Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dirikan Sekolah Gratis di Bengkulu, Petani Ini Sempat Dianggap Gila

Kompas.com - 21/04/2014, 19:19 WIB
Kontributor Bengkulu, Firmansyah

Penulis


BENGKULU, KOMPAS.com — Sabur (45), warga Desa Aur Cina, Kecamatan Selagen Raya, Kabupaten Mukumuko, Bengkulu, sempat dianggap gila karena memiliki ide membangun sekolah gratis untuk anak-anak petani di desa tersebut. Namun setelah ide itu terwujud, masyarakat pun ikut membantunya.

Sekolah yang dibangun Sabur itu adalah Madrasah Tsanawiyah (MTs) Syuhada. Sekolah setingkat SMP itu didirikan di atas tanah seluas seperempat hektar di Desa Aur Cina, Kecamatan Selagan Raya, Kabupaten Mukomuko.

Bentuk bangunannya sederhana, dan semuanya berbahan kayu. Dindingnya terbuat dari papan kayu dan atapnya dari seng bekas. Jendelanya pun terbuat dari kayu tanpa kaca. Sementara itu lantainya tidak menggunakan keramik, tetapi plester semen.

Awalnya, Sabur enggan menceritakan lebih jauh awal mula berdirinya sekolah mandiri tersebut. Namun, Sabur akhirnya berkisah.

"Sekolah ini awalnya modal dari saya dan istri saya. Kami bersepakat menjual kebun sawit, lalu hasil penjualannya, saya sisipkan beberapa gram emas untuk istri. Selebihnya uang itu kami sepakat belikan tanah seluas seperempat hektar untuk mendirikan sekolah," kata Sabur, Senin (21/4/2014).

Selain membeli tanah, uang tersebut ia gunakan pula untuk mengurus izin pembuatan sekolah yang ia naungi dalam sebuah yayasan bernama Bakti Semarak.

Menurutnya, ide untuk membangun sekolah gratis itu awalnya mendapat cemooh dari masyarakat. Bahkan, beberapa orang menganggap idenya itu tak masuk akal dan gila. Namun setelah melihat usaha Sabur berhasil, masyarakat justru ikut membantunya.

Madrasah yang didirikan pada 30 Maret 2012 silam ini kini memiliki 50 siswa yang dididik oleh 10 orang guru.

"Semua gurunya sarjana dan mereka bekerja ikhlas, bahkan tidak digaji. Kalaupun ada sumbangan dari beberapa donatur, barulah mereka gajian. Namun selebihnya guru-guru kami tidak digaji, mereka bekerja secara swadaya dan ikhlas," katanya.

Mendirikan sekolah mandiri itu, kata dia, merupakan pesan dari kedua orangtuanya agar ia bisa menjadi manusia yang bermanfaat bagi masyarakat, dan di bidang kemanusiaan.

Tak wajib pakai seragam

Sejauh ini, menurut dia, sekolahnya memiliki dua kelas, yakni kelas satu dan dua. Namun kini, Sabur mengaku pihaknya menghadapi dua tantangan baru dalam mendidik anak-anak para petani itu, yakni minimnya buku pegangan untuk siswa dan minimnya kesejahteraan guru.

Bahkan, kata dia, sebagian siswa ada yang belum memiliki seragam sekolah resmi. Oleh karena itu, pihak sekolah akhirnya tidak mewajibkan siswa mengenakan seragam sekolah.

Selama ini, sekolah tersebut baru dibantu oleh Kementerian Agama Kabupaten Mukomuko untuk menutup dana operasional dan buku. Namun, dana itu belum mencukupi.

Sabur pun berharap ada donatur atau perusahaan-perusahaan besar swasta yang dapat membantu dan menjadi donatur tetap sekolah mandirinya itu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com