Salin Artikel

Banjir Bandang di Humbang Hasundutan dan Kerusakan DTA Danau Toba

Air bah, lumpur, batang kayu, dan batu-batu besar dari atas bukit menggelinding kebawah memporak-porandakan desa yang berada di tepian Danu Toba.

Bencana ini menelan dua korban jiwa dan 10 orang lainnya masih hilang. Selain itu, 14 rumah warga hilang tersapu banjir sekitar 20 rumah lainnya rusak berat.

Hingga Selasa (05/12/2023) pagi, 234 warga mengungsi di kantor kecamatan dan di rumah kerabat.

Sekitar 500 petugas gabungan mencari korban yang hilang. Mereka diduga tertimbun tanah dan batu, termasuk tersapu banjir dan tenggelam di Danau Toba.

Destinasi Pariwisata Super Prioritas

Danau Toba, yang merupakan danau terbesar di Indonesia, telah ditetapkan sebagai salah satu Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP) oleh pemerintah.

Konsekuensi menjadi DPSP, maka infrastruktur di kawasan Danau Toba harus dibenahi dengan standar internasional seperti jalan, hotel, restoran, darmaga penyeberangan, hingga bandara terdekat.

Pemerintah tidak main-main menyulap Danau Toba sebagai DPSP dengan mengucurkan dana Rp 2,4 triliun pada 2020 untuk membangun jalan lingkar Samosir, jembatan Tano Ponggol, revitalisasi Danau Toba, embung, instalasi pengolahan air, sanitasi, dan penataan kawasan tepi Danau Toba.

Sayangnya, pembangunan infrastruktur yang gencar di DPSP Danau Toba belum diimbangi kecepatan perbaikan dan pencegahan kerusakan lingkungan yang menyeluruh di daerah tangkapan air (DTA) Danau Toba.

Masyarakat sekeliling Danau Toba masih ada yang berperilaku negatif dengan menebang hutan secara ilegal di hulu daerah aliran sungai (DAS) hingga membakar ladang pada musim kemarau untuk bercocok tanaman semusim pada musim hujan di sektar DTA Danau Toba.

Imbasnya, potensi banjir bandang dan tanah longsor akan selalu mengancam sebagaimana yang terjadi di Humbang Hasundutan.

Wilayah Danau Toba dikelilingi secara administratif oleh enam daerah kabupaten, yakni Samosir, Toba, Tapanuli Utara, Kabupaten Simalungun, Humbang Hasudutan, dan Dairi.

Luas lahan kritis di DTA Danau Toba mencapai 28.911 hektare atau 10,98 persen dari total 263.041,68 hektare. Luas itu hampir setengah dari luas DKI Jakarta. Kondisi kritis itu berupa lahan terbuka, lahan tak produktif, dan semak belukar.

Kondisi lahan didominasi lahan kritis 62,88 persen (165.402,61 hektare). Hanya 20,22 persen (53.186,17 hektare) lahan tidak kritis.

Dengan lahan kritis yang sangat luas, kawasan Danau Toba sangat rentan erosi, banjir, longsor dan kebakaran.

Laju reboisasi atau penanaman kembali pohon di DTA Danau Toba juga lambat dibandingkan dengan kerusakan lahannya.

Peringatan bencana hidrometeorologi menggaung lagi semasa Indonesia memasuki awal musim hujan pada Oktober lalu.

Bencana banjir, banjir bandang, dan tanah longsor menjadi bencana rutinitas tahunan bagi daerah-daerah yang menjadi langganannya. Wilayah yang terkena bencana hidrometerologi semakin meluas.

Selama ini, cuaca ekstrem karena pemanasan global selalu dianggap sebagai penyebab bencana hidrometeorologi.

Badan Metereorologi dan Klimatologi Geofisika (BMKG) berulang kali mengingatkan masyarakat untuk mewaspadai bencana hidrometereologi yang datangnya pada peralihan musim kemarau dan musim hujan tahun ini.

Mirisnya lagi, bencana hidrometeorologi diawali hujan dengan curah hujan tinggi disertai petir dan angin kencang yang dapat menyapu benda apa saja yang dilaluinya.

Jenis bencana hidrometeorologi yang perlu diwaspadai adalah banjir bandang dan tanah longsor. Dua jenis bencana tersebut datangnya tiba-tiba dan sulit diprediksi manusia sehingga biasanya berdampak besar pada korban jiwa dan harta benda.

Lain halnya dengan bencana banjir yang dapat diprediksi sebelumnya.

Banjir bandang terjadi karena daerah hulu telah terjadi perubahan alih fungsi lahan hutan/tutupan hutan (forest coverage) secara besar-besaran dan masif sehingga kemampuan daerah hulu sebagai daerah tangkapan air hujan (catchment area) dan penyimpan air hujan, secara ekologis tidak berfungsi lagi (kemampuan menyimpan air dapat disebut mendekati nol persen).

Dalam ilmu hidrologi, kondisi ini disebut sub surface run off 0 persen, surface run off 100 persen.

Dengan kondisi seperti ini, apabila terjadi hujan di daerah hulu, maka air hujan akan meluncur langsung kepermukaan tanah dan masuk kedalam sungai utama dengan kecepatan tinggi menuju ke daerah hilir.

Bisa dibayangkan apabila di daerah hulu terjadi hujan dengan intensitas curah hujan yang tinggi, maka kecepatan air yang meluncur kesungai dan ke hilir akan meningkat pula.

Ironisnya, apabila terjadi hujan di daerah hulu dengan intensitas curah hujan tinggi, sementara di daerah hilir tidak terjadi hujan sama sekali, maka air bah dari banjir bandang akan menjadi malapetaka bagi daerah hilir.

Air bah tersebut datangnya tiba-tiba dan sulit diprediksi sebagaimana yang terjadi di Humbang Hasundutan.

Sedangkan tanah longsor dapat terjadi apabila penguat struktur maupun tekstur tanah menurun dan berkurang kemampuannya akibat faktor curah hujan dan atau adanya perubahan signifikan tutupan vegetasi yang berada di atasnya.

Kejadian longsor selalu disertai dengan keretakan tanah atau tebing. Perubahan tanah tersebut biasanya ditandai dengan pergeseran pohon.

Pencegahan dan pemulihan

Untuk mengatasi bencana banjir bandang dan tanah longsor, tidak ada kata lain selain melakukan upaya pencegahan dan pemulihan.

Untuk mencegah banjir bandang harus tetap mempertahankan kawasan hutan dan tutupan hutan yang masih ada dan kondisi baik dengan mencegah adanya alih fungsi lahan hutan dan tutupan hutan di daerah hulu.

Sementara untuk daerah hulu yang telah rusak kawasan hutan dan tutupan hutannya harus segera dipulihkan dengan menanam vegetasi kayu-kayuan dengan jenis yang cepat tumbuh (fast growing species) dan berdaun lebar yang mampu menyerapkan air hujan lebih banyak kedalam tanah.

Kawasan hutan lindung, bahkan cagar alam, merupakan kawasan yang sangat efektif menyimpan air.

Penelitian mengatakan, hutan dengan pohon berdaun jarum mampu membuat 60 persen air hujan terserap tanah. Sedangkan, hutan dengan pohon berdaun lebar mampu membuat 80 persen air hujan terserap tanah.

Makin rapat pohon yang ada dan makin berlapis-lapis strata tajuknya (canopy), makin tinggi pula air hujan yang terserap kedalam tanah, bahkan hampir 100 persen air hujan mampu terserap kedalam tanah.

Untuk mencegah tanah longsor, terutama untuk lahan-lahan di luar kawasan hutan, peningkatan dan sosialisasi kesadaran masyarakat perlu digalakkan agar daerah-daerah yang rawan longsor di tebing-tebing sungai, tebing lahan yang kemiringannya di atas 40 persen yang masih ada vegetasinya (kayu maupun semak belukar dan rumput-rumputan) tidak perlu diganggu gugat keberadaannya.

Sementara itu, untuk daerah rawan longsor yang sudah rusak, agar dipulihkan kembali lingkungannya dengan menanami jenis vegetasi kayu-kayuan yang sesuai dengan kondisi lahannya.

Bagi tebing-tebing sungai (kiri-kanan sungai) dapat ditanami dengan dengan jenis bambu-bambuan yang banyak ditemukan di Indonesia.

Sementara untuk daerah rawan longsor di luar dari tebing-tebing sungai tersebut, dapat ditanami vegetasi kayu-kayuan dengan jenis cepat tumbuh, perakaran dalam dan berdaun lebar yang mampu memperkuat struktur dan tekstur tanah.

Satu hal yang juga penting adalah sosialisasi secara intensif tentang kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan di DTA Danau Toba khususnya di daerah hulunya.

Warga jangan melakukan alih fungsi hutan dan tutupan hutan dengan cara tidak menebang pohon dan membakar ladang selama musim kemarau. Pengawasan dari aparat harus dilaksanakan tanpa pandang bulu.

Dengan cara itu, barangkali sedikit banyak kasus-kasus bencana hidrometeorologi di DTA Danau Toba pada masa depan dapat dikurangi skala dan intensitasnya. Semoga.

https://regional.kompas.com/read/2023/12/07/17140581/banjir-bandang-di-humbang-hasundutan-dan-kerusakan-dta-danau-toba

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke