Salin Artikel

Menjamin Nasib "Pahlawan Olahraga" agar Tak Celaka di Medan Laga dan Merana hingga Masa Senja

JATENG, KOMPAS.com - Tak semua atlet yang pernah berjasa mengharumkan nama bangsa memiliki nasib yang mujur. Banyak dari pahlawan olahraga itu justru mengalami kecelakaan di medan laga dan merana hingga masa senja.

Kisah malang itu agaknya dialami oleh Markus Tugiman (63), mantan atlet balap sepeda andalan Provinsi Jawa Tengah, yang kini menjadi seorang pemulung di Kampung Tanggungrejo, Kelurahan Tambakrejo, Kecamatan Gayamsari, Kota Semarang.

Melihat tubuhnya yang renta, tak mungkin ada yang menyangka jika Tugiman adalah ‘bocah ajaib’ yang sempat memukau arena balap pada medio 1980-an silam.

“Saya pernah dapat (medali) emas di Pekan Olahraga Daerah (Porda) Jateng tahun 1983 dan dapat dua perak di Pra Pekan Olahraga Nasional (Pra-PON) Sulawesi pada tahun yang sama,” kata atlet seangkatan Fani Gunawan itu ketika disambangi, Sabtu (28/10/2023).

Dengan segudang prestasi itu, sudah tentu Tugiman mendapat karpet merah untuk bergabung sebagai kontingen Jateng dalam PON 1985. Namun, mimpi besar untuk mendulang gemilang di kancah nasional harus pupus lantaran sepeda balap yang diperoleh dari sponsornya saat itu raib.

“Sepedanya dibawa kabur mekanik saya sendiri pas dititipin di training center. Ya mau gimana lagi, beli (sepeda) baru jelas enggak mungkin karena mahal banget, dari Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Semarang juga enggak ada upaya biar saya punya sepeda lagi,” beber dia.

Kejadian itu membuat Tugiman sangat frustasi hingga memutuskan berhenti mengaspal.

Setelah itu, tak ada jalan lain bagi Tugiman kecuali balik melakoni profesi lama sebagai tukang kayu dan bekerja kasar di tambak ikan.

Karir atlet Tugiman baru benar-benar tamat tatkala ayah tiga anak ini terinfeksi kusta di tahun 1990.

Tubuh Tugiman yang terbiasa diforsir sejak belia rupanya semakin memperburuk kondisi kesehatannya.

“Ini gara-gara digerogoti kusta jadi seperti ini,” kata Tugiman, seraya menjulurkan sisa jari jemarinya yang tak lagi utuh.

Kini, di usia yang tak lagi muda, Tugiman masih harus berjuang menafkahi keluarga. Padahal, kedua matanya kian hari kian berkabut disaput katarak.

Jika sedang merasa sehat, Tugiman memaksa tubuh ringkihnya berkeliling kampung, memungut sampah untuk ditukarnya dengan sedikit rupiah.

“Saat itu, boro-boro ada pensiunan untuk mantan atlet, perhatian pemerintah untuk atlet aktif yang cedera saja tidak ada,” keluh dia.

Janji lama pemerintah setempat untuk mengangkat Tugiman menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) juga tak lagi ia harapkan. Semua menguap bersama medali-medalinya yang hilang tersapu banjir rob.

“Saya tidak berharap banyak untuk diri saya pribadi, saya cuma berharap dunia olahraga Indonesia bisa lebih maju, nasib atlet-atlet muda lebih diperhatikan, pelatih dan pensiunan juga bisa sejahtera di masa tua,” ujar dia.

Cerita malang juga pernah dialami atlet panjat dinding Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, Aditya Tri Syahria.

Peraih medali emas dalam gelaran PON XX Papua tersebut jatuh dari dinding panjat setinggi delapan meter saat berlatih tahun 2018 silam.

“Adit jatuh dengan posisi duduk, untung masih ketahan tali runner jadi tidak langsung terjun bebas,” kata Koordinator Bidang Bina Prestasi Federasi Panjat Tebing Indonesia (FPTI) Kabupaten Purbalingga, Dwi Fitriyanto, Sabtu (26/11/2023).

Dwi yang saat itu berada di lapangan, langsung membawa atlet muda berbakat itu ke rumah sakit.

Meski luput dari cedera berat, namun Adit sempat mengalami trauma.

Perlu waktu bagi Dwi memulihkan keberanian Adit untuk kembali merayapi dinding panjat.

“Waktu itu belum ada asuransi, jadi biaya pengobatannya kami tanggung sendiri. Alhamdulillah Adit bisa kembali pulih dan menorehkan banyak prestasi hingga saat ini,” ujar dia.

Kisah Tugiman dan Adit menjadi cerminan bagaiamana lemahnya perlindungan atlet di masa lampau.

Namun, sejak diterbitkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan, tingkat kesejahteraan atlet di daerah mengalami peningkatan cukup signifikan.

Bahkan, di Kabupaten Purbalingga, para atlet dari cabang olahraga (cabor) yang berisiko tinggi cedera sudah dilindungi oleh jaminan sosial.

Saat gelaran Kejuaraan Kabupaten (Kejurkab) Pencak Silat Purbalingga tahun 2023, misalnya, setidaknya ada tiga atlet pencak silat asal Kota Perwira yang mengalami cedera cukup serius.

Pelatih Silat Tapak Suci Kabupaten Purbalingga, Yudianto mengatakan, ketiga atletnya masing-masing mengalami Anterior Cruciate Ligament (ACL), patah tulang selangka, dan retak engkel kiri.

“Atlet-atlet yang cedera langsung kami larikan ke rumah sakit, soalnya kalau tidak segera ditangani bisa berakibat fatal,” ujar Yudi.

Beruntung, pihak penyelenggara telah bekerjasama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, sehingga seluruh atlet dan kontingen tak perlu mencemaskan biaya pemulihan jika hal buruk terjadi selama pertandingan.

“Kartu BPJS Ketenagakerjaan atlet selalu diaktifasi ulang sebulan sebelum bertanding. Preminya disubsidi KONI dan tidak ada denda, jadi tidak memberatkan cabor,” kata Yudi.

“Bahkan, saat persiapan Pekan Olahraga Provinsi (Porprov) tahun 2023, seluruh atlet kontingen dari Purbalingga kami asuransikan selama enam bulan, sejak masa latihan sampai hari H pertandingan,” kata Budi, Jumat (24/11/2023).

Tak hanya itu, KONI Purbalingga juga terus berupaya memfasilitasi bermacam kebutuhan yang bukan menjadi komponen asuransi BPJS Ketenagakerjaan.

“Misal, kemarin ada atlet pencak silat yang cedera kaki, kami juga belikan penyangga kaki,” terangnya.

“Kami sebagai pengurus jadi lebih tenang, atlet juga bisa bertanding lebih lepas,” imbuh Budi.

Kepala Cabang BPJS Ketenagakerjaan Purbalingga, Lilis Muldiyastuti mengungkapkan, akselerasi kepesertaan para atlet dilakukan secara masif pascakesepakatan dengan KONI pusat pada 12 September 2022.

Dimulai dari atlet sepak bola di bawah naungan PSSI, secara bertahap, cabor lain pun mulai mendaftarkan atlet-atletnya.

Di Kabupaten Purbalingga sendiri, kepesertaan atlet mengalami kenaikan cukup signifikan pada tahun 2023.

Dari tahun sebelumnya yang hanya 20 atlet, sekarang sudah lebih dari 500 atlet terdaftar sebagai peserta program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM).

“Atlet merupakan profesi yang memiliki risiko tinggi. Meskipun atlet masuk dalam kategori pekerja Bukan Penerima Upah (BPU), tapi mereka tetap berhak mengikuti program asuransi BPJS Ketenagakerjaan,” ujar Lilis.

Dengan iur premi Rp 16.800 per jiwa, segala risiko yang timbul dari profesi atlet akan ditanggung seluruhnya oleh BPJS Ketenagakerjaan.

Tak hanya risiko cedera saat latihan dan bertanding saja, bahkan jika atlet mengalami kecelakaan saat perjalanan menuju gelanggang juga bakal tetap ditanggung oleh asuransi.

“Dari yang hanya cedera ringan sampai patah tulang dan harus pengobatan lanjutan seperti pasang pen hingga fisioterapi akan di-cover di seluruh rumah sakit mitra PLKK (Pusat Layanan Kecelakaan Kerja),” terang Lilis.

Hingga November 2023, BPJS Ketenagakerjaan Purbalingga telah melayani sedikitnya 28 klaim kasus kecelakaan kerja dari atlet.

Klaim terbanyak berasal dari atlet cabor pencak silat, road race, drag bike, dan sepak bola dengan nilai total Rp 121 juta.

“Ke depan, kami akan gencarkan sosialisasi program Jaminan Hari Tua (JHT). Jadi, meskipun bukan pekerja formal, atlet dan pelatih tetap bisa mendapatkan tunjangan pensiun di kemudian hari,” pungkas dia.

https://regional.kompas.com/read/2023/11/27/062048178/menjamin-nasib-pahlawan-olahraga-agar-tak-celaka-di-medan-laga-dan-merana

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke