Salin Artikel

Tradisi Lebaran Ketupat: Sejarah, Filosofi, dan Perbedaan dengan Hari Raya Idul Fitri

KOMPAS.com - Lebaran Ketupat dikenal sebagai sebuah tradisi yang dirayakan pada bulan Syawal, yaitu bulan setelah Ramadhan dalam kalender Hijriyah.

Di beberapa daerah, tradisi Lebaran Ketupat juga dikenal sebagai Riyoyo Kupat, Bakda Kupat, atau Kupatan.

Meskipun menggunakan istilah ‘Lebaran’, tradisi ini berbeda dengan perayaan Hari Raya Idul Fitri yang jatuh pada tanggal 1 Syawal.

Dilansir dari laman nu.or.id, Lebaran Ketupat adalah tradisi masyarakat muslim di Indonesia khususnya di Pulau Jawa yang dilaksanakan di bulan Syawal setelah perayaan Hari Raya Idul Fitri.

Tradisi Lebaran Ketupat ini dilaksanakan satu minggu atau tujuh hari setelah Hari Raya Idul Fitri, atau jatuh pada tanggal 8 Syawal.

Penentuan waktu pelaksanaan tradisi Lebaran Ketupat yaitu setelah umat Islam selesai melakukan sunnah dengan menjalankan puasa Syawal pada tanggal 2-7 Syawal.

Sejarah Lebaran Ketupat

Dilansir dari laman banten.nu.or.id sejarah Lebaran Ketupat atau Kupatan ternyata erat kaitannya dengan sosok salah satu Wali Songo yaitu Raden Mas Syahid atau lebih dikenal sebagai Sunan Kalijaga.

Sunan Kalijaga adalah sosok memperkenalkan ketupat sebagai makanan khas Lebaran yang kemudian menjadi simbol perayaan hari raya Idul Fitri pada masa kerajaan Demak yang dipimpin oleh Raden Patah.

Selanjutnya, tradisi Lebaran Ketupat ini dilambangkan sebagai simbol kebersamaan dengan memasak ketupat dan mengantarkannya kepada sanak kerabat.

Sementara dilansir dari laman nu.or.id, budayawan Zastrouw Al-Ngatawi menyebut bahwa tradisi kupatan (Lebaran Ketupat) yang muncul pada era Wali Songo memanfaatkan tradisi slametan yang sudah berkembang di kalangan masyarakat Nusantara.

Tradisi ini kemudian dijadikan sarana untuk mengenalkan ajaran Islam, terutama mengenai cara bersyukur kepada Allah SWT, bersedekah, dan bersilaturahmi di hari lebaran.

Filosofi dalam Perayaan Lebaran Ketupat

Perayaan Lebaran Ketupat tidak jauh dari berbagai nilai filosofi dalam sebuah ketupat, khususnya bagi orang Jawa.

Dilansir dari laman banten.nu.or.id, tradisi Lebaran Ketupat memang lekat dengan munculnya sajian ketupat, makanan berbahan dasar beras yang dibungkus janur kuning dengan bentuk segi empat.

Ketupat atau kupat menurut filosofi Jawa memiliki makna ‘ngaku lepat’ yang artinya mengakui kesalahan.

Bagian-bagian dari ketupat dan lauk pendampingnya juga mengandung filosofi tersendiri.

Seperti isi ketupat yaitu beras berwarna putih adalah bentuk harapan agar kehidupannya dipenuhi dengan kemakmuran, sekaligus mencerminkan bahwa dengan memohon maaf atas segala kesalahan maka diharapkan jiwa kita bisa seputih isi ketupat tersebut.

Janur kuning yang membungkus ketupat menurut filosofi Jawa merupakan kepanjangan dari ‘sejatine nur’ yang melambangkan seluruh manusia berada dalam kondisi yang bersih dan suci setelah melaksanakan ibadah puasa.

Selain itu, masyarakat Jawa juga percaya bahwa janur memiliki kekuatan magis untuk tolak bala.

Selanjutnya, anyaman ketupat yang rumit memiliki makna bahwa hidup manusia itu juga penuh dengan liku-liku, pasti ada kesalahan di dalamnya.

Sementara bentuk segi empat dari ketupat menjadi gambaran empat jenis nafsu dunia yaitu nafsu emosional, nafsu untuk memuaskan rasa lapar, nafsu untuk memiliki sesuatu yang indah, dan nafsu untuk memaksa diri.

Sehingga seseorang orang yang memakan ketupat menggambarkan bahwa ia telah bisa mengendalikan keempat nafsu tersebut setelah melaksanakan ibadah puasa.

Sementara lauk pendamping dari santan atau santen menurut filosofi Jawa memiliki makna ‘pangapunten’ atau memohon maaf atas kesalahan.

Dari sajian tersebut kemudian dikenal istilah ‘mangan kupat nganggo santen, menawi lepat nyuwun pangapunten’ yang artinya ‘makan ketupat pakai santan, bila ada kesalahan mohon dimaafkan’.

Adanya nilai filosofi dalam tradisi ini juga bertujuan agar tidak disalahgunakan untuk sesuatu yang syirik, dan untuk melestarikan syiar Islam yang berciri khas akulturasi budaya.

Perbedaan Lebaran Ketupat dan Hari Raya Idul Fitri

Lebaran Ketupat dan Lebaran yang dirayakan Hari Raya Idul Fitri memiliki berbagai perbedaan, terutama dari waktu, cara pelaksanaan, dan tujuan perayaan.

Dari waktu pelaksanaan, Lebaran yang dirayakan pada Hari Raya Idul Fitri jatuh pada tanggal 1 Syawal, sementara tradisi Lebaran Ketupat jatuh pada tanggal 8 Syawal.

Cara perayaan Lebaran yang dirayakan pada Hari Raya Idul Fitri adalah dengan melakukan shalat Idul Fitri, sementara tradisi Lebaran Ketupat tidak dirayakan dengan ibadah khusus.

Biasanya tradisi Lebaran Ketupat dilakukan dengan berkumpul, membaca doa-doa, bermaaf-maafan, dan saling bertukar hidangan yang berbahan dasar ketupat.

Dilansir dari laman resmi Desa Jatimulyo, Kecamatan Petanahan, Kabupaten Kebumen, Lebaran Ketupat bukan merupakan ibadah tambahan.

Dalam pelaksanaannya tidak ada unsur-unsur ibadah sama sekali, seperti tidak ada takbiran maupun bentuk shalat, namun hanya sekedar berkumpul atau menghantar sedekah makanan berbentuk ketupat.

Adapun tujuan perayaan Lebaran yang dirayakan pada Hari Raya Idul Fitri adalah ibadah pada tanggal 1 Syawal, sementara tujuan tradisi Lebaran Ketupat adalah sebagai bagian dari syiar Islam yang yang berciri khas akulturasi budaya dan lebih dimaknai sebagai simbol kebersamaan.

Sumber:
banten.nu.or.id  
nu.or.id  
jatimulyo.kec-petanahan.kebumenkab.go.id  

https://regional.kompas.com/read/2024/04/14/230026778/tradisi-lebaran-ketupat-sejarah-filosofi-dan-perbedaan-dengan-hari-raya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke