Tri Hardiyanti, penumpang asal Binuang-Pinrang, misalnya. Dia mengaku turun dari mobil angkutan lantaran sopir angkutan yang ditumpanginya meminta tarif tinggi di tengah jalan. “Semula penumpang naik, namun di tengah jalan sopir menyampaikan kenaikan tarif angkutan hingga Rp 30.000, padahal biasanya hanya Rp 20.000 saja. Belum lagi sopir menaikkan tarif lebih tinggi,” ujar Tri.
“Karena saya merasa dizalimi dengan cara diminta membayar tarif tinggi, dan menurut saya itu tidak adil. Saya akhirnya memilih turun dan menunggu angkutan lain meski saya kesal,” ujar Tri lagi.
Naila, ibu rumah tangga dua anak ini, juga mengeluhkan sikap sebagian sopir yang seenaknya menaikkan tarif angkutan di luar batas kewajaran. Sejumlah sopir dinilai justru memanfaatkan situasi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) untuk mengeruk pendapatan yang tidak halal.
“Saya terpaksa bayar Rp 35.000 karena sudah telanjur naik mobil dan dua anak saya. Karena repot naik turun kendaraan, apalagi ada dua anak saya. Akhirnya saya hanya pasrah saja meski saya sangat kesal,” ujar Naila.
Naila berharap agar pemerintah dalam hal ini Dinas Perhubungan bersama Organda bisa segera membuat ketentuan tarif angkutan yang mempertimbangkan kepentingan semua pihak, termasuk daya beli penumpang.
“Kalau tidak ada sosialisasi ketentuan tarif baru, para sopir kan seenaknya menaikkan tarif tanpa mempertimbangkan kepentingan penumpang. Harusnya ketentuan tarif sudah ada agar bisa jadi patokan semua pihak," kata Naila.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.