak pepohonan yang merana mengiring, menunggu waktu untuk tumbang dengan sendirinya.

Benar-benar tidak ada upaya pengembalian kawasan seperti semula. Tak hanya warga Mekar Utama yang merasakan dampak lingkungan, warga Desa Pagar Mentimun yang berada persis di bibir pantai Kendawangan pun mengalami dampak yang luar biasa.

Amat Amran (50) salah satunya, seorang warga Parit Mentimun yang sangat merasakan dampaknya. Pria yang dari kecil sudah menjadi nelayan pesisir ini, merasakan dampaknya sejak limbah mencemari ekosistem pinggir pantai melalui aliran Sungai Tengar.

Limbah tersebut merusak rumput laut di pesisir pantai yang menjadi tempat berkembang biak ikan. “Sejak sekitar tahun 2007-2008, rumput laut di pesisir pantai habis mati. Setiap kali musim hujan, tanggul pembungan limbah selalu jebol, limbahnya masuk melalui sungai Tengar dan mengalir menuju ke laut,” kata Amran.

Bagi nelayan pesisir seperti dia, keberadaan rumput laut sangat berperan terhadap hasil tangkapan. Amran dan nelayan pesisir lainnya hanya mengandalkan sampan kayuh untuk mencari ikan.

“Sebelum ada limbah, hasil ikan lebih mudah di dapat. Sekarang sudah susah cari ikan di pinggiran. Mau melaut kita hanya pakai sampan kayuh, paling jauh jarak 200 meter saja. Sekarang nelayan juga sudah banyak yang beralih profesi,” kata Amran.

Dikonfirmasi melalui telepon seluler, Agus Tri Wibowo, Manajer Operasional PT. Harita site Kendawangan membantah semua temuan di lapangan. Menurut dia, pihak perusahaan sudah melakukan reklamasi pasca-tambang dengan menaman pohon karet. Kemudian, lahan milik masyarakat juga sidak dikembalikan oleh perusahaan.

Masuknya perusahaan sawit yang menawarkan lahan bekas tambang untuk dijadikan kebun plasma, menurut Agus Tri diterima oleh warga dengan kesepakatan 80:20. Terkait limbah, Agus Tri mengatakan, kawasan tersebut dibeli putus dari warga. Kawasan tersebut masih digunakan untuk kepentingan pembangunan smelter.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com