Salin Artikel

Rempah dan Strata Kebangsawanan Eropa (Bagian 1)

HALMAHERA UTARA, KOMPAS.com - Keberadaan rempah di timur Indonesia mulai abad ke-15 bak harta karun, diburu dan diperebutkan oleh bangsa asing.

Bukan hanya sebagai pemuas hasrat lidah orang-orang Eropa, rempah pada masa itu juga menunjukkan strata kebangsawanan mereka.

Peneliti Cosmopolis Rempah Universitas Gadjah Mada (UGM) Sri Margana mengungkapkan, bangsawan Eropa pada era itu berlomba-lomba memamerkan rempah di meja makan mereka.

"Karena untuk mendapatkan barang dari timur itu butuh waktu setidaknya setahun. Rempah-rempah saat itu adalah barang elite, barang mahal," ungkap dosen Program Studi (Prodi) Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM tersebut di Kantor Wali Kota Halmahera Utara, Maluku Utara, Kamis (3/7/2023).

Bahkan, kata dia, harga rempah pada saat itu lebih mahal dibandingkan emas.

Perdagangan rempah

Sebelum kedatangan bangsa barat, rempah di Maluku, khususnya cengkeh dan pala, dianggap sekadar tanaman yang bisa dijumpai di setiap tempat.

"Setelah ditemukan, maka kemudian manfaat rempah mulai dikenal dan menjadi tujuan perdagangan. Jadi yang mulai perdagangan rempah itu justru orang-orang India, Timur Tengah, dan China," kata dia.

India dan Arab memperdagangkan rempah sampai ke Laut Mediterania di perbatasan Asia, Afrika dan Eropa.

Dari sanalah orang-orang Eropa pertama kali mulai mengenal rempah.

"Cuma waktu itu, di Mediterania perdagangan masih dimonopoli oleh bangsa Timur Tengah, harganya tinggi. Lalu mereka (bangsa Eropa) mencoba ingin tahu sumber aslinya di mana, orang India tak mau memberi tahu, dari situ muncul Ekspedisi Maritim Eropa untuk mecari rempah ini termasuk Portugis sekitar abad ke-15," katanya.

Portugis saat itu dieksklusi dari perdagangan Laut Mediterania sehingga mencari sendiri rute untuk mencapai daerah penghasil rempah.

"Maka kemudian ada Perjanjian Tordesillas karena ada persaingan dengan Spanyol," katanya.

"Di situlah akhirnya yang mencapai India pertama orang Portugis. Dari India diketahui wilayah penghasil pala (Kepulauan Maluku) mereka sebutnya East Hindia. Ada semua (rempah), dari Banda sampai ke Halmahera," katanya.

Pada abad ke-16, muncul kerajaan-kerajaan di Nusantara.

Di Kepulauan Maluku, muncul kesultanan seperti Tidore, Ternate, Jailolo. Saat itu, kerajaan Islam mulai mengontrol perdagangan rempah.

"Bangsa asing saling berkompetisi sehingga Belanda, Portugis, India, Inggris, Spanyol pada datang ke sini. Mereka kemudian melakukan pendekatan dengan membentuk koalisi dengan kerajaan-kerajaan," katanya.

Sri mengungkapkan, Portugis mulanya berkoalisi dengan Ternate lalu diambil alih oleh Belanda. Tidore berkoalisi dengan Inggris.

"Mereka saling bersaing memperebutkan wilayah," katanya.

Mengapa rempah diburu?

Sri Margana mengungkapkan, ada sejumlah alasan mengapa rempah menjadi objek perburuan bangsa Eropa.

Pada saat yang sama atau sekitar abad ke-15, terjadi wabah black death yang menewaskan ratusan orang di Eropa.

Rempah menjadi sebuah harapan bagi mereka.

"Justru rempah-rempah pertama di Eropa dipakai untuk kesehatan," katanya.

Rempah juga digunakan untuk memenuhi hasrat lidah bangsa Eropa.

"Dulu orang Eropa sebelum menemukan rempah kalau makan daging ya pakai garam. Setelah mereka menemukan rempah seperti kecanduan. Sehingga ekspedisi maritim Eropa abad ke-16 dan ke-17 itu banyak didorong hasrat memenuhi lidah orang Eropa dan juga gaya hidupnya," ujarnya.

Tak hanya itu, rempah ternyata juga menjadi simbol strata kebangsawanan Eropa. Tingkat kebangsawanan seseorang dianggap lebih tinggi jika mereka memiliki rempah yang tersaji di meja makan.

"Rempah juga dipakai sebagai wewangian, ritual, dan kegiatan religius," katanya.

https://regional.kompas.com/read/2023/08/03/061643778/rempah-dan-strata-kebangsawanan-eropa-bagian-1

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke