Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Potret Reklamasi "Setengah Hati" di Bekas Tambang Harita di Kendawangan

Kompas.com - 17/02/2015, 12:08 WIB
Kontributor Singkawang, Yohanes Kurnia Irawan

Penulis

KENDAWANGAN, KOMPAS.com - Siang itu, Senin (9/2/2015), waktu kira-kira sudah menunjukkan pukul 11.00 siang. Matahari pun sudah mulai menyengat, siap menggosongkan kulit.

Kompas.com bersama dua jurnalis lokal dan nasional lainnya, ditemani sopir dan pemandu warga lokal mulai bersiap berangkat dari hotel tempat kami menginap di Kendawangan, Kabupaten Ketapang. Tujuan kami menuju lokasi bekas tambang bauksit, milik raksasa pertambangan PT Harita Prima Abadi Mineral (HPAM).

Kendawangan khususnya, dan Kabupaten Ketapang umumnya merupakan salah satu kawasan pertambangan yang dikelola oleh HPAM. Namun, sejak adanya Peraturan Menteri Nomor 7 Tahun 2012, tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral, HPAM mulai menghentikan produksinya secara bertahap hingga tahun 2013. Hal ini diikuti dengan merumahkan tenaga kerjanya.

Salah satunya yang beroperasi di Desa Mekar Utama, Kecamatan Kendawangan, Kabupaten Ketapang. Perjalanan siang itu sengaja melewati perkebunan kelapa sawit, menuju Dusun Suka Ria, yang masuk dalam kawasan Izin Usaha Pertambangan (IUP) HPAM.

Di sana, kami singgah sejenak di Dusun Suka Ria, untuk bertemu Nikodemus (32), kepala dusun yang baru menjabat tidak lebih dari dua tahun. Nikodemus pun mulai menguraikan kondisi sebenarnya di kawasan bekas tambang HPAM di dusunnya.

"Reklamasi kawasan bekas tambang bauksit HPAM yang beroperasi di Kendawangan belum 100 persen. Kebanyakan tanah yang dikembalikan ke masyarakat tidak direklamasi pasca tambang. Masyarakat pun berusaha mencoba menanam sendiri lahan bekas tambang itu. Tapi tumbuhnya kerdil dan tidak bagus," kata Nikodemus mengawali ceritanya, Senin (9/2/2015) kemarin.

Sekilas, kawasan di sekitar pemukiman di Dusun Sukaria tampak asri dan rindang. Pepohonan menghijau, dan suasana khas pedesaan masih kental terasa. Nikodemus pun mengajak berkeliling menuju bekas tambang, yang jaraknya hanya 200 meter dari dusun.

Begitu memasuki kawasan bekas pertambangan, suasana teduh di perkampungan terlihat seperti kamuflase untuk mengaburkan keadaan sebenarnya di belakang kampung mereka. Kawasan bekas tambang HPAM dengan lubang menganga dan genangan air. Sejauh mata memandang, warna merah dari tanah bekas galian bauksit memenuhi pemandangan.

"Ini kolam bekas washing plant (WP). Dulu dikenal dengan nama Jisamsu. Kolam ini dulu ada sungai nya. Tapi sengaja diputus aliran sungainya untuk dibuat kolam penampungan air. Yang di sebelah sana itu tempat pembuangan limbah, sampai ke rawa-rawa," kata Nikodemus.

Di kawasan yang luas itu, memang tidak terlihat adanya tumbuhan hijau. Bahkan rumput pun enggan untuk tumbuh. Aktivitas bekas tambang rupanya sudah merusak sistem hidrologi dan menghilangkan unsur hara tanah.

Nikodemus pun menujukkan bekas lahan tambang yang ditanam sendiri oleh warga, terlihat batang karet yang berusia sekitar tiga tahun hanya sebesar lengan orang dewasa.

KOMPAS.com/Yohanes Kurnia Irawan Kawasan rawa yang terkena dampak pembuangan limbah bekas tambang bauksit milik PT.HPAM yang digunakan sebagai tempat washing plant di site desa Mekar Utama, Kecamatan Kendawangan, Ketapang, Kalimantan Barat (9/2/2015).
Kelapa Sawit

Secara visual, areal bekas tambang tersebut ada yang sudah ditanami dengan pohon kelapa sawit. Tambang hilang, Sawit pun didulang. Warga pun masih belum paham tentang masuknya sawit tersebut di bekas areal tambang.

“Sawit ini ada yang memang ditanam sendiri oleh warga. Tapi ada juga yang dari perusahaan. Tidak lama setelah tambang beroperasi, masuk lagi sawit. Sekarang masyarakat mau nuntut ke mana, ke perusahaan tambang sudah tidak mungkin lagi kan sudah berhenti beroperasi, ke perusahaan sawit juga dia dapatnya dari perusahaan tambang,” kata Nikodemus.

Adanya perusahaan sawit milik PT Bumi Gunajaya Agro yang masuk di areal bekas tambang juga menjadi tanda tanya yang sangat besar bagi warga. Tidak adanya sosialisasi bagi masyarakat, sehingga terjadi saling lempar tanggung jawab antara perusahaan sawit dan perusahaan tambang.

Menurut Nikodemus, warga tidak tau berapa luas kawasan yang dikelola HPAM dan kawasan milik masyarakat. Sejak zaman kepala dusun sebelumnya, Nikodemus mengatakan bahwa warga sudah pernah meminta diperlihatkan peta kawasan kepada pihak perusahan. Tetapi tidak pernah ditanggapi dan diperlihatkan oleh pihak perusahaan.

Tak jauh dari bekas tambang HPAM, ada sebuah bukit yang mulai terpangkas. Warna bukit pun tak lagi hijau seperti bukit lainnya. Warnanya merah, karena sudah dikupas. Ketinggiannya pun tidak utuh lagi.

Puluhan truk dan puluhan alat berat tak henti menggaruk dan membawa tanah-tanah itu untuk material timbunan. Sebaliknya, di beberapa kawasan terlihat timbunan, seperti bekas galian dari daerah rawa dan gambut.

Berdasarkan penuturan Nikodemus, lahan rawa gambut sengaja digali dan ditimbun kembali dengan tanah dari bukit. Proses itu untuk membangun smelter bauksit yang saat ini sedang dalam proses pengerjaan.

Smelter Grade Alumina itu dibangun oleh PT Wall Harvest Wining Alumina Refinery (WHW). "Jadi tanah rawa gambut dipindah ke bukit, tanah yang dibukit ditimbun dibekas rawa gambut," kata Nikodemus.

Dampak Lingkungan

Tak hanya reklamasi yang tidak dilakukan HPAM yang dikeluhkan oleh warga. Dampak lingkungan dari limbah yang dihasilkan juga dikeluhkan hingga masyarakat yang tinggal di pesisir pantai Kendawangan.

Dari cerita Nikodemus, sebelumnya di kawasan bekas tambang tersebut, setiap aliran sungai merupakan bagian dari rawa dan hutan. Sungai itu yang dulu biasa mereka gunakan untuk mandi, mencari ikan dan aktivitas lainnya. Namun, sejak dibukanya kawasan untuk pertambangan bausit, tempat yang ada menjadi keruh.

Sungai yang ada diputus alirannya dan dijadikan kolam raksasa untuk kebutuhan washing plant bauksit. "Kalau musim hujan tiba, banjir sudah pasti juga akan menghampiri kampung kami. Kami sekarang bikin sumur masing-masing di rumah untuk sumber air bersih," kata Nikodemus.

Bekas pembuangan limbah mengakibatkan banyak pepohonan rawa yang hidup segan mati pun tak mau. Bahkan, banyak pepohonan yang merana mengiring, menunggu waktu untuk tumbang dengan sendirinya.

Benar-benar tidak ada upaya pengembalian kawasan seperti semula. Tak hanya warga Mekar Utama yang merasakan dampak lingkungan, warga Desa Pagar Mentimun yang berada persis di bibir pantai Kendawangan pun mengalami dampak yang luar biasa.

Amat Amran (50) salah satunya, seorang warga Parit Mentimun yang sangat merasakan dampaknya. Pria yang dari kecil sudah menjadi nelayan pesisir ini, merasakan dampaknya sejak limbah mencemari ekosistem pinggir pantai melalui aliran Sungai Tengar.

Limbah tersebut merusak rumput laut di pesisir pantai yang menjadi tempat berkembang biak ikan. “Sejak sekitar tahun 2007-2008, rumput laut di pesisir pantai habis mati. Setiap kali musim hujan, tanggul pembungan limbah selalu jebol, limbahnya masuk melalui sungai Tengar dan mengalir menuju ke laut,” kata Amran.

Bagi nelayan pesisir seperti dia, keberadaan rumput laut sangat berperan terhadap hasil tangkapan. Amran dan nelayan pesisir lainnya hanya mengandalkan sampan kayuh untuk mencari ikan.

“Sebelum ada limbah, hasil ikan lebih mudah di dapat. Sekarang sudah susah cari ikan di pinggiran. Mau melaut kita hanya pakai sampan kayuh, paling jauh jarak 200 meter saja. Sekarang nelayan juga sudah banyak yang beralih profesi,” kata Amran.

Dikonfirmasi melalui telepon seluler, Agus Tri Wibowo, Manajer Operasional PT. Harita site Kendawangan membantah semua temuan di lapangan. Menurut dia, pihak perusahaan sudah melakukan reklamasi pasca-tambang dengan menaman pohon karet. Kemudian, lahan milik masyarakat juga sidak dikembalikan oleh perusahaan.

Masuknya perusahaan sawit yang menawarkan lahan bekas tambang untuk dijadikan kebun plasma, menurut Agus Tri diterima oleh warga dengan kesepakatan 80:20. Terkait limbah, Agus Tri mengatakan, kawasan tersebut dibeli putus dari warga. Kawasan tersebut masih digunakan untuk kepentingan pembangunan smelter.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com