Salin Artikel

Etika Komunikasi dalam Budaya Minangkabau, Ada "Kato Nan Ampek"

Budayawan Minangkabau Musra Dahrizal Katik Rajo Mangkuto menyebutkan ada istilah "Kato Nan Ampek" (Kata Nan Empat).

"Ada kato mandaki (kata mendaki), kato malereang (kato melereng), kato mandata (kata mendatar) dan kato manurun (kata menurun)," kata Musra yang dikenal dengan nama Mak Katik ini, Senin (22/1/2024) di Padang.

Mak Katik mengatakan Kato Mandaki merupakan etika berbicara dengan orangtua, bertutur katalah dengan sopan dan tunjukkan rasa hormat.

Kato Malereang merupakan etika berbicara dengan orang yang dituakan secara adat atau orang-orang terhormat dari status sosial yang disandangnya.

"Contohnya berbicara dengan saudara ipar memakai Kato Malereang," kata Mak Katik.

Kato Malereang di Minangkabau juga digunakan untuk berkomunikasi dengan seseorang yang memiliki latar belakang status sosial tertentu, seperti datuak, tanpa memandang usia.

"Walaupun usianya masih terbilang muda, namun datuak tetap didahulukan selangkah dan ditinggikan satu ranting," ungkap Mak Katik.

Kemudian Kato Mandata merupakan cara bertutur kata kepada teman sebaya.

"Meskipun seusia, kata yang diucapkan tetap harus dalam koridor saling menghargai dan tidak menyinggung satu sama lain,'" kata Mak Katik.

Terakhir Kato Manurun yang digunakan saat berbicara kepada orang yang lebih muda, antaranya orangtua kepada anak, kakak kepada adik atau guru kepada siswa dan lainnya.

"Walaupun kato manurun, tapi bahasanya jangan terlampau menukik menurunnya sehingga menyinggung yang muda sebagai lawan bicara," kata Mak Katik.

Selain kato nan ampek dalam etika berkomunikasi itu, kata Mak Katik, ada kato nan ampek lain dalam Minangkabau.

"Sebenarnya ada empat langgam kato nan ampek. Totalnya ada 16 kato," kata Mak Katik.

Selain kato mandaki, malereang, mandata, dan manurun itu, ada lagi kato pusako (pusaka), kato buek (buat), kato dahulu (terdahulu) dan kato kudian (kemudian).

"Ini berikan aturan-aturan. Kato pusako seperti kato-kato dalam Al Quran, kitab suci, kato buek kato yang dibuat seperti hukum."

"Kato dahulu seperti aturan terdahulu dan kato kudian, seperti aturan yang dibuat kemudian untuk menggantikan aturan terdahulu," jelas Mak Katik

Selanjutnya kata Mak Katik, ada kato panghulu (penghulu), kato manyalasaian (menyelesaikan), kato alim (alim ulama), kato hakikaik (hakekat), kato manti, kato sambuang lidah (penyambung lidah), dan kato dubalang, kato pandareh (penderas).

Lalu ada kato bundo (bundo kanduang) kato nasihat (nasihat), kato mandeh (ibu) kato ajaran, kato padusi (perempuan) kato pamacah (pemecah), dan kato anak kato mangadu (mengadu).

Menurut Mak Katik, sekarang hanya kato-kato mandaki, malereng, mandata, dan manurun yang diketahui banyak orang.

"Itu pun banyak yang tidak dipahami sehingga tidak lagi menjadi etika dalam berkomunikasi. Sementara kato nan ampek lainnya tidak lagi diketahui banyak orang," kata Mak Katik.

https://regional.kompas.com/read/2024/01/23/060000478/etika-komunikasi-dalam-budaya-minangkabau-ada-kato-nan-ampek-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke