Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jejak Transmigran Jawa di Wonomulyo

Kompas.com - 19/09/2014, 13:40 WIB

Di ujung Desa Bumiayu, saya menghentikan perjalanan demi melihat beberapa warga sedang duduk santai di rumah mereka. Saya mendapati beberapa orang di sana. Setelah berkenalan, tahulah saya, nama pemilik rumah yang saya singgahi adalah Waginem yang kini nerusia 65 tahun.

Perempuan bercucu 12 orang itu adalah putri sulung pasangan Sutosiran dan Ngadisah yang datang sebagai transmigran di Sulawesi pada tahun 1935. Menurut Waginem, ayahnya harus membabat hutan untuk dijadikan tempat tinggal, pekarangan, dan sawah. Kata Waginem, sang ayah berhasil membabat hutan seluas dua hektar. Waginem masih ingat betapa keluarganya kala itu pernah merasai kebahagiaan lantaran padi dan palawija yang ditanam di pekarangan dan sawahnya hasilnya melimpah.

Sampai akhirnya, akibat perilaku ayahnya, nasib Sutosiran dan keturunannya pun berubah. Ujar Waginem, sang ayah tergoda oleh judi dan perempuan. Petak demi petak tanahnya dijual, hingga akhirnya Sutosiran jatuh miskin. Maka, Sutosiran pun seperti sedang menuliskan nasib anak-anak dan keturunannya menjadi miskin. Sebab, tak ada harta benda yang bisa diwariskan kepada kelima anaknya, maka anak-anak dan keturunan Sutosiran pun tak berdaya menghadapi zaman yang kian keras.

"Kami sekarang menjadi orang Jawa yang miskin di sini. Kami hanya tukang batu," kata anak Waginem yang bernama Jumdi (38).

"Semua ini karena kakek kami seorang penjudi sehingga anak-anak dan cucu-cucunya jadi sengsara," sambung Jumdi seperti mengutuki kelakuan kakeknya yang mewarisi kemiskinan.

***
Lain Waginem dan Jumdi, lain pula Marsam. Lelaki usia 48 tahun yang saya temui di perjalanan itu nasibnya jauh lebih baik ketimbang Waginem dan anak keturunannya. Marsam kini menjadi Kepala Desa Bumi Ayu.

Marsam adalah keturunan ketiga dari sang kakek yang masuk ke Sulawesi pada tahun 1939, saat Belanda masih berkuasa di Indonesia. "Kakek babad hutan di daerah Bumiayu. Setelah dibabat menjadi bagus, akhirnya dinamakan bumi cantik, Bumi Ayu," kenang Marsam.

Kakek Marsam bernama Sanwuyadi. "Kakek sudah menikah di Jawa. Beliau membawa delapan anak dari Jawa, dari daerah Tulung Agung, Jatim. Kakek konon kuat membabat tiga hektar lahan," ungkap Marsam.

Lahan seluas iga hektar itu pun ditanami padi, jagung, kedele, timun, dan lain-lain. Dibanding dengan kehidupan di Jawa, ibarat bumi dan langit. Jika di Jawa kakeknya hidup miskin, maka nasibnya di tanah rantau jauh lebih baik. "Kakek hidup berkecukupan. Sampai sekarang warisannya bisa dinikmati oleh anak cucu."

Salah satu buktinya adalah kehidupan Marsam yang berkecukupan dan terpandang di desanya. Sejak 26 Desember 2012, Marsam terpilih jadi kepala desa. Dia dipilih oleh 565 dari 1.800 pemilih yang diperebutkan oleh lima calon kepala desa.

Marsam pun seperti mewarisi kesuksesan para kepala desa sebelum dirinya yang kesemuanya dari Jawa. Kepala desa yang pertama adalah Mbah Jedung, kemudian Haji Sapuang, Mbah Salis, Pak Toiran, Wiro Sukarto, Haji Trimo, Pak Rio Purwoko, Pak Madi Susanto, dan kini Marsam.

Dibantu oleh beberapa stafnya, Marsam kini memimpin 2.959 warga yang tersebar di lima dusun, yaitu Dusun Tulung Agung, Blitar, Kebun Dalam, Jogja Lama, dan Ponorogo, yang bermatapencarian sebagai petani 80 persen, 10 persen PNS, TNI/POLRI 2 persen, pensiunan dua persen, dan wiraswasta 6 persen.

Menurut Marsam, mereka yang berhasil di Wonomulyo adalah mereka yang menaati peraturan agama. Tidak mabuk-mabukan dan tidak berjudi. Mereka yang sukses dari keturunan transmigran yang berada di Kebun Dalam karena dari hasil pertaniannya. Sementara yang di Jogja Lama, mereka sukses karena banyak yang menjadi pegawai.

Matahari mulai condong ke barat. Saya segera berpamitan kepada Marsam, lantaran kantor kepala desa sebentar lagi tutup. Setelah berpamitan, kekangenan saya untuk bertemu dengan transmigran dari Jawa cukup terobati. Ada dua potret transmigran yang saya jumpai di sana, ialah mereka yang gagal dan berhasil. Ada harapan sekaligus kecemasan di sana. Selama berkendara menuju Desa Pambusuang, saya terus berdoa untuk keluarga Waginah, semoga Tuhan memberinya kekuatan dan kehidupan yang lebih baik. Jodhi Yudono

@JodhiY

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com