Salin Artikel

Saat Petani Padi Berebut Jadi Buruh Angkut untuk Mencukupi Kebutuhan...

DOMPU, KOMPAS.com - Basrin (41), petani padi di Desa Matua, Kecamatan Woja, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat (NTB), masih harus berjuang mencari penghasilan tambahan di tengah tingginya harga gabah.

Selain menggarap lahan sawah pribadi, di masa panen raya ini ia harus meluangkan waktunya untuk menjadi buruh angkut padi.

Hal itu terpaksa dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup istri dan dua orang anak yang kini duduk di bangku sekolah dasar.

Ketika ditemui Kompas.com di areal pertanian So Buncu, Desa Matua, pada Senin (4/3/2024), Basrin tengah berteduh di bawah pohon asam dengan tubuh terlihat bercucuran keringat.

Basrin rupanya baru saja selesai mengangkut beberapa karung gabah dengan berjalan kaki dari lokasi panen menuju jalan raya, tempat penimbangan padi oleh para tengkulak.

Dengan jarak tempuh sekitar 200 meter, Basrin mendapat upah dari pemilik lahan sebesar Rp 30.000 per karung.

"Upahnya tergantung jarak, kalau jauh seperti ini Rp 30.000 per karung, kalau dekat dengan jalan raya hanya Rp 10.000 per karung," kata Basrin.

Basrin mengungkapkan, saat panen raya seperti sekarang, ia bisa mengumpulkan upah angkut Rp 200.000 per hari.

Pendapatan tersebut tidak diperolehnya di satu tempat, tetapi berpindah dari satu lokasi panen ke lokasi lainnya.

Menurut dia, tak jarang penghasilannya di bawah Rp 100.000 per hari, sebab saat ini sudah cukup banyak yang menjadi buruh angkut.

"Kita terkadang harus rebutan, kalau tidak begitu tidak dapat. Untuk makan ditanggung oleh pemilik lahan," ujarnya.

Harga gabah turun

Basrin mengatakan, di sela kesibukan menjadi buruh angkut hasil panen padi, dia juga memiliki lahan sawah sendiri di So Madarutu, Desa Nowa, Kecamatan Woja.

Namun demikian, setiap harinya terus terjadi penurunan harga, bahkan saat ini sudah turun dari Rp 7.500 menjadi Rp 5.900 per kilogram.

Harga pembelian Rp 5.900 per kilogram ini, lanjut dia, memang masih lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya, yang mana saat itu tengkulak hanya berani mengambil gabah petani Rp 4.600 per kilogram.

"Kemarin naik Rp 7.500 per kilogram, tapi tidak bertahan lama, tiap harinya itu pasti turun dan sekarang sudah Rp 5.900 per kilogram," ungkapnya.

Kendati harga gabah saat ini terbilang naik dari tahun sebelumnya, namun hal itu tidak begitu signifikan meningkatkan pendapatan petani.

Hal tersebut menyusul hasil panen padi tahun ini jauh berkurang, terlebih biaya produksi yang dikeluarkan cukup tinggi.

"Dulu walaupun harganya Rp 4.600 per kilogram tapi hasil panen kita lumayan banyak, sekarang ini hasilnya sedikit," jelasnya.

Basrin mengatakan, turunnya hasil gabah petani saat ini salah satunya karena pembagian pupuk subsidi yang tidak tepat waktu dan alokasinya belum sesuai luas area tanam.

Kondisi itu lantas membuat pertumbuhan tanaman padi terhambat sehingga mengganggu hasil produksinya.

Petani bahkan harus membeli pupuk non-subsidi dengan harga tinggi sekitar Rp 450.000 per sak untuk memenuhi kebutuhan tanaman.

"Biasanya saya butuh delapan sak pupuk, tapi karena harus beli yang non-subsidi terpaksa pakai empat sak saja. Makanya berpengaruh terhadap hasil panen, karena pupuknya yang kita berikan kurang," jelasnya.

Hal senada juga diungkapkan Adi, petani padi di Lingkungan Sawete, Kelurahan Bali, Kecamatan Dompu.

Seperti halnya di masa panen seperti saat ini, dalam satu karung gabah saja ia harus mengeluarkan biaya Rp 100.000.

Biaya tersebut dihabiskan untuk menyewa mobil pemanen padi Rp 50.000 per karung, kemudian sewa buruh angkut Rp 30.000 dan ditambah beli karung serta konsumsi buruh panen.

"Keuntungan bertani sawah ada tapi sangat tipis, karena biaya produksinya tinggi. Harga pupuk dan obat-obatan ini kan tidak pernah turun," keluhnya.

Adi mengatakan, sampai hari ini masih bertahan menggarap lahan sawah karena hasil panen padi disimpan untuk memenuhi kebutuhan harian keluarganya.

Sementara untuk memenuhi kebutuhan lain, ia mengandalkan hasil jual beli sapi ke wilayah Bima.

"Padinya tidak saya jual, simpan buat stok di rumah saja, sedangkan untuk kebutuhan lain saya penuhi dari beternak sapi ini," kata Adi.

Penjelasan Pemkab

Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) Kabupaten Dompu, Muhammad Syahroni mengungkapkan, harga beras saat ini cenderung terus mengalami kenaikan.

Namun kondisi sebaliknya terjadi pada gabah, yang mana harganya justru merangkak turun di tingkat petani.

Kondisi ini dinilai terjadi karena ada perubahan pola dalam mengelola hasil pertanian oleh para petani di Dompu, seperti halnya mereka tidak lagi menyetok gabah di rumah melainkan langsung menjualnya ke tengkulak.

"Kemudian juga sekarang ini penggilingan kecil tidak lagi kekurangan bahan baku, karena itu tadi gabah itu sudah diambil oleh pengusaha," kata Syahroni saat ditemui, Senin (4/3/2024).

Hal lain yang juga turut mempengaruhi, lanjut dia, yakni perilaku konsumsi masyarakat yang tidak berubah, namun pola produksi petani justru berubah karena faktor cuaca.

Faktor cuaca ini membuat waktu tanam petani mundur sehingga memicu terjadinya kelangkaan stok beras yang berimbas pada naiknya harga.

"Konsekuensi kemunduran jadwal tanam itu produknya jadi terbatas. Hal-hal itu yang menyebabkan harga beras naik dan gabah menurun," jelasnya.

Syahroni mengaku sulit menekan penyempitan lahan pertanian akibat pengalihan untuk pembangunan.

Namun, alternatif yang diambil saat ini adalah meningkatkan indeks pertanaman petani dengan mendukung pembangunan saluran irigasi, sumur bor dan jalan usaha tani.

Dengan beberapa upaya ini diharapkan areal pertanian yang dulunya hanya bisa menggarap lahan sekali dalam setahun bisa berubah menjadi dua atau tiga kali setahun.

"Kita tutupi lahan menyempit ini dengan menaikan indeksnya. Kita bantu juga dengan penyaluran pupuk subsidi, tetapi inikan kebijakan nasional, kita hanya dikasi sesuai kuota," terangnya.

Muhammad Syahroni mengatakan, Pemkab Dompu memang sudah memiliki Peraturan Daerah (Perda) tentang perlindungan dan pemberdayaan petani tahun 2022.

Regulasi ini dinilai akan sangat membantu para petani dalam banyak hal, salah satunya untuk menstabilkan harga penjualan gabah.

Namun demikian, sampai saat ini regulasi tersebut belum ada tindak lanjut dari pemangku kebijakan.

"Ketika harga dibawah HPP, idealnya harus ada stabilisasi harga oleh pemerintah. Itukan secara konsep tapi operasional tidak sesederhana itu. Sementara realisasinya belum ada, langkah kita seperti apa, saya inikan dibatasi oleh kewenangan," kata Syahroni.

https://regional.kompas.com/read/2024/03/04/220718378/saat-petani-padi-berebut-jadi-buruh-angkut-untuk-mencukupi-kebutuhan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke