Salin Artikel

Wayang Orang Ngesti Pandowo, Riwayatmu Kini

SEMARANG, KOMPAS.com - Riuh suara gamelan dan gending Jawa menggema di Gedung Ki Narto Sabdo, tepatnya di Kompleks Taman Budaya Raden Saleh (TBRS), Jalan Sriwijaya, Kecamatan Candisari, Kota Semarang, malam itu.

Puluhan pemain tampak sibuk mempersiapkan diri di belakang panggung. Sebagian orang menata busana yang dipakai, selebihnya menghias wajah dengan bedak dan cat warna putih, merah, dan hitam.

Di depan panggung pentas, setidaknya seperempat dari 100 kursi terisi pengunjung dari berbagai kalangan. Mulai dari anak-anak hingga orang dewasa.

Lampu gedung dipadamkan, suluk tembang Jawa mulai meliuk, dan gamelan mulai diketuk. Pertanda, pentas Wayang Orang (WO) Ngesti Pandowo dimulai.

Ketua WO Ngesti Pandowo, Djoko Mulyono menuturkan, Ngesti Pandowo merupakan sekelompok wayang orang yang didirikan oleh Ki Sastro Sabdo sejak 1937.

Tidak sendirian, Ki Sastro Sabdo memiliki empat orang pendamping untuk membangun Wayang Orang Ngesti Pandowo. Di antaranya Ki Narto Sabdo, Ki Darso Sabdo, Ki Kusni, dan Ki Sastro Soedirjo.

"Di bawah kepemimpinan lima orang itu, Ngesti Pandowo menjadi tenar di sekitar wilayah Jawa Timur. Saat itu pentasnya masih di Jatim," ucap Djoko saat ditemui Kompas.com, Sabtu (16/9/2023) malam.

Layaknya Wayang Orang Sriwedari dari Solo, Ngesti Pandowo juga memiliki cerita perjalanan yang mengukir sejarah.

Dulunya, Ngesti Pandowo melakukan pentas secara berpindah-pindah di pasar malam daerah Jawa Timur. Mulai dari Madiun, Surabaya, Kediri, Blitar, Nganjuk, hingga Malang.

"Setiap ada pasar malam di Jawa Timur, Ngesti Pandowo pasti main. Makanya dinamakan wayang orang klobot karena mainnya pindah-pindah tempat terus," tutur dia.

Lebih jelas Djoko mengatakan, perjalanan Ngesti Pandowo pada tahun 1937 mulai naik daun hingga 1945.

Namun, pada 1945 hingga 1950 sempat berhenti melakukan pentas, lantaran keadaan Indonesia sedang genting dengan penjajahan dan kemerdekaan Republik Indonesia (RI).

Lantas, pada 1950 Ngesti Pandowo memutuskan untuk pentas ke Jawa Tengah, tepatnya di pasar malam Stadion Diponegoro, Kota Semarang.

Seiring berjalannya waktu, kedatangan Ngesti Pandowo di Semarang mendapat perhatian dari sejumlah pihak, tak terkecuali Wali Kota Semarang, Hadi Subeno Sastrowardoyo.

"Dipanggil sama bapak Wali Kota, ditawarin gimana kalau pentasnya tidak pindah-pindah? Akhirnya kita difasilitasi Gedung Rakyat Indonesia Semarang (GRIS). Menetap di sana dari tahun 1954 sampai 1994, ya suka dukanya banyak," ucap Djoko.

Suka Duka Ngesti Pandowo

Kiprah Wayang Orang Ngesti Pandowo memang patut diacungi jempol. Pasalnya, Ngesti Pandowo kerap mendapat penghargaan dari berbagai pihak. Salah satunya, dari Presiden pertama Indonesia, Ir Soekarno.

Bahkan, pada masa itu Ngesti Pandowo seringkali diundang ke Istana Presiden untuk mengisi acara-acara penting, hingga menghibur tamu dari mancanegara.

"Waktu tahun 1962 kami dapat penghargaan Wijayakusuma dari Pak Soekarno. Dari situ, wayang orang Ngesti Pandowo bertambah giat dan lebih semangat," ucap Djoko.

Sejak tahun 1994 hingga kini, Ngesti Pandowo berpindah tempat di Gedung Ki Narto Sabdo, tepatnya di Kompleks Taman Budaya Raden Saleh (TBRS). Di gedung warna hijau itulah, mereka melakukan pentas setiap hari Sabtu malam.

Bukan tanpa alasan Ngesti Pandowo melakukan hal tersebut. Djoko mengaku, ingin tetap menghidupkan kesenian wayang orang dan menjaga kebudayaan asli Indonesia satu ini.

Meski harus tertatih-tatih, Djoko dan sekumpulan Wayang Orang Ngesti Pandowo akan tetap berkarya dengan giat.

"Dulu kita pernah dapat Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), tapi terakhir pada tahun 2014. Kemudian sejak tahun 2015 sampai sekarang, kita tidak dapat bantuan, jadi benar-benar mandiri," ungkap dia.

Di samping itu, Djoko mengatakan, bertahannya Wayang Orang Ngesti Pandowo hingga saat ini didukung kegiatan swadaya dari para pemain, penjualan tiket, ataupun undangan dari sejumlah acara.

"Betul-betul mandiri, hanya dari hasil penjualan tiket. Itupun belum bisa menutup kebutuhan. Kursi hanya 100, kalau penonton full dan beli tiket Rp 30 ribu, hasilnya Rp 3 juta. Padahal biaya produksi lebih dari itu," ungkap dia.

Meski demikian, Djoko mengaku, semangat dan jiwa para pemain Wayang Orang Ngesti Pandowo selalu mengembara.

Sehingga, mereka berusaha menghibur masyarakat dengan penampilan terbaik, meski tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh.

"Kami masih optimistis dan eksis, karena anak-anak wayang semangatnya luar biasa. Itulah modal utama. Semangatnya tinggi, jiwa seninya juga tinggi. Jadi tidak memandang honor," pungkas dia.

https://regional.kompas.com/read/2023/09/23/135317078/wayang-orang-ngesti-pandowo-riwayatmu-kini

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke