Salin Artikel

Menolak Kawin Lari, Anak di Bawah Umur Jadi Korban Kekerasan Seksual

Kasubdit IV Unit PPA Ditreskrimum Polda NTB, AKBP Ni Made Pujawati, Jum'at (19/1/2024) mengatakan, pihaknya serius menangani kasus-kasus kekerasan seksual ini, terutama yang melibatkan pelaku anak-anak.

"Kami menangani dua-duanya dengan perspektif anak, korbannya anak anak, pelakunya juga anak anak. Keduanya sama sama pelajar, korban NWS (16) dan pelaku DA (17), ini menjadi atensi kami di Unit Perlindungan Perempuan dan Anak, ya," katanya.

Pujawati menjelaskan, kasus ini bermula dari laporan korban yang keberatan atas perlakuan DA yang memaksa mengajak kawin lari.

Korban menolak karena cara yang dilakukan DA tidak sesuai dengan adat istiadat dan mereka masih di bawah umur, apalagi mereka sama-sama warga Lombok Barat yang masih ketat memegang adat istiadat untuk urusan pernikahan.

Pujawati menjelaskan, sejak awal menjalin hubungan dengan DA pada November 2023, NWS sudah merasa tidak nyaman ketika korban diajak bertemu di rumah kawan pelaku. Ternyata perasaan itu terjadi. Korban ditarik masuk kamar dan mengalami kekerasan seksual.

"Ketika korban memutuskan untuk tidak mau bertemu lagi setelah dua pekan pasca-kejadian kekerasan seksual itu, pelaku memaksa korban untuk kawin lari. Jika menolak maka akan disebar bahwa korban telan dinodai, akhirnya korban memutuskan bertemu pelaku 18 Desember 2023," terang Pujawati.

Saat itulah pelaku membawa korban ke sebuah kos milik kawannya di wilayah Meninting, Lombok Barat. Di sana pelaku memaksa korban masuk kamar. Korban menolak dan tetap minta pulang karena tidak mau menikah dengan pelaku.

Pelaku DA emosi lalu mencekik korban hingga pingsan dan kemudian memperkosa korban.

Pelaku memperkosa korban dalam kondisi pingsan.

Saat siuman dari pingsan, korban menemukan dirinya dalam kondisi hanya mengenakan baju dalam saja.

Korban memaksa untuk pulang, namun pelaku kembali memaksa korban melayaninya hingga akhirnya diizinkan pulang.

"Kita sudah meningkatkan status DA ini dari anak saksi (anak sebagai saksi) menjadi anak  berkonflik dengan hukum, dan selanjutnya dititipkan di Balai (tempat anak-anak bermasalah dengan hukum)," kata Pujawati.

Dari kasus ini, aparat telah mengamankan sejumlah barang bukti, seperti sebuah baju kaos lengan pendek warna orange, kaos warna pink, dalaman bermotif bunga, celana panjang warna biru, dan sejumlah dokumen.

DA juga diancam dengan pidana persetubuhan terhadap anak atau pelecehan seksual fisik (TPKS) yang terjadi secara berulang sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 81 ayat (1) dan atau ayat (2) junto Pasal 76D Undang Undang Nomer 17 tahun 2016, tentang penetapan pengganti  Undang-undang Nomor 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-undang 23 tahun 2022 tentang perlindungan anak, atau pasal 6C Undang-undang Nomor 12 tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual junto pasal 64 KUHP.

Ancaman hukuman pada pelaku paling lama 15 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 300 juta.

Pujawati juga mengimbau para orangtua agar mengawasi anak-anak mereka, terutama di luar jam sekolah serta meningkatkan pola pengasuhan.

Joko Jumadi, koordinator Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram, mengatakan, kasus kekerasan seksual terhadap anak menjadi persoalan yang serius di NTB. Karena itu, pengawasan harus benar benar dilakukan oleh semua pihak, mulai dari orangtua, pengajar hingga aparat kepolisian.

"Apalagi untuk kasus ini pelakunya adalah anak anak, sementara ini pelaku dititipkan di paramita hingga nanti akan di tempatkan di Lapas Anak setelah kasusnya disidangkan dan diputus oleh hakim, penanganan kasus yang pelaku dan korbannya adalah anak, memang harus diproses dengan baik dan hati-hati," kata Joko Junadi.

https://regional.kompas.com/read/2024/01/19/153539278/menolak-kawin-lari-anak-di-bawah-umur-jadi-korban-kekerasan-seksual

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke