Salin Artikel

Menyoal Penangkapan 9 Petani di Penajam Paser Utara yang Dituduh Mengancam Proyek Bandara VVIP IKN

Pada Sabtu (24/02), sembilan orang petani sawit dari Kelompok Tani Saloloang itu ditangkap oleh kepolisian setempat.

Mereka dituduh melakukan pengancaman terhadap pekerja proyek pembangunan bandara udara tersebut.

Bandara itu dibangun di satu kawasan di Kelurahan Pantai Lango, Kelurahan Gersik, dan Kelurahan Jenebora di Kecamatan Penajam, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), Kaltim.

Keluarga para petani mengeklaim mereka ditangkap semena-mena dan tanpa surat penangkapan.

Mereka juga mengatakan sembilan orang itu hanya menuntut haknya atas lahan mereka yang disebutnya "diambil" untuk kebutuhan proyek bandara baru.

Pegiat lingkungan mengecam tindakan aparat yang disebut sebagai “tindakan sistematis”.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, sepanjang tahun 2022, ada 32 kasus konflik agraria di sejumlah daerah di Indonesia. Sebelas kasus di antaranya terkait proyek strategis nasional (PSN).

Menurut KPA, insiden penangkapan sembilan petani di Kaltim seolah menempatkan masyarakat sebagai melakukan tindakan ilegal yang membahayakan proyek IKN.

Padahal, demikian KPA, proyek IKN itulah yang justru mengganggu masyarakat.

Diskusi yang dilakukan pihak kelompok tani tersebut dilakukan sambil makan di salah satu toko milik warga.

Kemudian, datanglah iring-iringan tujuh kendaraan Polda Kaltim dan mereka mengamankan para petani tersebut.

Agustina, yang ditunjuk sebagai juru bicara dari pihak keluarga, mengataan kepada BBC News Indonesia bahwa sembilan anggota kelompok tani itu “ditangkap seperti penjahat narkoba”.

Keterangan polisi menyebutkan sembilan orang petani itu ditangkap karena mengancam para pekerja proyek dengan menggunakan senjata tajam.

Mereka juga dianggap menghalangi proyek pembangunan Bandara VVIP IKN.

Secara terpisah, Peradi Balikpapan sebagai anggota Koalisi Tanah Untuk Rakyat menegaskan akan mendampingi sembilan orang petani itu.

"Kami segera menengok warga di tahanan Polda," kata Ketua Peradi Balikpapan Ardiansyah kepada wartawan A Rahma yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Ardiansyah menegaskan bahwa peristiwa penangkapan tersebut adalah kriminalisasi pada warga yang sedang mempertahankan hak-haknya.

"Warga tidak menentang pembangunan, namun mereka juga punya hak atas lahan. Bahkan warga sudah mengusahakan lahan berpuluh tahun sebelum ada rencana IKN," ujarnya.

Menurut Ardiansyah, para pihak berencana bertemu pada Senin (26/02) untuk melakukan perhitungan uang ganti atas tanam tumbuh di lahan yang disengketakan di Pantai Lango.

Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Kalimantan Timur (Kaltim) dalam rilisnya yang diterima BBC News Indonesia, mereka ditangkap karena diduga terlibat kasus pengancaman terhadap pekerja proyek pembangunan Bandara VVIP IKN pada Sabtu (24/02).

Menurut Polda Kaltim, pengancaman berawal pada Jumat (23/02) ketika sekelompok orang mendatangi operator alat berat yang tengah bekerja.

Orang-orang ini, kata polisi, “mengancam dan meminta untuk menghentikan pekerjaan pembangunan bandara VVIP IKN” sehingga para pekerja memberhentikan operasi.

Pada Sabtu (24/02) sekitar 08.30 WITA, kelompok yang sama disebut kembali datang membawa senjata tajam jenis mandau sehingga para operator menghentikan pekerjaan.

Pengawas lapangan proyek Bandara VVIP pun membuat laporan resmi ke Polres PPU pada hari yang sama.

Kabid Humas Polda Kaltim Artanto menjelaskan, Polres PPU kemudian meminta bantuan dari Polda Kaltim yang berujung kepada penangkapan dan penahanan sembilan pelaku pengancaman.

Artanto menambahkan polisi mengenakan pasal 335 ayat (1) KUHP dan atau pasal 2 ayat 1 UU Darurat RI no. 12 Tahun 1951 ihwal ancaman disertai dengan penggunaan senjata tajam.

Kepada BBC News Indonesia, Agustina, kakak dari Kamaruddin, salah satu petani yang ditangkap, mengatakan sebenarnya wajar saja apabila para petani membawa parang saat menembus hutan.

“Bawa parang kan buat membuka jalan. Nah, pas mereka [kelompok tani] ke ke kebun, lagi ada alat berat kerja. Padahal sudah dikasih peringatan dari pihak kami, tidak ada boleh pengerjaan apapun di lokasi kami, di tanah kami, apabila belum ada pembayaran,” tegas Agustina.

Agustina menegaskan penangkapan terjadi saat kelompok tani sedang makan malam dan mereka “ditangkap seperti penjahat narkoba”.

Agustina juga mengirim video yang disebutnya diambil beberapa jam sebelum penangkapan.

Di video tersebut, terlihat dialog antara kelompok tani dan aparat setempat ihwal kompensasi dari pembangunan bandara yang mengambil lahan mereka.

“Mereka [petani] lagi posisi menunggu petugas verifikasi di Donghwa menggunakan armada speed boat. Sembari menunggu petugas verifikasi, mereka [petani] ngelarang alat untuk bergerak, namun tetap dikerjakan [oleh pekerja proyek],” terang Agustina kepada kontributor BBC News Indonesia.

Petugas verifikasi, lanjut Agustina, tidak kunjung hadir. Sehingga para petani pun memutuskan untuk pergi makan malam kendati proyek masih berlangsung.

“[Saat] mau makan makan malam itulah mereka dijemput,” jelasnya.

Mereka tersebar di lima kelurahan yakni Kelurahan Gersik, Maridan, Pantai Lango, Jenopora dan Riko.

“Dari 676 warga itu ada sekitar 22 orang warga mengatasnamakan Kelompok Tani Saloloang, mereka tuntut ganti rugi lahan, saya bilang enggak ada dasar hukum ganti rugi lahan, yang bisa diganti hanya tanam tumbuh, kami sudah sosialisasi semua,” ungkap Makmur saat dihubungi wartawan Lamanele di Samarinda untuk BBC News Indonesia, Senin (26/02).

Makmur bilang alasan pihaknya tidak memberi ganti rugi tanah yang dikuasai masyarakat saat ini karena lahan itu berstatus HGU.

Makmur merinci ada lahan seluas 4.162 hektar di sekitar IKN yang saat ini diambil alih oleh negara, karena sebelumnya berstatus HGU. Lahan itu kini dikelola oleh bank tanah sesuai perintah PP 64/2021.

Dari luasan lahan pengelolaan bank tanah itu, ada 290 hektar yang dipakai untuk pembangunan bandara VVIP dan 1.883 hektar yang dipersiapkan untuk relokasi warga yang terdampak itu termasuk 22 warga dari kelompok tani Saloloang.

“Ternyata kemarin di lokasi mereka ini yang 22 orang datang ke lokasi menghalangi pekerjaan di situ bawa sajam. Dengan dasar, mereka belum terima ganti rugi dan tanam tumbuh,” terang dia.

Makmur mengakui pemberian pergantian tanam tumbuh memang belum dilakukan.

Menurutnya, karena hari itu baru diumumkan untuk penerima tahap pertama ada 19 orang, maka dilanjutkan tahap kedua dan seterusnya.

“Praktek seperti ini bisa dikategorikan sebagai tindakan sistematis terhadap masyarakat yang mempertahankan hak hidupnya. Tindakan ini cenderung menggunakan hukum sebagai alat untuk menekan masyarakat,” ujar Edy kepada Amahl Azwar yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

“Polisi untuk kesekian kalinya menggunakan cara-cara seperti ini dalam pengamanan proyek Strategis Nasional.”

Edy mencontohkan beberapa kasus sebelumnya yakni di Rempang, Kepri dan kasus penembakan Masyarakat Adat di Seruyan, Kalimantan Tengah saat melakukan aksi untuk memperjuangkan hak atas tanah adat yang dirampas oleh perusahaan.

“Kapolda Kalteng saat itu dijabat oleh Nanang Avianto yang kini menjabat sebagai Kapolda Kaltim,” sambung Edy Kurniawan.

Menurut informasi yang diterima YLBHI, penangkapan terhadap sembilan masyarakat dilakukan tanpa memperlihatkan surat perintah penangkapan. Pihak kepolisian juga memberitahukan dengan jelas alasan mereka ditangkap.

“Tindakan ini adalah sewenang-wenang dan melanggar hukum dan hak asasi manusia. Dimana setiap orang yang ditangkap berhak untuk disampaikan alasan mereka ditangkap dan Polisi wajib memperlihatkan surat perintah penangkapan,” tegas Edy.

Dihubungi terpisah, Wakil Ketua STH (Sekolah Tinggi Hukum) Indonesia Jentera, Asfinawati, mengatakan penangkapan para petani ini sebagai "sinyal berbahaya" untuk lima tahun ke depan.

"Lima tahun ke depan artinya = periode ketiga. Artinya proyek strategis nasional, IKN akan berjalan terus. Peristiwa-peristiwa seperti ini artinya akan terus berjalan,” ujar Asfinawati.

Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Timur mencurigai kejadian tersebut akan terus berulang selama pembangunan di Ibu Kota Negara Nusantara.

Hal itu ditekankan, karena mereka sudah pernah mendampingi warga Desa Telemow yang harus tergusur dari lahannya karena Pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara.

“Kita ada kecurigaan bahwa nanti di wilayah IKN akan diperlakukan sama seperti yang terjadi di Pantai Lango sekarang, entah di di Telemow, atau di Pemaluan atau di Maridan, itu hanya tunggu waktu saja jadi target operasinya polisi,” ujar Direktur LBH Samarinda Fathul Huda Wiyashadi kepada wartawan Teddy Rumengan yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Koalisi Masyarakat Sipill Kalimantan Timur Tengah, sambung Fathul, tengah mengumpulkan fakta-fakta dan bukti-bukti di lapangan terkait kasus tersebut. Mereka juga akan mendampingi warga yang tersangkut hukum.

“Ini kan sebenarnya berkaitan dengan proses pengadaan tanah yang salah satu leading sector-nya adalah bank tanah," ujarnya dalam wawancara dengan BBC News Indonesia pada Senin (26/02) malam.

"Sejak awal KPA sudah menolak keberadaan bank tanah ini. Kenapa? Karena bank tanah ini adalah satu lembaga yang dibentuk oleh Undang-Undang Cipta Kerja, yang memang tujuan utamanya adalah melakukan proses pengadaan tanah untuk kepentingan investasi. Jadi, orientasinya lebih ke bisnis,” jelas Dewi kemudian.

Menurut Dewi, bank tanah justru semakin memperparah konflik agraria di tengah ketimpangan penguasaan tanah.

Insiden Kelompok Tani Saloloang, sambung dia, menunjukkan bahwa sebenarnya bank tanah terbukti sudah menjadi penyebab konflik agraria dan menjadi penyebab semakin parahnya proses kriminalisasi.

“Modus-modus menempatkan masyarakat seolah-olah menjadi pihak yang ilegal dan membahayakan proyek ini. Padahal, kalau pakai logika mitigasi dampak IKN kepada masyarakat kan harusnya dibalik perspektifnya. Bahwa justru proyek IKN atau bank tanah inilah yang justru mengganggu kehidupan masyarakat,” ujar Dewi Kartika.

“Lokasi IKN yang targetnya kurang lebih 250.000 hektar itu memang nyata-nyata bukan tanah kosong. Selama ini pemerintah selalu berdalih bahwa yang ditargetkan sebagai pembangunan IKN itu tanah kosong.”

Dalam UU IKN, sambung Dewi, tidak ada mitigasi risiko apabila terjadi proses pengadaan tanah berlokasi di tempat masyarakat tinggal.

Berkaca dari kasus penangkapan sembilan petani sawit tersebut, Dewi melihat adanya ada potensi menjadikan ini modus untuk mengusir masyarakat dengan cara mengkriminalkan masyarakat yang kritis terhadap proyek IKN.

Lebih lanjut, Dewi mengatakan bahwa UU IKN juga memberikan keistimewaan untuk bisnis – termasuk bisnis perkebunan – dengan pemberian konsesi hak guna usaha (HGU) dua abad bagi investor perkebunan.

“Jadi ada motif bisnis yang sangat kuat di dalam proyek pembangunan Ibu Kota Nusantara ini.

"Sayangnya itu dilakukan dengan cara mengeksklusi atau mengklaim tanah-tanah masyarakat termasuk mengintimidasi hingga mengkriminalkan masyarakat yang justru seharusnya mendapatkan kepastian hukum [dan], mendapatkan informasi secara terbuka,” pungkasnya.

Wartawan A Rahma dan Teddy Rumengan di Balikpapan, serta Lamanele di Samarinda berkontribusi untuk liputan ini

https://regional.kompas.com/read/2024/02/28/113300778/menyoal-penangkapan-9-petani-di-penajam-paser-utara-yang-dituduh-mengancam

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke