Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jejak Transmigran Jawa di Wonomulyo

Kompas.com - 19/09/2014, 13:40 WIB
Catatan Kaki Jodhi Yudono

Masih lekat di ingatan saya, saat masih kanak-kanak pada tahun 70-an, saya menyaksikan beberapa bus berjajar di desa kami, Kaliminggir, Kecamatan Jeruklegi, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah, pada suatu pagi. Hari itu, puluhan warga di kampung saya hendak diberangkatkan ke Sulawesi sebagai transmigran.

Ada di antara transmigran itu yang saya kenal dengan baik. Dan, pagi itu pun saya sempat berdoa kepada Tuhan, semoga suatu saat nanti saya akan dipertemukan kembali dengan mereka yang saat itu sudah di dalam bus. Ada perasaan sedih kala itu, sebab membayangkan betapa jauhnya Sulawesi. Jangan-jangan, itulah kali terakhir saya melihat orang-orang sekampung di bus yang akan membawa mereka ke tempat yang jauh.

Sebulan, setahun, berpuluh-puluh tahun, kabar tentang mereka tak pernah saya dengar. Kadang saya menduga, mereka barangkali telah menjadi jutawan di negeri yang jauh itu. Tetapi, pada lain waktu, saya juga dihinggapi kekhawatiran demi mendengar kabar yang beredar kala itu, betapa sebagian di antara mereka mendapatkan tanah yang tidak subur dan menyebabkan mereka sengsara di negeri orang.

Maka, saat mendapat kesempatan pergi ke Sulawesi Barat pada pertengahan September 2014 lalu, ingatan pada masa kanak-kanak saya pun timbul kembali. Sebab, di sana, tepatnya di Kecamatan Wonomulyo, Kabupaten Polewali Mandar, Provinsi Sulawesi Barat, merupakan basis transmigran dari Jawa yang dinilai sukses.

Setelah pesawat mendarat di Bandara Hasanuddin, Makassar, saya harus melanjutkan berkendara menuju Polewali Mandar selama enam jam. Untunglah, hari telah sore, sehingga perjalanan tidak terlalu menyengat.

Sekira pukul 22.00 WIT, saya pun sampai di Polewali Mandar. Saya langsung menuju ke Pantai Bahari, berharap bisa menjumpai kemeriahan "Sandeq 2014". Lantaran telah cukup larut, pantai itu pun cuma meninggalkan bekas keriuhan berupa kertas dan plastik.

Inilah Kabupaten Polewali Mandar, salah satu kabupaten yang baru saya kunjungi. Polewali Mandar yang sering disingkat Polman memiliki perjalanan yang cukup panjang. Dahulu pada masa pemerintahan Hindia Belanda, daerah ini merupakan bagian dari sebuah wilayah pemerintahan yang terbentang di daerah pesisir bagian barat laut Sulawesi Selatan sampai ke perbatasan Sulawesi Tengah, wilayah tersebut dikenal sebagai wilayah pemerintahan Afdeling Mandar, dipimpin oleh seorang Asisten Residen. Wilayah Afdeling Mandar tersebut terdiri dari empat onder afdeling, yaitu Majene, Mamuju, Mamasa, dan Polewali.

Dalam perkembangan selanjutnya, setelah berakhir sistem pemerintahan Hindia Belanda, ditetapkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat II di Sulawesi. Wilayah Afdeling Mandar dibagi menjadi tiga wilayah kabupaten, yaitu Kabupaten Polewali Mamasa, Kabupaten Majene, dan Kabupaten Mamuju. Ketiga kabupaten tersebut secara administratif masuk dalam wilayah Provinsi Sulawesi Selatan.

Kemudian, pada tanggal 11 Maret 2002, Kabupaten Polewali Mamasa dimekarkan menjadi dua kabupaten, yakni bekas onder afdeling Mamasa menjadi sebuah kabupaten, yaitu Kabupaten Mamasa (Undang-Udang Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Mamasa dan Kota Palopo), kemudian pada tahun 2005 nama kabupaten induk berubah menjadi Kabupaten Polewali Mandar berdasarkan PP No 74 Tahun 2005.

Wilayah bekas Afdeling Mandar terdiri dari lima kabupaten, yaitu Kabupaten Polewali Mandar, Kabupaten Majene, Kabupaten Mamuju, Kabupaten Mamuju Utara, serta Kabupaten Mamasa. Dengan pertimbangan untuk lebih mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, maka pada tanggal 5 Oktober 2004, wilayah bekas Afdeling Mandar tersebut dibentuk menjadi sebuah provinsi yang ke-33 berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2004 tentang Pembentukan Provinsi Sulawesi Barat, dengan menetapkan Mamuju sebagai ibu kota provinsi.

Kembali ke Wonomulyo, menurut Bupati Polewali Mandar Andi Ibrahim Masdar di sela-sela Sandeq Race 2014, pendapatan per kapita warga Wonomulyo paling tinggi di seluruh kabupaten yang dipimpinnya. "Pasar Wonomulyo itu ibaratnya tidak pernah tidur. Perputaran uang di sana per hari bisa mencapai Rp 15 miliar," demikian Masdar mengungkap.

Penasaran oleh pernyataan Bupati Masdar, saya pun keesokan harinya pergi ke Wonomulyo. Niat pertama tentu saja kepengin benar bertemu dengan para tetangga yang telah bertransmigrasi ke Pulau Sulawesi. Selanjutnya, saya ingin membuktikan ucapan Bupati Masdar, setidaknya saya akan turut berbahagia mendapati mereka telah sukses di tanah orang.

Tetapi, baru saja masuk ke gerbang Wonomulyo, saya sudah menemui kekecewaan. Sebab, para transmigran yang menempati wilayah Wonomulyo ternyata tidak ada yang dari Kabupaten Banyumas. Mereka yang dikirim ke Wonomulyo berasal dari beberapa daerah di Jawa Timur, Magelang, dan beberapa daerah di Jawa Barat.

Apa boleh buat, sudah telanjur sampai di Wonomulyo, saya pun terus melanjutkan perjalanan. Saya mulai membelah Desa Sidorejo dan Bumiayu. Terlihat hamparan sawah yang sudah kering. Tampaknya beberapa waktu lalu mereka baru saja panen. Di pekarangan rumah, tampak pohon-pohon mangga baru saja bergunga lebat, sementara di tepian sawah, berjajar pohon kelapa dengan buah yang lebat.

Di ujung Desa Bumiayu, saya menghentikan perjalanan demi melihat beberapa warga sedang duduk santai di rumah mereka. Saya mendapati beberapa orang di sana. Setelah berkenalan, tahulah saya, nama pemilik rumah yang saya singgahi adalah Waginem yang kini nerusia 65 tahun.

Perempuan bercucu 12 orang itu adalah putri sulung pasangan Sutosiran dan Ngadisah yang datang sebagai transmigran di Sulawesi pada tahun 1935. Menurut Waginem, ayahnya harus membabat hutan untuk dijadikan tempat tinggal, pekarangan, dan sawah. Kata Waginem, sang ayah berhasil membabat hutan seluas dua hektar. Waginem masih ingat betapa keluarganya kala itu pernah merasai kebahagiaan lantaran padi dan palawija yang ditanam di pekarangan dan sawahnya hasilnya melimpah.

Sampai akhirnya, akibat perilaku ayahnya, nasib Sutosiran dan keturunannya pun berubah. Ujar Waginem, sang ayah tergoda oleh judi dan perempuan. Petak demi petak tanahnya dijual, hingga akhirnya Sutosiran jatuh miskin. Maka, Sutosiran pun seperti sedang menuliskan nasib anak-anak dan keturunannya menjadi miskin. Sebab, tak ada harta benda yang bisa diwariskan kepada kelima anaknya, maka anak-anak dan keturunan Sutosiran pun tak berdaya menghadapi zaman yang kian keras.

"Kami sekarang menjadi orang Jawa yang miskin di sini. Kami hanya tukang batu," kata anak Waginem yang bernama Jumdi (38).

"Semua ini karena kakek kami seorang penjudi sehingga anak-anak dan cucu-cucunya jadi sengsara," sambung Jumdi seperti mengutuki kelakuan kakeknya yang mewarisi kemiskinan.

***

Nurlila Sahil Marsam, Kepala Desa Bumiayu
Lain Waginem dan Jumdi, lain pula Marsam. Lelaki usia 48 tahun yang saya temui di perjalanan itu nasibnya jauh lebih baik ketimbang Waginem dan anak keturunannya. Marsam kini menjadi Kepala Desa Bumi Ayu.

Marsam adalah keturunan ketiga dari sang kakek yang masuk ke Sulawesi pada tahun 1939, saat Belanda masih berkuasa di Indonesia. "Kakek babad hutan di daerah Bumiayu. Setelah dibabat menjadi bagus, akhirnya dinamakan bumi cantik, Bumi Ayu," kenang Marsam.

Kakek Marsam bernama Sanwuyadi. "Kakek sudah menikah di Jawa. Beliau membawa delapan anak dari Jawa, dari daerah Tulung Agung, Jatim. Kakek konon kuat membabat tiga hektar lahan," ungkap Marsam.

Lahan seluas iga hektar itu pun ditanami padi, jagung, kedele, timun, dan lain-lain. Dibanding dengan kehidupan di Jawa, ibarat bumi dan langit. Jika di Jawa kakeknya hidup miskin, maka nasibnya di tanah rantau jauh lebih baik. "Kakek hidup berkecukupan. Sampai sekarang warisannya bisa dinikmati oleh anak cucu."

Salah satu buktinya adalah kehidupan Marsam yang berkecukupan dan terpandang di desanya. Sejak 26 Desember 2012, Marsam terpilih jadi kepala desa. Dia dipilih oleh 565 dari 1.800 pemilih yang diperebutkan oleh lima calon kepala desa.

Marsam pun seperti mewarisi kesuksesan para kepala desa sebelum dirinya yang kesemuanya dari Jawa. Kepala desa yang pertama adalah Mbah Jedung, kemudian Haji Sapuang, Mbah Salis, Pak Toiran, Wiro Sukarto, Haji Trimo, Pak Rio Purwoko, Pak Madi Susanto, dan kini Marsam.

Dibantu oleh beberapa stafnya, Marsam kini memimpin 2.959 warga yang tersebar di lima dusun, yaitu Dusun Tulung Agung, Blitar, Kebun Dalam, Jogja Lama, dan Ponorogo, yang bermatapencarian sebagai petani 80 persen, 10 persen PNS, TNI/POLRI 2 persen, pensiunan dua persen, dan wiraswasta 6 persen.

Menurut Marsam, mereka yang berhasil di Wonomulyo adalah mereka yang menaati peraturan agama. Tidak mabuk-mabukan dan tidak berjudi. Mereka yang sukses dari keturunan transmigran yang berada di Kebun Dalam karena dari hasil pertaniannya. Sementara yang di Jogja Lama, mereka sukses karena banyak yang menjadi pegawai.

Matahari mulai condong ke barat. Saya segera berpamitan kepada Marsam, lantaran kantor kepala desa sebentar lagi tutup. Setelah berpamitan, kekangenan saya untuk bertemu dengan transmigran dari Jawa cukup terobati. Ada dua potret transmigran yang saya jumpai di sana, ialah mereka yang gagal dan berhasil. Ada harapan sekaligus kecemasan di sana. Selama berkendara menuju Desa Pambusuang, saya terus berdoa untuk keluarga Waginah, semoga Tuhan memberinya kekuatan dan kehidupan yang lebih baik. Jodhi Yudono

@JodhiY

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com