Salin Artikel

Cerita Warga Sumbawa yang Kesulitan Air Bersih, Beli 3 Galon Per Hari hingga Jalan Belasan Kilometer ke Sungai

Dampak fenomena perubahan iklim El Nino, membuat warga kampung nelayan seperti Ai Bari merasakan musim kemarau lebih panjang.

“Tahun kemarin bulan 12 curah hujan sudah merata dan intensitasnya sering. Berbeda banget sekarang ini puncak-puncaknya kekeringan,” kata Juwita (41) saat ditemui Kamis (14/12/2023).

Memang, faktanya demikian. Hujan belum merata di wilayah tersebut dan intensitasnya jarang.

“Iya, hujan masih jarang turun di sini. Padahal air hujan biasanya kami tampung sebagai sumber air bersih yang bisa digunakan untuk masak,” kisahnya.

Krisis air bersih dan sanitasi masih menjadi salah satu momok bagi para wanita termasuk anak perempuan. Pasalnya, mereka yang biasanya mencari air untuk kebutuhan rumah tangga.

Sementara itu para suami dan anak laki-laki mencari ikan di laut sebagai sumber penghasilan keluarga.

Peran perempuan seringkali diabaikan dan kurang terdokumentasikan dengan baik perihal efek dari perubahan iklim.

Kampung pesisir Ai Bari termasuk wilayah yang rawan air bersih. Hanya beberapa warga menggunakan air sumur yang rasanya asin untuk keperluan mandi, mencuci, dan lain-lain.

Sedangkan air bersih digunakan warga untuk keperluan minum dan memasak dibeli dengan harga Rp 5.000 per galon.

“Saya beli tiga air galon dengan harga Rp 15.000 per hari. Karena kemarau ini semakin panas, kami jadi sering dehidrasi dan minum air putih lebih banyak,” cerita Juwita.

Jika musim hujan, ia hanya beli air galon satu kali dalam tiga hari dengan harga Rp 5.000 untuk kebutuhan minum. Sebab, kebutuhan memasak ditampung dari air hujan.

“Kami punya bak penampung air hujan. Tapi sekarang belum bisa digunakan dulu masih tunggu hujan turun,” ucapnya.

Menurut Juwita, ada bantuan distribusi air bersih dari pemerintah BPDB maupun kepolisian tetapi tidak tiap hari.

“Ada bantuan air bersih kemarin. Tapi tidak tiap hari. Kadang satu minggu dua kali selama puncak musim kemarau ini. Kalau sudah tidak ada bantuan maka kami beli,” jelasnya.

Hal yang sama juga dirasakan warga wilayah agraris di Desa Lekong, Kecamatan Alas Barat, Kabupaten Sumbawa. Debit air sumur semakin sedikit tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari.

“Tahun ini terlalu panas. Air sumur saya kering, tak ada sama sekali. Terpaksa mandi dan mencuci ke sungai,” kata Saleha (64).

Untuk memenuhi kebutuhan air bersih, Saleha meminta dari tetangga yang sumurnya masih ada air. Ia mengambil 1-2 ember air.

“Sumur saya perlu diperdalam lagi. Tapi sekarang belum ada uang terpaksa begini dulu,” ceritanya.

Sementara, warga Dusun Ai Beta, Desa Kerato, Kecamatan Unter Iwis harus menempuh jarak 13 kilometer untuk menuju sumber air karena sumur mengering saat musim kemarau. Mereka berbekal jerigen.

Setiap pekan setidaknya warga Ai Beta harus tiga kali bolak-balik menempuh jarak cukup jauh ke sungai demi mendapatkan air yang mereka butuhkan untuk keperluan sehari-hari.

Dengan metode pipaisasi yang mulai dibangun pada Agustus 2023 ini, air bersih dari sungai bisa dialirkan menuju lokasi yang lebih dekat dengan perumahan warga.

Kini warga cukup berjalan 500 meter saja untuk bisa mendapatkan air bersih.

"Dulu saya harus jalan 13 Km ke sungai untuk dapat air bersih saat musim kemarau, sekarang tinggal jalan 500 meter saja tapi masalah kesulitan air selalu kami rasakan setiap tahun,” kata Heri (29).

Pemerintah daerah Kabupaten Sumbawa dan Yayasan Plan International Indonesia bersama- sama membangun manajemen pengelolaan sumber daya air terpadu (PSDAT) untuk mencari solusi bagi masyarakat yang kesulitan air bersih.

“Sebab di beberapa wilayah di Kabupaten Sumbawa, air bersih menjadi sesuatu yang mahal dan cukup sulit untuk diperoleh,” kata Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Sekretariat Daerah Kabupaten Sumbawa Varian Bintoro, Kamis (14/12/2023).

Hal tersebut tidak lepas dari kondisi perubahan iklim. Selain itu, lokasi tempat tinggal beberapa warga masyarakat cukup jauh dari sumber air.

Misalnya warga di daerah pesisir maupun pegunungan yang tidak memiliki sungai atau di wilayah- wilayah yang kering karena kontur tanah yang tidak begitu subur.

“Masalah air bisa terjadi dari hulu ke hilir. Namun kondisi hulu mengalami kerusakan."

"Kerusakan lingkungan kita lebih besar karena deforestasi, illegal logging, sehingga melalui PSDAT diharapkan bisa ada masukkan dan rekomendasi kebijakan terkait solusi ke depan,” kata Varian.

Bencana hidrometeorologis yaitu cuaca ekstrem dan krisis air bersih saat musim kemarau semakin sering dirasakan warga sebagai dampak perubahan iklim.

Demikian disampaikan Kabid Kedaruratan dan Logistik BPBD Sumbawa, Rusdianto.

“Ada 43 desa yang alami kekurangan air bersih saat musim kemarau. Kami sudah turun distribusi air dan hingga sekarang masih dilakukan,” kata Rusdianto.

Namun, keterbatasan sumber daya dan armada, dengan persebaran penduduk yang cukup luas pada 24 kecamatan, membuat pendistribusian air tidak bisa satu hari dalam satu desa.

“Kami bagi tim untuk distribusi air. Karena hanya ada 4 armada,” sebutnya.

Mendorong perencanaan, penganggaran dan pembiayaan akses kebutuhan air bersih bisa dilakukan forum PSDAT dengan skema pentahelix.

Artinya, menyatukan semua stakeholder di lingkup pemerintah daerah kabupaten, provinsi hingga keterwakilan pemerintah pusat di daerah NTB, akademisi, Forum DAS Provinsi NTB, Forum Penanggulangan Resiko Bencana Provinsi NTB, Kecamatan, Desa, kelompok perempuan, TP- PKK, Kelompok/komunitas, masyarakat pemerhati air, swasta dan lain-lain.

“PSDAT ini dibentuk di Kabupaten Sumbawa sesuai rekomendasi dari hasil riset kolaborasi yang dilakukan Monash University Australia dan Yayasan Plan pada 2022,” demikian disampaikan Provincial Coordinator NTB - Water for Women Project Yayasan Plan International Indonesia, Jatmoko, Kamis (14/12/2023).

Ia menyampaikan rangkaian workshop pengelolaan sumber daya air digelar untuk berkoordinasi dengan para pihak terkait.

PSDAT memastikan terwujudnya Sanitasi Total Berbasis Masyarakat Berkesetaraan Gender dan Inklusi sosial di Kabupaten sumbawa hingga kebutuhan dan akses layanan dasar terhadap kebutuhan air terpenuhi tanpa terkecuali atau dikenal dengan istilah no one left behind yang didukung pengelolaan sumber daya air.

“Proses yang kami lakukan kemarin melalui 5 pilar PSDAT yaitu perkuat konservasi sumber daya air, pemanfaatan sumber daya air, manajemen daya rusak, sistem informasi sumber daya air (SISDA), peranan masyarakat dan swasta dalam pengelolaan sumber daya alam,” sebut Koko, sapaan akrabnya.

Selanjutnya, pertemuan ini digagas untuk mendapatkan masukkan. Memperkuat rencana aksi kolaborasi ke depan untuk bergerak bersama.

Fasilitator PSDAT, Ludji Michael Tiwi Kaho, Dosen Universitas Nusa Cendana Kupang mengatakan, kekeringan hidrometeorologis di Sumbawa dalam kategori sedang tetapi bisa ke arah risiko tinggi jika tidak dilakukan mitigasi.

Materi itu disampaikannya di hadapan anggota PSDAT Sumbawa.

Menurutnya, risiko tinggi terkait dengan jumlah mata air yang terdapat di kawasan Sub Daerah Aliran Sungai (DAS) seperti salah satunya DAS Batulanteh bisa bertambah atau berkurang bergantung pada faktor alam dan penduduk yang berada di sekitar kawasan.

Melalui kearifan lokal masyarakat, pemerintah bisa mendorong agar terus menjaga kelestarian alam yang mempengaruhi daur hidrologi sehingga ketersedian sumber daya alam berupa air akan tetap terjaga.

“Bagaimana upaya kita bersama agar masyarakat di hulu menjaga sumber mata air sehingga hilir bisa teraliri air,” kata Michael.

https://regional.kompas.com/read/2023/12/15/090618278/cerita-warga-sumbawa-yang-kesulitan-air-bersih-beli-3-galon-per-hari-hingga

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke