Salin Artikel

Kisah Anak-anak Pengungsi Erupsi Lewotobi yang Terserang ISPA

Raut wajah keduanya terlihat murung. Sesekali Maria mengelus kepala putranya itu dengan lembut. Dia ingin memastikan kondisi Gabriel sudah mulai membaik.

Namun bocah berusia empat tahun itu hanya mengangguk diam. Sorotan bola matanya mengarah teman-temannya yang tengah bermain di halaman tenda pengungsian.

"Kami dua kena pilek dan batuk sejak kemarin. Dia (Gabriel) pilek keras. Makan dan minum kadang tidak mau," ucap Maria saat ditemui Kompas.com, Senin (22/1/2024).

Maria menuturkan, saat Gunung Lewotobi Laki-laki erupsi pada pergantian tahun 2023, ia bersama keluarga dan beberapa warga lain mengungsi di kebun. Di sana mereka tinggal selama beberapa hari.

Tiga hari kemudian mereka dipindahkan ke kamp pengungsian Konga karena aktivitas erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki mulai meningkat.

"Pemerintah pindahkan kami ke sini (kamp pengungsian Konga) sejak tanggal 3 Januari 2024," ucapnya.

Selama menetap di kamp pengungsian, Maria tidak betah. Ia selalu memikirkan kondisi kesehatan Gabriel.

Pikiran Maria kian kacau ketika hujan lebat terus melanda wilayah itu selama beberapa hari terakhir.

Apalagi kondisi tempat pengungsian yang darurat kerap membuat mereka tidur tak nyaman.

"Hari Minggu itu kami dua mulai sakit. Pilek dan batuk. Mungkin karena tidur hanya beralaskan perlengkapan seadanya," ucap Maria.

Maria mengatakan, keduanya sudah menyampaikan keluhan tersebut ke tenaga medis di posko kesehatan Konga.

"Kemarin sudah diperiksa dan diberi obat, hanya kondisinya belum membaik," katanya.

Hal serupa juga dialami Fitriana Wea, bocah berusia 3 tahun 10 bulan asal Dusun Padang Pasir, Desa Hokeng Jaya, Kecamatan Wulanggitang.

Hampir sepekan Fitriana mengalami pilek dan batuk.

Fitriana bercerita awalnya ia sedang bermain bersama teman-temannya di halaman sekolah tempat mereka mengungsi.

Sore harinya ia merasakan tenggorokan sakit disertai pilek. Ia kemudian menyampaikan keluhan tersebut kepada ibunya.

“Saya dengan Mama sudah ketemu sama dokter tetapi sampai sekarang masih sakit,” ucapnya.

Lina Namang (33), nakes Puskesmas Ilebura, menjelaskan, pasien yang terserang infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) biasanya ditandai dengan batuk, pilek, radang tenggorokan selama lebih dari tiga hari.

ISPA juga salah satu penyakit menular sehingga dengan muda menyebar kepada orang lain.

"Apalagi yang tinggal di kamp pengungsian, itu sangat rentan terserang ISPA. Kalau satu sudah terpapar, pasti yang lain juga ikut terpapar," ujarnya.

Pengungsi terserang ISPA

Kepala Dinas Kominfo Kabupaten Flores Timur, Hironimus Lamawuran menyebutkan, hingga Minggu (21/1/2024), pengungsi yang terserang ISPA sebanyak 2.172 orang.

Pengungsi juga terserang penyakit lain seperti dermatitis, mialgia, gastritis, rhinofaringtis akut, hipertensi, influenza dan penyakit lainnya.

"Kasusnya masih didominasi ISPA," ujar Hironimus.

Hironimus mengatakan, semua keluhan kesehatan yang dialami pengungsi akan ditangani para medis di posko maupun puskesmas.

Kadis Kesehatan Flores Timur Agustinus Ogie Silimalar mengungkapkan, tingginya kasus ISPA, selain karena terpapar debu vulkanik, juga kondisi tenda di posko pengungsian yang masih darurat.

Meski begitu, kata Ogie, pelayanan kesehatan untuk pengungsi terus dioptimalkan. Pihaknya juga menyiapkan puskesmas untuk menangani pengungsi dengan keadaan darurat.

https://regional.kompas.com/read/2024/01/23/075134478/kisah-anak-anak-pengungsi-erupsi-lewotobi-yang-terserang-ispa

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke