Salin Artikel

Sejarah Dugderan, Wajah Keberagamaan Kota Semarang untuk Menyambut Ramadhan

Berdasarkan arsip Kementerian Pendidikan (Kemendikbud), Dugderan pertama kali digelar sekitar 1862-1881 oleh Bupati Semarang Raden Mas Tumenggung Aryo Purboningrat. 

Dugderan digagas sebagai kegiatan untuk menentukan pertanda awal waktu puasa. 

Nama Dugderan sendiri merupakan onomatope dari suara pukulan bedug dan dentuman meriam, sebagai tanda dimulainya Ramadhan. 

Raden Mas Tumenggung Aryo Purboningrat menghelat upacara dengan membunyikan suara bedug (dengan bunyi dug) sebagai puncak "awal bulan puasa" sebanyak 17 (tujuh belas) kali dan diikuti dengan suara dentuman meriam (dengan bunyi der) sebanyak 7 kali. 

Perpaduan bunyi bedug dan meriam tersebut yang kemudian membuat tradisi tersebut diberi nama Dugderan. 

Hal tersebut juga dibenarkan oleh Pemerhati Sejarah Kota Semarang, Johanes Chistiono. Secara esensi Tradisi Dugderan merupakan penanda memasuki Ramadhan.

"Sebelum Muslim melaksanakan ibadah yang sakral itu dibuatkan acara khusus dengan membunyikan petasan. Dulu tahun 80-an pakai bom udara," jelasnya kepada Kompas.com, Rabu (6/3/2024). 

Namun, beberapa tahun kemudian bom udara itu dihentikan karena dibangun menara di Masjid Kauman. 

"Diganti dengan membunyikan sirene. Bom udara jika diledakan di udara bisa sampai radius 5 kilometer," kata dia.

Menurutnya, yang identik dengan Dugderan adalah adanya binatang mitos yang bernama Warak Ngendog yang melambangkan akulturasi budaya di Kota Semarang. 

"Itu kan binatang mitos melambangkan akulturasi budayaan di Semarang. Kepalanya naga, bulunya burung, kakinya kambing. Itu kan gabungan China, Arab, dan Jawa," ungkap Johanes. 

Selain itu, juga ada Roti Ganjel Rel salah satu makanan yang identik dengan Dugderan. Biasanya, roti tersebut dibagikan kepada warga saat puncak acara Dugderan.

"Roti Ganjel Rel dibagi untuk takjil," ujar dia. 

Diadakan berbeda

Ketua Panitia Dugderan, Khoirul Ikhsan menyebut, Pasar Dugderan merupakan tradisi suka cita untuk menyambut bulan suci Ramadhan di Kota Semarang. 

Tahun ini, Pasar Dugderan diramaikan oleh lebih dari 200 stan kuliner, pakaian, pernak-pernik, hingga mainan tradisional anak-anak.

"Pasar Dugderan 2024 yang keliahatan nyata beda itu dari wahana permainannya. Kalau tahun 2023 ada, tahun ini tidak ada," ucap Ikhsan.

Dia menyebut, tak adanya wahana permainan pada tahun ini karena ada sejumlah poin evaluasi terhadap penyelenggaraan tahun lalu. 

Diketahui, pada tahun lalu ada kecelakaan di salah satu wahana permainan. Selain itu, wahana permainan di beberapa ruas jalan menyebabkan kemacetan lalu lintas. 

Meski demikian, imbuh Ikhsan, antusias masyarakat Semarang maupun luar kota sangat luar biasa.

Bahkan, pasar yang digelar pada 28 Februari hingga 8 Maret 2024 ini selalu ramai dikunjungi pada sore hingga malam hari. 

"Antusias masyarakat ramai juga. Karena pengelola meramu menjadi sebuah daya tarik, dengan adanya kuliner kekinian. Ya keramaiannya tentatif perhari," tutur dia.

https://regional.kompas.com/read/2024/03/07/080400578/sejarah-dugderan-wajah-keberagamaan-kota-semarang-untuk-menyambut-ramadhan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke