Salin Artikel

Mengenal Tradisi Sekaten di Keraton Surakarta

KOMPAS.com - Sekaten merupakan salah satu tradisi tahunan yang rutin digelar di Keraton Surakarta.

Pelaksanaan Sekaten di Keraton Surakarta dilakukan untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad atau Maulid Nabi.

Tradisi ini juga menjadi salah satu perayaan yang dinanti-nanti oleh masyarakat Solo setiap tahunnya.

Dilansir dari laman surakarta.go.id, sejarah tradisi Sekaten di sangat berkaitan erat dengan sejarah penyebaran agama Islam di Pulau Jawa.

Hal ini karena Sekaten digunakan oleh Wali Songo sebagai strategi dakwah untuk menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa.

Sebelumnya, Sekaten adalah kelanjutan upacara tradisional yang dilaksanakan oleh raja-raja Jawa sejak zaman Majapahit.

Tradisi tersebut dilakukan sebagai bentuk upacara selamatan untuk menjaga keselamatan kerajaan.

Namun perlahan tradisi tersebut berubah dan digunakan sebagai sarana untuk penyebaran agama Islam khususnya di Jawa Tengah melalui media kesenian gamelan.

Gamelan dipilih karena saat itu masyarakat masyarakat Jawa menggemari kesenian Jawa tersebut.

Hingga akhirnya perayaan Maulid Nabi pada acara sekaten tidak lagi dilakukan menggunakan rebana, namun menggunakan gamelan sebagai pengiring ketika melantunkan shalawat.

Hal ini senada dengan penuturan KRT Haji Handipaningrat dalam karya “Perayaan Sekaten,” di mana istilah Sekaten memiliki akar pada kata Arab yaitu“Syahadatain,” yang mencerminkan arti kesaksian iman (syahadat).

Di Keraton Surakarta, rangkaian acara Sekaten dimulai dengan membunyikan gamelan yang sebelumnya telah diarak dari Kori Kamandungan Lor Keraton Surakarta ke bangsal halaman Masjid Agung Keraton.

Gamelan yang digunakan dalam tradisi Sekaten di Keraton Surakarta adalah gamelan Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari.

Gamelan tersebut akan diletakkan di bangsal Pradonggo, di mana Kyai Guntur Sari diletakkan di sisi selatan dan Kyai Guntur Madu diletakkan di sisi utara.

Gamelan Kyai Guntur Madu yang berada di Bangsal Pradangga sebelah selatan yang melambangkan syahadat tauhid. Sementara Gamelan Kyai Guntur Sari di sebelah utara dan melambangkan syahadat Rasul.

Selama satu minggu dari tanggal 5 hingga 12 Rabiul Awal, Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari ditabuh secara bergantian.

Gamelan pusaka ini berhenti ditabuh saat puncak acara yang ditandai dengan dihelatnya Grebeg Maulud.

Setelah itu acara akan dilanjutkan dengan Tumplak Wajik selama dua hari sebelum Grebeg Maulud diadakan.

Tumplak Wajik berupa kotekan atau permainan lagu dengan kentongan sebagai tanda bahwa pembuatan gunungan telah dimulai.

Puncak acara dalam tradisi Sekaten di Keraton Surakarta yaitu Grebeg Maulud yang diselenggarakan pada tanggal 12 Rabiul Awal.

Dua gunungan yang dikeluarkan oleh Keraton Surakarta pada acara Grebeg Maulud tersebut diberi nama gunungan kakung dan gunungan putri.

Di Kota Solo, penyelenggaraan Sekaten juga diramaikan oleh pasar malam yang dibuka di Alun-alun Utara dan Alun-alun Selatan Keraton Surakarta.

Pasar malam ini merupakan bagian dari upacara mangayubagya dalam rangka peringatan Sekaten.

Sumber:
surakarta.go.id - surakarta.go.id - surakarta.go.id - surakarta.go.id 
warisanbudaya.kemdikbud.go.id  
rri.co.id 
m.antaranews.com  

https://regional.kompas.com/read/2023/09/24/231201278/mengenal-tradisi-sekaten-di-keraton-surakarta

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke