Salin Artikel

Penjara Gajah di Tepi Kebun Karet Ban Michelin

JAMBI,KOMPAS.com – Mesin-mesin tenaga kuda melaju kencang di Sirkuit Mandalika. Sepanjang balapan Moto GP itu banyak pembalap berjatuhan. Namun Bagnaia beruntung. Cengkraman bannya begitu kuat, bahkan ketika melibas tikungan.

Pembalap Ducati, Francesco Bagnaia, menjadi pemenang balapan di Sirkuit Internasional Pertamina Mandalika pada Minggu (15/10/2023) itu. Dia menggunakan ban produk Michelin, hingga 2026 mendatang. Namun di balik produk ban berkualitas, ada gajah yang menderita.

Sekitar 1.784.5 kilometer di barat Mandalika, di Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, Jambi, pinggir Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT), ada salah satu sumber bahan baku pembuatan ban Michelin.

Di sana membentang perkebunan karet yang luas milik PT Lestari Asri Jaya (LAJ), anak usaha PT Royal Lestari Utama (RLU), yang memasok karet untuk Michelin.

Pada saat yang sama, Kompas.com menemukan, di sekitarnya ada hutan yang dihancurkan. Ada habitat gajah Sumatera (Elephas maximus sumatrensis) dikapling-kapling dengan pagar listrik.

Oleh karena pagar setrum itu diaktifkan dari senja hingga fajar, setiap malam gajah-gajah merana tersengat listrik. Orang-orang dengan meriam juga mengusir gajah dari habitatnya.

PT RLU berdiri atas inisiatif join ventura antara Michelin Group dengan Barito Pasific. Dengan modal patungan tersebut, mereka mengklaim terdepan dalam mengembangkan karet alam berkelanjutan. Michelin akhirnya mengakusisi RLU sebagai pemegang saham tunggal pada Juli 2022.

Pada tahun 2018, Michelin dan PT Royal Lestari Utama (RLU) menerima obligasi keberlanjutan korporasi pertama di Asia, yakni sebesar 95 juta USD dari Tropical Landscapes Finance Facility (TLFF).

Dengan dana itu, mereka mengembangkan wildlife conservation area (WCA) seluas 9.700 hektare, untuk melindungi gajah Sumatera.

Michelin Group menggelontorkan dana sebesar 5 juta euro kepada LAJ, untuk membuat kawasan ini layak huni bagi gajah.

Masalahnya, sebagian besar kawasan WCA kemudian dirambah lalu ditanami sawit dan karet. Tersisa hutan sedikit dan semak belukar. Konflik gajah-manusia hanya menunggu waktu.

Belum setahun, gajah betina ditemukan terbaring kaku tak jauh dari pondok milik perambah di kawasan WCA. Bagian dinding pondok jebol, miring, dan nyaris ambruk. Tanaman sekitar pondok rusak. Dekat gajah betina yang mati terdapat botol racun rumput.

Kematian gajah baru ditemukan oleh tim mitigasi konflik gajah Frankfurt Zoological Society (FSZ) lima hari kemudian, Rabu siang (8/5/2019). Kondisinya sudah membusuk dan mengeluarkan aroma menyengat.

Di sekeliling pondok itu, berserakan pula kotoran gajah di antara tanaman jagung dan cabai yang ditanami perambah.

Tim juga mendapati sisa cairan racun rumput dengan wadahnya yang terserak dekat tanaman. Dokter hewan telah melakukan nekropsi. Penyebab kematian gajah karena minum cairan racun rumput.

Ketika Kompas.com menyusuri kembali lokasi kematian gajah pada 9 Desember 2023 lalu di Desa Semambu, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, Jambi kondisinya dekat dengan kebun karet yang terpasang pagar listrik. Kuburannya bahkan dalam kebun karet milik Ferdiansyah.

“Kuburannya di sini. Di kebun saya. Tapi matinya itu di sebelah pagar listrik sana. Itu yang semak belukar. Setelah gajah mati, mereka tetap mau tanam sawit, tapi karena habis dimakan gajah, gak jadi,” kata lelaki berusia 25 tahun yang tinggal di area WCA.

Ia mengatakan kebun karetnya sedang diganti tanaman sawit. Atas alasan itu, Ferdiansyah memasang pagar listrik ketika musim gajah datang.

Setrum pagar listrik berasal dari tenaga surya. Untuk saat ini arusnya dimatikan, karena sudah dua bulan gajah tidak masuk.

“Arus aki dari tenaga surya. Kalau kena itu tidak lengket tapi mental. Kita takut juga kena manusia. Kena hukum. Kalau siang dimatikan, malam baru dihidupkan,” kata Ferdiansyah.

Selama tiga tahun tinggal di area ini, pihak LAJ tidak pernah menjelaskan jika kebunnya termasuk WCA. Dia sudah hampir tiga tahun memasang pagar listrik sampai ke tepi jalan koridor, tetapi hanya sekali diberi teguran oleh perusahaan.

“Tidak pernah dikasih tau soal WCA. Tapi pernah sekali ditegur karena pasang pagar listrik. Mau gimana, kita butuh hidup kalau tidak dipasang pagar listrik habis tanaman dimakan gajah,” kata Ferdiansyah.

Mbah Mulyono (63), warga RT 07 Desa Pemayungan, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, Jambi mengatakan, sejak 2016 berada di WCA dan menanam sawit.

Ia juga memasang pagar listrik, lantaran ada seekor gajah jantan berkalung GPS, yang mondar-mandir tidak takut dengan manusia. Gadingnya hampir setengah meter. Ketika dia melintas, tanaman warga habis. Jarak 10 meter tidak mau lari.

“Jadi memang harus dijaga terus. Pernah ada 16 gajah masuk kebun, diusir dengan mercon terbang, tidak mau lari. Sudah kebal dia. Terpaksa kami gotong royong menggiring gajah agar keluar kebun,” kata Mulyono di rumahnya, Sabtu (26/8/2023).

Kehadiran gajah memang meresahkan petani yang menanam sawit. Masyarakat yang takut mengusir gajah dengan petasan dan meriam karbit. Apabila dibiarkan menurutnya bisa menghabiskan seluruh kebun.

Mulyono pernah menanam sawit lima kali dalam satu lubang. Kalau usia tanam baru setahun atau dua tahun pasti habis total, ketika gajah masuk kebun.

“Kejadian baru ini, di Simpang Makam. 4 hektare habis dalam semalam. Ada 70 ekor gajah yang masuk. Rumah tetangga saya, dua bulan lalu rata dengan tanah,” kata Mulyono.

Hal senada disampaikan Rahman, mantan ranger LAJ. Tugasnya melakukan mitigasi konflik gajah manusia. Jika gajah sudah meresahkan banyak orang di area WCA, maka dia bersama warga menggiring gajah keluar kawasan.

“Tugas saya memang mengatasi konflik antara manusia dengan gajah. Agar tidak jatuh korban, gajahnya kami usir dengan meriam atau ramai-ramai digiring keluar kebun warga,” kata Rahman.

Pemasangan pagar listrik juga dilakukan kelompok tani hutan (KTH) yang telah meneken kerja sama dengan LAJ.

Wahono, Ketua KTH Lestari Rimba Mulya mengaku tidak ada larangan dari LAJ terkait pagar listrik. Namun pemasangan baru marak dilakukan akhir 2020. Lantaran ruang jelajah gajah sudah terlampau sempit.

Kemitraan petani dan perusahaan karena mengikuti aturan pemerintah. Pada dasarnya, LAJ tidak memiliki hak karena Wahono sudah menggarap lahan itu tahun 2009.

Bahkan sebelum terbentuk LAJ bahkan WCA, sejumlah warga dalam kawasan ini sudah hidup berdampingan dengan gajah.

Namun pada 2013, ketika LAJ secara besar-besaran merobohkan hutan untuk menanam karet, jalur gajah berubah dan akhirnya berkonflik dengan masyarakat.

Untuk mencegah gajah masuk kebun karet, mereka melakukan blokade di jalur gajah. Hampir setiap tahun, mereka menanam karet.

Wahono mengatakan ada kebencian yang dalam masyarakat dengan LAJ. Tahun 2014-2015 mereka sewa ratusan preman untuk mengintimidasi warga.

Begitu juga setelah penetapan kawasan WCA, mereka mengusir gajah ke kebun warga. Padahal banyak anak-anak dan perempuan.

“WCA ini kawasan lindung LAJ. Sementara dalam kawasan ini ada saya, ada ratusan petani lain dan gajah. Kami disuruh hidup berdampingan. Kalau memang sanggup hidup dengan gajah ya bertahanlah, kalau tidak keluarlah,” kata Wahono.

Erna Sutriani (29) mengaku sering takut berada di area WCA. Ketika mendengar kabar perusahaan mengusir gajah, maka tempatnya akan menjadi sasaran. Maka dia mengungsi ke tempat aman. Setelah perempuan dan anak-anak mengungsi, para lelaki menggiring gajah ke hutan.

“Kalau sedang banyak gajah, saya mengungsi ke tempat yang aman,” kata Erna.

Menurut peta pergerakan gajah tahun 2016 dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), hampir semua kelompok gajah tersebar di kawasan WCA. Namun tahun 2022, mereka berkumpul di ruang yang sempit. Ada banyak petak-petak dalam WCA yang menghambat pergerakan gajah.

“Pergerakan gajah terhambat. Ruang jelajahnya menjadi sempit. Kelompok Cinta dan Indah sudah 1 tahun di bawah, sulit mau naik ke taman nasional karena pagar listrik,” kata Harefa Edison Kepala Pusat Informasi Konservasi Gajah (PIKG) ketika mengunjungi kawasan WCA untuk menanam pakan alami gajah di area seluas 13 hektar.

Ruang jejalah gajah yang terus menyempit berdampak serius. Ia khawatir banyak gajah terjebak di lahan masyarakat atau di luar hutan produksi.

Dengan demikian, tingkat konflik semakin tinggi, karena gajah sudah berputar-putar di belakang permukiman padat penduduk.

Kawasan WCA sudah kritis karena dikuasai perambah yang memasang pagar listrik. LAJ tetap memanen karet dari lokasi ini.

Tanpa khawatir dengan gajah mereka membersihkan kebun dengan racun rumput. Padahal WCA menjadi benteng terakhir dan jalur gajah yang menghubungkan blok I dan II hutan milik PT Alam Bukit Tigapuluh dan TNBT.

Fungsinya pun berubah dari area konservasi menjadi ‘zona perang’ antara gajah, perambah dan masyarakat adat yang hidup dalam kawasan itu.

Gajah yang semakin terdesak manusia, memicu konflik tanpa akhir di wilayah konsesi, kebun masyarakat dan perhutanan sosial.

Data Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI) dan berbagai sumber menunjukkan kasus kematian gajah sejak 2013-2023 mencapai 10 kasus.

Menurut data BKSDA Jambi, jumlah konflik gajah dengan manusia tahun 2018-2021 mencapai 743 kasus. Dari kasus itu, 4 orang meninggal dunia.

Donny Gunariyadi Ketua FKGI menuturkan konflik antara manusia dengan gajah harus segera diakhiri dengan tata kelola kawasan yang memihak satwa. Ruang jelajah gajah yang memiliki sumber air, pakan dan mineral harus dipertaruhkan mati-matian, sebagai jalur utama koridor gajah.

“Koridor gajah harus steril dari aktivitas manusia. Secara regulasi itu bisa dilakukan. Butuh kolaborasi banyak pihak dan kepedulian untuk mencegah terjadinya kepunahan gajah,” kata Donny.

Jerat listrik yang dipasang warga di kebun, apabila kekuatan arusnya lebih dari 220 volt dapat membunuh gajah. Dengan begitu polisi dapat melakukan tindakan, karena pemasangan jerat listrik termasuk pidana, berbahaya bagi satwa dan manusia.

Dengan adanya jerat atau pagar listrik pergerakan gajah menjadi terhambat. Dengan hambatan itu akan meletus konflik yang panjang antara manusia dengan gajah. Poin pentingnya, pagar listrik itu merusak pola jelajah gajah.

Pemilik izin konsesi harus memiliki komitmen yang kuat, untuk menjaga wilayahnya dari tindakan yang dapat mengancam gajah. Artinya mereka harus segera menindak perambah yang menempati WCA.

“Jangan dibiarkan tanpa tindakan, karena habibat gajah kian menyempit. Ruang jelajah gajah pun semakin pendek. Jika perusahaan tidak bisa mengatasi persoalan dalam wilayah izinnya, maka pemerintah harus melakukan evaluasi,” kata Donny.

Karmila Parakkasi, Chief Sustainability PT Royal Lestari Utama mengaku sudah melakukan penanganan bersama pemerintah terhadap pemasangan pagar listrik di lokasi WCA. Hasilnya teridentifikasi 33 orang yang memasang pagar listrik.

“Masyarakat yang ditemui oleh tim pembongkaran pagar listrik, seluruhnya tidak bersedia melakukan pembongkaran, jika tidak ada solusi lain yang diberikan kepada mereka,” kata Karmila.

Pasca-operasi, sambung Karmila, masyarakat yang menolak melakukan pembongkaran menghadang staff LAJ. Atas kejadian itu, LAJ berkirim surat ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

“Sampai sekarang kami belum mendapatkan tanggapan atau arahan yang kami harapkan. Tim kami di lapangan terus melanjutkan upaya sosialisasi kepada masyarakat namun tanpa arahan yang jelas dari pemerintah, selaku pemegang kewenangan atas satwaliar dilindungi, upaya ini tidak dapat dilakukan oleh LAJ sendiri,” tutup Karmila.

Liputan Investigasi ini didukung oleh Garda Animalia melalui Program Bela Satwa Project

https://regional.kompas.com/read/2024/02/21/111424978/penjara-gajah-di-tepi-kebun-karet-ban-michelin

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke