"Berdasarkan literatur, pelaku (pencabulan) pernah menjadi korban pada masa kecilnya. Itu harus menjadi perhatian semua," kata Teddy di Ruang Komite Medik RSHS Bandung, Rabu (7/5/2014).
Teddy menjelaskan, perlu ada tindakan berupa bimbingan dan konseling bagi para korban untuk mencegah mereka menjadi pelaku. Teddy menggunakan kasus Emon sebagai contoh. Dinas kesehatan setempat, lanjutnya, harus memilah-milah mana korban baru dan korban lama.
"(Korban) yang masih baru dan lama beda pendekatannya. Yang baru harus dicek, apakah ada trauma atau tidak. Kalau pelaku HIV positif, tentu penularannya akan lebih efektif," ujarnya.
Selain masalah fisik, Teddy juga menganjurkan agar penanganannya juga dibarengi dengan penanganan kejiwaannya. Pasalnya, korban tindakan asusila yang rata-rata masih usia anak-anak dipastikan mengalami guncangan psikologis yang menyebabkan trauma.
Walau demikian, meski mengalami guncangan kejiwaan dan trauma serta rasa sakit di bagian sensitif, dari sekian banyak korban asusila, mereka secara tidak sadar merasakan kenikmatan.
Teddy meyakini, hal itu yang akan membuat korban berubah menjadi pelaku karena terdorong untuk mencari kenikmatan tersebut.
"Justru itu perasaan yang menjadi penyebab dia saat remaja, apakah jadi pelaku atau ke arah homoseksual. Mungkin korban tidak mengatakan enak atau nikmat, tetapi karena tidak mengeluh, itu yang bahaya," ujarnya.
Selain itu, anak korban paedofilia harus selalu memperoleh pendampingan dan konseling. Menurut dia, perkembangan psikoseksual korban harus diikuti terus untuk mengetahui apakah dia menyukai sesama jenis atau normal.
"Keluarga perlu memberikan dukungan agar anak tidak rendah diri atau menjadi malu karena dicap sebagai korban sodomi. Privasi anak juga harus dijaga," tuturnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.