Salin Artikel

Tradisi Walima, Perayaan Maulid Nabi yang Jadi Magnet Wisata di Desa Bongo

GORONTALO, KOMPAS.com - Masyarakat Desa Bongo bergembira mendapat bantuan Rp 120 juta dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

Bachtiar Junus Ayahanda (sebutan untuk kepala desa di Gorontalo) yang menerima bantuan ini akan menyerahkan kepada kelompok sadar wisata (Pokdarwis) yang akan mengelolanya, termasuk untuk kegiatan kaum wanita.

"Bantuan yang kami terima kemarin akan digunakan untuk pengembangan usaha warga, termasuk kelompok ibu-ibu pengajian," kata Bachtiar, Selasa (12/9/2023).

Desa Bongo mendapat bantuan dana ini setelah meraih juara kedua nasional kategori Desa Wisata Berkembang pada Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2021.

Awalnya, Desa Bongo merupakan desa terpencil di tepi pantai, wilayah daratannya berupa perbukitan kapur tandus yang nyaris tidak bisa ditanami kecuali sedikit kelapa.

Warga mengandalkan kehidupan dari laut, menjadi nelayan tradisional.

Sebagai desa yang jauh dari ibu kota kabupaten, penduduk Bongo tidak banyak terpengaruh budaya luar.

Mereka adalah penganut Islam yang taat, setiap tahun mereka mengadakan walima, tradisi lama leluhur mereka. Walima adalah perayaan Maulid Nabi Muhammad.

"Pada perayaan walima ini, warga membuat kue dan makanan yang akan diantar ke masjid," ujar Bachtiar.

Ada 3 masjid di desa ini, ketiganya menyelenggarakan perayaan di waktu yang berbeda.

Tidak heran jika sepanjang Rabiul Awal bulan kelahiran Nabi, desa ini ramai dengan banyak kegiatan.

"Pesta perayaan Maulid Nabi di tiga masjid ini selalu ramai, warga desa tetangga akan datang ke masjid melantunkan pujian dan membaca sejarah kelahiran Nabi dalam bahasa Arab dan Gorontalo," ucap Bachtiar.

Puja-puji kepada Nabi ini disebut dikili, salah satu tradisi lisan Gorontalo yang masih lestari hingga kini.

Kecintaan pada tradisi inilah yang mengantarkan desa tandus ini menjuarai desa wisata tingkat nasional.

Warga Bongo membuktikan dengan pariwisata mereka mampu muncul di pentas nasional, secara perlahan mampu menguatkan ekonomi warga, memberi harapan di masa depan.

Desa hanya mengandalkan perayaan walima sebagai magnit wisata yang dilaksanakan setiap tahun sekali.


Peran wanita 

Dalam perayaan ini, setiap keluarga membawa kue dan makanan yang ditata dalam satu usungan khas ke masjid pada pagi hari.

Prosesi arak-arakan usungan kue dan makanan inilah yang kemudian menjadi parade walima.

Peran kaum wanita sangat penting dalam prosesi ini, sejak sepekan sebelum kegiatan merekalah yang membuat kue kering yang bisa disebut kolombengi.

Di dapur atau belakang rumah, para wanita sibuk mencetak kue dengan beragam rupa, seperti bentuk ikan.

Setiap keluarga memproduk banyak kue, tidak hanya untuk keperluan di bawa ke masjid saja, mereka juga menyisihkan untuk oleh-oleh keluarga atau siapa saja yang datang ke rumah untuk merayakan walima.

Kue kolombengi ini awalnya hanya dibuat untuk keperluan perayaan walima di masjid, namun saat ini sejumlah keluarga telah memproduksi kue sebagai oleh-oleh untuk wisatawan yang berkunjung di desa ini.

Bagi Yusni Maruf, salah seorang warga Bongo, wanita memiliki peran penting dalam pemajuan pariwisata di desanya.

Di tangan merekalah banyak keputusan harus diambil saat para lelaki berada di laut mencari ikan.

“Sejak dulu kami dituntut mampu menyelesaikan masalah dan terlibat dalam kegiatan desa,” ujar Yusni.

Yusni telah memiliki kedai suvenir dan makanan ringan untuk wisatawan, yang ia rintis dari usaha yang sederhana, yaitu menyediakan kopi dan kue kolombengi.

Seiring banyaknya wisatawan yang berkunjung kedainya semakin membesar dan ramai dikunjungi wisatawan terutama pada akhir pekan.

Ada 3 obyek wisata yang selalu ramai dikunjungi warga, wombohe walima yang berupa bangunan kayu berbentuk tolangga atau usungan kue walima, masjid walima emas yang berada di puncak bukit kapur dan Pantai Dulanga.

"Sekarang sudah banyak ibu-ibu yang memiliki usaha pembuatan kue kolombengi, melalui bantuan dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif ini kami mencoba menguatkan usaha mereka," kata Bachtiar.

Untuk membantu penguatan ekonomi warganya, Pemerintah Desa Bongo merangkul perguruan tinggi.

Melalui program kuliah kerja nyata (KKN) para perempuan Bongo mendapat bimbingan teknis dan pelatihan usaha skala rumah tangga.

Seperti yang dilakukan oleh Dita Alhabsyi, mahasiswa peserta KKN Universitas Negeri Gorontalo yang membangun posko di desa ini.

Ia bersama kelompoknya mendampingi pelaku usaha rumah tangga melalui berbagai kegiatan penguatan produk.

Setidaknya ada 3 produk kue yang menjadi andalan desa ini, kue ini adalah kolombengi yang sudah terkenal, sukade dan rodaroda.

Dita berharap mampu menyumbangkan tenaga dan fikirannya untuk kemajuan wisata desa Bongo.

Penguatan kelompok usaha melalui basis kaum wanita memang tepat, dunia kuliner di desa ini digerakkan oleh para perempuan tangguh.

Merekalah yang selama ini berperan penting dalam menyukseskan perayaan walima, melayani ribuan orang yang datang untuk mencari keberkahan di masjid desa.

Kolaborasi dengan perguruan tinggi ini juga memberi percepatan kemajuan desa.

Dana bantuan Rp 120 juta yang diterima Pokdarwis Bongo ini menjadi penyemangat kaum wanita.


Mereka bergembira saat Rizki Handayani Mustafa Deputi Bidang Industri dan Investasi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menyerahkan langsung di Kantor Desa Bongo.

Rizki mengatakan, bantuan ini diserahkan karena Desa Bongo masuk dalam 50 desa di ajang Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI).

"Kegiatan ini merupakan kolaborasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Desa Bongo terpilih karena di daerah ini miliki cerita yang luar biasa, memiliki keunikan dan ciri khas," kata Rizki.

Rizki menilai, kekayaan budaya desa ini sangat memikat. Tradisi lisan, pengetahuan warga, hingga kearifan lokal harus didokumentasikan.

"Setiap desa unik, keunikan ini menjadi daya tarik wisatawan," tutur Rizki.

Menurutnya pengetahuan warga desa terkait resep makanan tradisional yang dimiliki kaum wanita desa juga harus dituliskan.

"Orang sekarang berwisata ingin mencoba makanan tradisional, keistimewaan menu ini harus dipertahakankan dengan cara ditulis," tutur Rizki.

Dengan menuliskan kekayaan budaya ini akan menguatkan keunikan dan kekhasan desa Bongo. Ciri khas inilah yang menjadikan desa ini dikunjungi wisatawan.

https://regional.kompas.com/read/2023/09/12/095957478/tradisi-walima-perayaan-maulid-nabi-yang-jadi-magnet-wisata-di-desa-bongo

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke