Salin Artikel

Cerita Bocah 10 Tahun Trauma Setelah Melihat Temannya Diterkam Buaya di Sungai Arut: Saya Kira Kakinya Kram

Jasad korban sempat berada di dalam mulut buaya selama sembilan jam. Selai itu sempat terekaman buaya tersebut membawa jasad korban ke dalam sungai.

Sabtu siang, buaya tersebut berhasil dilumpuhkan oleh warga dengan cara disetrum. Pada pukul 13.20 WIB, buaya yang mati itu berhasil ditarik ke darat.

Oleh warga, perut buaya betina tersebut dibelah, namun tubuh H tak ditemukan. Atas permintaan keluarga korban, bangkai buaya itu diamankan di dekat kediaman korban dan dikubur pada Sabtu jelang malam hari.

Sementara petugas dibantu warga terus mencari jasad korbann

Pada Sabtu malam sekitar pukul 20.32 WIB, jasad H ditemukan tak jauh di lokasi kejadian. Tepatnya di Mendawai Seberang, Pangkalan Pun, Kobar.

"Korban ditemukan tidak jauh dari lokasi buaya tersebut melepaskan jenazah," jelas Plt Sekretaris Satuan Polisi Pamong Praja dan Pemadam Kebakaran (Satpol PP-Damkar) Kobar.

Menurut Dwi Agus, jasad korban ditemukan oleh warga menggunakan jaring. Usai ditemukan, jenazah korban langsung dibawa ke rumah duka untuk dilakukan pemulasaraan.

Sementara itu isak tangis keluarga pecah menyambut kepulangan H yang sudah tak bernyawa.

"Saya kira kakinya kram"

Terkaman buaya yang menewaskan H membekas dalam ingatan dua sahabat H yakni A dan F. Bahkan kedua anak yang masih berusia 10 tahun itu mengaku masih trauma untuk mandi di Sungai Arut.

F sendiri mengaku sempat jatuh sakit setelah melihat kejadian yang menimpa sahabatnya, H.

"Sempat tidak sekolah satu hari," ujar F kepada Tribunkalteng.com saat ditemui di kediamannya RT 5 Mendawai Seberang, Kotawaringin Barat, Rabu (29/11/2023).

F yang ditemani ayah dan ibu kandungnya menceritakan kejadian tersebut. Menurutnya, H sempat berteriak minta tolong dan ia mengira kaki H dalam kondisi kram.

"Saya kira dia kram," kata F.

Saat itu F langsung berteriak meminta tolong kepada keluarganya. Hal tersebut dibenarkan T (47), ibu kandung F.

"Waktu itu saya mendengar Fadel berteriak, bahwa temannya tenggelam," ucap T.

Selain itu F bercerita kepada ayahnya jika temannya yang lain A, yang saat itu berada di dekat H sempat terlempar ke atas dan jatuh lagi ke sungai.

Diduga A terlempar karena terkena punggung buaya yang menyerang H.

"A langsung bergegas naik, dia lari ketakutan dan badannya gemetar," jelas E (50), ayah Fadel.

Dampak lingkungan rusak

Serangan buaya jenis seluyong mendapat perhatian Wahana Lingkungan atau Walhi Kalteng.

Direktur Walhi Kalteng Bayu Herinata menjelaskan serangan buaya tersebut tak lepas dari kerusakan lingkungan yang menjadi habitat buaya.

"Kerusakan lingkungan berpengaruh pada ekosistem, sehingga membuat buaya mencari habitat baru," ucap Bayu saat diwawancara Tribunkalteng.com, Senin (27/11/2023).

Sementara itu pengamat satwa liar, Budi Suryani menyebut buaya seluyong adalah jenis yang jarang terdengan menyerang manusia apalagi di wilayah pemukiman warga.

Biasanya buaya jenis tersebut memangsa ikan dan primata kecil seperti monyet. Selain itu di lokasi kejadian juga bukan tempat buaya serin terlihat.

Budi yang juga Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Tanjung Puting Wilayah II Kuala Pembuang menjelaskan habitat yang rusak membuat buaya tersebut bisa sampai ke pemukiman warga.

"Teritorialnya terganggu dan tidak memiliki habitat aman untuk mereka sehingga membuat buaya tersebut ke pemukiman warga," ujarnya.

Bayu juga berpendapat kerusakan lingkungan gambut dan kebakaran hutan hingga berpengaruh pada ekosistem Sungai Arut.

Aktivitas pembukaan lahan untuk perkebunan yang merusak habitat mangsa buaya juga menjadi faktor penyebab buaya menyerang manusia.

"Tempat biasa buaya mencari mangsa sudah tidak ada lagi," tutur Bayu.

Bayu juga menyoroti akibat dari kerusakan lingkungan jangka panjang tidak diantisipasi sehingga sering terjadi konflik dengan manusia.

"Kejadian ini merupakan akibat jangka panjang dari pembukaan lahan yang membuat ekosistem gambut dan hutan," jelasnya.

Aktivitas tambang di hulu Sungai Arut dan pesisir juga berpengaruh terhadap rusaknya habitat mangsa buaya hingga harus mencari habitat baru.

"Naluri alami hewan tidak bisa hidup berdampingan dengan aktivitas manusia," tutur Bayu.

Bayu menambahkan ini menjadi tanggung jawab instansi terkait untuk mengantisipasi perubahan perilaku satwa liar karena habitatnya rusak.

"Yang diantisipasi hanya dampak secara langsung, tapi dampak jangka panjangnya tidak," pungkasnya

SUMBER: KOMPAS.com (Penulis: Alicia Diahwahyuningtyas | Editor: Rizal Setyo Nugroho), Tribun Kalteng

https://regional.kompas.com/read/2023/11/30/090900578/cerita-bocah-10-tahun-trauma-setelah-melihat-temannya-diterkam-buaya-di

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke