Salin Artikel

Polda Jatim dan Pengamanan Sepak Bola

Pemicu penembakan gas air mata diduga karena adanya kericuhan suporter pascapertandingan.

Penembakan gas air mata pada pertandingan sepak bola mengingatkan kita pada tragedi Kanjuruhan pada 1 Oktober 2023, di Malang.

Kejadian yang mengakibatkan kematian 135 nyawa tidak bersalah (bukan mereka yang merusuh, termasuk dua polisi yang bertugas sesuai ploting) tersebut sampai sekarang jauh dari kata tuntas, terutama dalam hal penuntasan perkara melalui peradilan.

Namun peristiwa serupa terjadi kembali. Dalam video yang beredar di media sosial terlihat polisi membawa tembakan gas air mata.

Parahnya, terlihat ada gas air mata yang menyasar ke jalan raya, mengenai kendaraan yang sedang melintas.

Adanya gas air mata yang menyasar subjek/objek yang tidak sesuai mengingatkan kita kembali terhadap penembakan gas air mata ke tribun Kanjuruhan.

Gas air mata justru ditembakkan ke tribun, bukan ke subyek suporter yang sedang melakukan kericuhan di tengah lapangan.

Akibatnya fatal, suporter di tribun kocar kacir menyelamatkan diri. Dalam proses menyelamatkan diri tersebut banyak dari mereka meregang nyawa karena terjepit di tangga dan pintu keluar.

Kembali ke penggunaan gas air mata, sebenarnya pascakejadian Kanjuruhan, Polri telah membuat langkah positif dengan mengeluarkan Peraturan Polri nomor 10 tahun 2022 tentang Pengamanan Penyelanggaraan Kompetisi Olahraga.

Perpol 10/2022 ini selain mengambil banyak pelajaran dari kejadian Kanjuruhan, juga mengadopsi beberapa peraturan pengamanan standar FIFA termasuk yang diatur dalam FIFA Stadium Safety and Security Regulation.

Termasuk di antaranya peralatan pengamanan yang boleh atau tidak boleh digunakan petugas pengamanan.

Secara rinci di pasal 22 ayat (3) Perpol tersebut diatur bahwa petugas yang menyelenggarakan pengamanan kompetisi sepak bola dilarang menggunakan atau bahkan sekadar membawa senjata api maupun senjata pengurai massa.

Fakta adanya penggunaan gas air mata pada pertandingan Gresik United melawan Deltras Sidoarjo pada 19 November 2023, menunjukkan ada mekanisme yang tidak berjalan pada pengamanan pertandingan tersebut.

Terlebih adanya gas air mata yang tertembak ke jalan raya menunjukkan adanya kesalahan dalam pengamanan.

Belajar ke Polda Metro Jaya

Polda Jatim dan mungkin Polda-Polda lain harus memperhatikan Perpol 10/2023 dalam melakukan pengamanan sepak bola. Mereka juga perlu belajar dari Polda Metro Jaya dalam hal pengamanan sepak bola.

Kita masih ingat pada 18 Oktober 2015, final Piala Presiden mempertemukan Persib Bandung dan Sriwijaya FC di Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta.

Suporter Persib yang dikenal sebagai musuh bebuyutan suporter Persija Jakarta, hampir mustahil bisa masuk ke Jakarta dengan aman. Namun Polda Metro Jaya, dibantu Polda Jabar, sukses memujudkan hal tersebut.

Hal ini tentunya tidak hanya hasil dari pengamanan konvensional yang biasa dilakukan oleh banyak kepolisian dalam pengamanan sepak bola, tetapi juga berkat strategi pengamanan yang luas.

Unsur-unsur selain Samapta atau Paramilitary Policing (Brimob) dioptimalkan Polda Metro Jaya yang ketika itu dipimpin Tito Karnavian.

Unsur intelijen, misalnya, melakukan operasi cipta kondisi yang terlihat dengan bertebarannya spanduk perdamaian di seluruh Jakarta menjelang hari H kedatangan suporter Persib.

Akibatnya, masyarakat umum, dan juga suporter Persija, terbawa suasana Jakarta "welcome" terhadap suporter Persib.

Unsur cybercrime juga tidak tinggal diam. Mereka melakukan patroli siber. Termasuk menangkap mereka yang diduga melakukan provokasi di dunia maya.

Suka tidak suka, di era media sosial, patroli siber sudah seharusnya mendapat porsi serius dalam pengamanan laga sepak bola.

Langkah lain, pasukan reserse Polda Metro Jaya juga turun ke area stadion dipimpin langsung Dirkrimum kala itu, Krisna Mukti.

Selain itu, adanya pengamanan terbuka dan tertutup dari kepolisian di sekitar jalan tol atau jalur yang dilintasi suporter Persib menuju dan dari GBK.

Tentunya mempersempit upaya oknum-oknum suporter atau masyarakat yang ingin mengambil kesempatan melakukan kericuhan, terutama di luar stadion.

Unsur-unsur kepolisian di atas mendukung pengamanan konvensional seperti Samapta dan Brimob yang bisa fokus dalam ploting mereka di area stadion. Sehingga potensi kericuhan sudah teredam, bahkan saat para suporter belum sampai GBK.

Pola yang sama diulangi Polda Metro Jaya pada 3 April 2016, saat final Piala Bhayangkara yang mempertemukan Persib dengan Arema.

Berbeda dengan Final Piala Presiden 2015, pertandingan ini termasuk kategori rawan karena kedua tim memiliki suporter yang banyak dan militan. Semakin sulit karena selama sekian tahun hubungan suporter Persib dan Arema kurang akur.

Namun hal tersebut berhasil diatasi oleh Polda Metro Jaya. Sesuatu yang kala itu hampir mustahil terjadi, yakni suporter Persib dan suporter Arema dalam satu tribun, Polda Metro Jaya sukses mewujudkannya.

Maka sudah seharusnya pola pengamanan laga sepak bola yang dipakai Polda Metro Jaya dijadikan acuan pengamanan oleh kepolisian di wilayah lain.

Terutama oleh Polda Jatim. Apalagi Jawa Timur dikenal dengan provinsi sepak bola di mana klub-klubnya tersebar di liga 1-3. Tentunya pengamanan pertandingan sepak bola harus lebih serius.

Bayangkan jika nantinya Polda Jatim sukses menyatukan Bonek-Aremania, Ultras Gresik-Deltamania dan beberapa kelompok suporter lain yang selama ini dikenal bertikai untuk bersama di satu tribun dengan damai. Tentunya akan sangat indah.

Bukan dengan pengamanan konvensional berupa tindakan represif seperti penggunaan gas air mata atau kekerasan, yang ironisnya sebenarnya sudah dilarang digunakan oleh Polri.

https://regional.kompas.com/read/2023/11/20/07000091/polda-jatim-dan-pengamanan-sepak-bola

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke