Salin Artikel

Cerita Nelayan di Sumbawa: Merugi karena Hasil Tangkapan Berkurang akibat Cuaca Ekstrem

Kondisi cuaca ekstrem di laut dipengaruhi perubahan iklim dan peralihan musim. Demikian disampaikan Sirajuddin (54) saat ditemui Kamis (7/12/2023).

“Iya, hasil tangkapan jauh berkurang, sejak kondisi cuaca tidak menentu karena perubahan iklim dan sering terjadi cuaca ekstrem ini,” katanya.

Kondisi cuaca tak menentu berdampak pada arus di tengah laut yang membuat ikan migrasi lebih jauh.

Ia harus menempuh ratusan mil untuk menangkap ikan. Berbeda dengan dulu, ikan di sekitar terumbu karang kawasan Pulau Moyo dan Teluk Saleh lebih mudah dijumpai seperti kakap, kerapu, ekor kuning, dan lain-lain.

Desa Kukin berbatasan langsung dengan Pulau Moyo yang berada di pesisir utara Pulau Sumbawa. Saat cuaca seperti sekarang ini sangat mempengaruhi hasil tangkapan ikan.

"Sangat berpengaruh pada hasil tangkapan. Jika dulu mampu menjaring ratusan kilo ikan per hari, saat ini hanya satu sampai lima kilo saja per hari," sebut Sirajuddin.

“Hari ini hasil tangkapan saya hanya dua kilo,” ucapnya.

Ia mengaku merugi, padahal pengeluaran untuk bahan bakar jauh lebih besar. Kadang pengeluaran terus terjadi tetapi pemasukan tidak ada.

“Kita beli minyak 10 liter Rp 120 ribu. Habis dalam dua hari saja untuk melaut,” sebutnya.

Ia mencoba menghitung total penangkapan ikan dua bulan terakhir ini sebanyak 200 kilo saja. Jauh berkurang apabila dibandingkan dengan 2022 di mana per bulan bisa dapat 100-250 kilo ikan.

Sirajuddin mengakui masih memiliki tiga anak usia sekolah yang harus dibiayai. Ketika cuaca ekstrem tidak bisa melaut, maka ia terpaksa meminjam uang kepada rentenir.

Ia berharap kepada pemerintah agar memberikan bantuan peralatan bagi nelayan seperti jaring ikan dan lainnya.

Selanjutnya di tempat yang sama, seorang pelaut lainnya Juprianto (41), menyampaikan, memang kondisi cuaca sedang tidak bersahabat.

Saat kondisi cuaca tak mendukung seperti sekarang, ia memilih menjadi buruh harian di lahan pertanian milik orang lain.

“Kadang hasil tangkapan ikan hanya bisa untuk makan. Jadi, saya milih jadi buruh di sawah orang,” kata Jupri.

Penghasilan harian menjadi buruh lepas berkisar Rp 80.000 hingga Rp 100.000.

Aktivitas di sawah orang dari pagi hingga sore yaitu bersih-bersih dan menyemprot rumput dan tanaman liar karena bersiap menanam saat turun hujan nanti.

“Kalau saya bawa nasi dari rumah dikasih 100 ribu oleh pemilik lahan. Jika nasi makan siang ditanggung maka dikasih sewa Rp 80 ribu saja,” cerita Jupri.

Namun pekerjaan sebagai buruh hanya selingan. Jupri tidak punya pilihan lain.

Ia beralih menjadi buruh harian agar dapur tetap mengepul saat kondisi cuaca membuatnya tak bisa melaut.

“Tanda-tanda akan datang cuaca ekstrem itu awan gelap baik di utara dan selatan, kalau sudah begitu tidak ada nelayan berani melaut,” kisah Jupri.

Hal yang sama dirasakan Rocky (45). Saat kondisi cuaca tak menentu ia tidak memiliki penghasilan apapun.

“Kadang ikan untuk makan aja kita tangkap susah kalau cuaca ekstrem. Daripada keselamatan kita tak terjamin lebih baik tak melaut dulu,” kata Rocky.

Menjadi buruh lepas di sawah atau ladang orang lain jadi alternatif. Karena permintaan menjadi buruh tidak didapatkan tiap hari.

“Kita jadi buruh kalau ada permintaan saja dari pemilik lahan. Kalau tidak ada ya kita tidak kerja dulu,” ucap Rocky.

Kalau tidak melaut, ia mengaku memancing di pinggir pantai atau mencari tripang dan bintang laut.

Kondisi seperti ini tak meruntuhkan semangat Rocky. Ia tetap tegar dan berusaha bertahan mencari nafkah dengan beragam cara.

“Nenek moyang kita adalah pelaut. Kita harus semangat jemput rezeki yang halal, insyaallah ada jalan,” pungkasnya.

https://regional.kompas.com/read/2023/12/07/184631978/cerita-nelayan-di-sumbawa-merugi-karena-hasil-tangkapan-berkurang-akibat

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke