Salin Artikel

Gunung Merbabu Bukan Cuma tentang Sabana Indah...

KOMPAS.com - Gunung selalu punya caranya sendiri dalam memberi pelajaran kepada para pendaki.

Rasanya itu kalimat yang pas untuk menggambarkan pendakian saya di Gunung Merbabu pada 29-30 September.

Pendakian Gunung Merbabu kali ini merupakan rangkaian acara Eiger Mountain and Jungle Course (MJC) 2023 yang berlangsung pada 24 September hingga 1 Oktober.

Sejatinya Merbabu merupakan gunung yang pernah saya daki pada 2017.

Namun, pendakian di Merbabu kali ini justru meninggalkan kesan yang paling mendalam, melebihi pendakian pertama saya.

Awalnya, saya ragu pendakian kali ini bakal menyenangkan. Betapa tidak, saya harus mendaki dalam kelompok yang berjumlah 20 orang.

Bagi yang sering mendaki gunung pasti paham betapa rumitnya mendaki dengan jumlah orang sebanyak itu.

Biasanya, saya pun hampir selalu mendaki dengan orang yang dikenal dan cukup dekat.

Ya, mendaki butuh kekompakan. Harus ada kesepahaman di semua kepala anggota tim.

Makanya, saya terbiasa mendaki dengan orang-orang yang saya kenal. Menyatukan isi kepala 20 orang yang belum kita kenal dekat tentu bukan perkara mudah.

“20 orang? Enggak kebayang gimana menyatukan isi kepala orang sebanyak itu,” batin saya.

Tantangan pertama dimulai. Sehari sebelum mendaki, tim kami yang kebagian mendaki Merbabu via jalur Wekas harus memilih ketua dan membentuk struktur organisasi.

Sebabnya, tema Eiger MJC 2023 adalah manajemen ekspedisi. Kami ditugaskan untuk mengatur pendakian secara rinci.

Dan benar saja, butuh waktu cukup lama untuk membentuk struktur organisasi.

Masing-masing anggota menyampaikan pendapatnya, tetapi hampir semua anggota tim menolak menjadi ketua.

Akhirnya, saya mencoba menengahi diskusi hingga struktur organisasi pendakian pun terbentuk.

Amir, pendaki asal Bali, terpilih sebagai ketua. Kami sukses melewati tantangan pertama.

Diskusi kami lanjutkan dengan membahas perlengkapan yang dibutuhkan dan menu makanan yang akan disantap selama pendakian dua hari semalam.

Di sini saya mulai merasakan ada klik dengan teman-teman sekelompok.

Beruntung pula sebagian besar dari kami adalah pendaki yang sudah malang melintang mendaki berbagai gunung di Indonesia. Persiapan pendakian pun kian matang.

Jumat (29/9/2023) pagi pukul 08.00 WIB, kami memulai pendakian dari Basecamp Wekas. Di kelompok kami tidak semuanya pendaki.

Ada yang belum pernah mendaki gunung. Ada pula yang baru mulai mendaki.

Maka, saat pendakian, kelompok kami terbagi dua. Sebanyak 13 orang berjalan mendahului sebagai tim advance.

Sisanya 7 orang di belakang berjalan di belakang. Saya termasuk yang di belakang menemani teman-teman yang berjalan lebih santai.

Ternyata, di rombongan belakang ada satu teman yang sedang menstruasi hari pertama. Tia namanya.

Dia juga baru pertama kali mendaki gunung. Kami pun beberapa kali berhenti agar Tia bisa istirahat sejenak saat kelelahan.

Kami beruntung, Tia ternyata pendaki yang tangguh. Meskipun baru pertama mendaki gunung dan sedang menstruasi, Tia berhasil menaklukkan dirinya sendiri dan terus melanjutkan pendakian.

Kami akhirnya sampai di camp site sebelum gelap, tepatnya sekitar pukul 15.30 WIB.

Aktivitas selanjutnya tentu mendirikan tenda dan memasak. Kami dibekali rendang siap masak dan sayur-sayuran untuk sop oleh panitia.

Lucunya, saat hendak memasak, kami lupa belum membeli bumbu sop saat mampir ke minimarket. Kami hanya dibekali bumbu nasi goreng oleh panitia.

Yemima, pendaki asal Jakarta, tiba-tiba menyampaikan ide gila: masak sayur sop pakai bumbu nasi goreng. Tentu saja saat mendengar itu kami saling beradu pandang karena ragu.

Tetapi, Yemima tetap teguh dengan idenya dan berhasil meyakinkan kami. Jadilah kami memasak sop pakai bumbu nasi goreng.

Di luar dugaan, ternyata rasanya enak. Saat mencobanya, kami semua pun tertawa saking tak percaya.

Tak lama setelah memasak, saya mencuci piring dan cooking set. Namun, tiba-tiba terdengar teriakan dari dalam tenda.

“Ada yang hipo (hipotermia),” ujar salah satu suara dari dalam tenda.

Sedikit panik, saya langsung berhenti mencuci piring dan masuk kembali ke tenda.

Ternyata ada dua teman kami, yakni Tia dan Rina, yang mengalami gejala hipotermia.

Saat saya melongok ke tenda, teman-teman di dalam tenda dengan sigap memasukkan mereka ke dalam kantong tidur berlapis emergency blanket.

Beruntung, camp site kami letaknya tak jauh dari camp site panitia.

Setelah berkomunikasi lewat handy talky, tak berselang lama panitia tiba di tenda kami untuk memeriksa keadaan Tia dan Rina.

Beruntung pula, Tia dan Rina masih merespons saat diajak bicara. Wajah kami semua yang tadinya panik berangsur lega. Kondisi Tia dan Rina pun berangsur membaik.

Akan tetapi, kekhawatiran masih menyelimuti tim kami. Sebabnya, di esok hari kami masih harus mendaki ke puncak Merbabu.

Setidaknya kamu harus mendaki sejak pukul 04.00 WIB agar bisa tiba di puncak Merbabu pukul 06.00 WIB sesuai target yang diberikan panitia.

Saya dan teman-teman tentu saja ragu Tia dan Rina bisa kuat menghadapi cuaca dan angin dingin yang menerpa saat mendaki ke puncak Merbabu.

Pukul 03.00 WIB, alarm kami semua berbunyi. Kami pun bangun bersiap untuk mendaki ke puncak. Namun, cuaca makin tak bersahabat.

Angin berembus sangat kencang. Bahkan, fly sheet yang kami pasang di depan tenda sebagian telah lepas.

Panitia pun dengan tegas melarang Tia dan Rina ikut mendaki ke puncak. Kami pun baru diberi izin mendaki ke puncak pukul 05.00 WIB.

Namun, saya dan Amir terpisah dari rombongan karena harus mengantar Tia dan Rani ke tenda panitia terlebih dahulu.

Jaraknya 15 menit dari tenda kami. Kami baru menyusul mendaki ke puncak sekitar pukul 06.20 WIB dan tiba di puncak pukul 07.20 WIB.

Di puncak Merbabu kami tak berlama-lama. Pukul 08.30 WIB kami bergantian turun. Karena sebanyak 80 orang turun melalui jalur Thekelan, kami berjalan menyusuri jalur bergantian.

Rombongan yang naik dari jalur Selo dan Suwanting sudah mengemas tenda mereka di dalam tas dan langsung turun ke basecamp Thekelan.

Sementara kami yang naik dari jalur Wekas dan Thekelan masih harus kembali ke camp site dan kembali mengemas tenda sembari memasak makan siang.

Rina, teman kami yang terkena gejala hipotermia, sudah turun duluan bersama sebagian panitia.

Sementara Tia yang juga terkena gejala hipotermia semalam turun bersama kami yang memulai perjalanan turun pada pukul 14.00 WIB.

Karena diburu waktu dan kondisi fisik Tia yang belum pulih sepenuhnya, saya membawakan tas dia saat turun.

Arul, Kahfi, dan Amir membantu mengikat tasnya ke tas saya. Kelompok kami paling terakhir turun.

Rombongan saya yang terdiri dari Kahfi, Amir, Alfiyan, Naufal, dan Wito paling terakhir tiba di basecamp Thekelan, yakni sekitar pukul 18.45 WIB. Kami semua tiba dengan selamat tanpa ada yang cedera.

Saya benar-benar tak menyangka bisa sekompak itu saat mendaki dengan orang-orang yang baru dikenal.

Selama pendakian, kami saling jaga satu sama lain. Ketika ada yang terkena gejala hipotermia, kami dengan sigap dan kompak menanganinya.

Kami juga saling berbagi canda menertawakan kebodohan masing-masing. Seolah-olah seperti sudah mengenal cukup lama satu sama lain.

Saat pulang saya berpamitan kepada mereka satu per satu. Rasanya benar-benar seperti berpisah dari saudara sendiri.

Merbabu kali ini datang tanpa direncanakan. Merbabu seolah seperti sengaja datang kembali kepada saya untuk mengajarkan hal terpenting dalam pendakian, yakni untuk percaya satu sama lain dengan rekan pendakian.

Menganggap mereka layaknya saudara sendiri yang harus dijaga.

Karena oleh-oleh terindah dari mendaki gunung bukan hanya pemandangannya, tetapi juga saudara sependakian yang kita dapat di sepanjang perjalanan.

https://regional.kompas.com/read/2023/10/23/141645878/gunung-merbabu-bukan-cuma-tentang-sabana-indah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke