Salin Artikel

Sejarah Lokananta, Studio Musik Tertua di Indonesia yang Hidup Kembali

KOMPAS.com - Lokananta adalah sebuah studio musik tertua di Indonesia yang berdiri pada 29 Oktober 1956.

Tak hanya menjadi yang tertua, Lokananta juga menjadi studio musik terbesar di Indonesia dan masih aktif hingga saat ini.

Dilansir dari laman indonesia.go.id, nama Lokananta diambil dari bahasa Sansekerta yang berarti gamelan dari khayangan yang bersuara merdu.

Pendiri Lokananta adalah Kepala Jawatan Radio Republik Indonesia (RRI) Raden Maladi, bersama Oetojo Soemowidjojo, dan Raden Ngabehi Soegoto Soerjodipoero.

Lokasi Lokananta berada di Jalan Ahmad Yani No. 389, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta, Jawa Tengah.

Bangunan Lokananta berdiri di lahan seluas 21.150 meter meter persegi, dengan ruang rekaman terluas di Indonesia, yakni 14x31 meter atau hampir dua kali ukuran lapangan bulu tangkis.

Di dalam bangunan utama Lokananta, tersimpan 53.000 koleksi piringan hitam yang ditempatkan di dalam rak-rak besi di ruang berpendingin udara yang diatur khusus suhunya.

Selain itu, ada 5.670 master rekaman lagu daerah serta pidato-pidato pembakar semangat dari Presiden Soekarno, termasuk rekaman suara asli Soekarno ketika membacakan Proklamasi,

Ada pula master rekaman lagu kebangsaan Indonesia Raya yang pertama kali dinyanyikan, serta menjadi tempat perekaman ulang lagu Indonesia Raya tiga stanza, pada tahun 2017 silam.

Berdirinya Lokananta Berawal dari Tempat Merekam Materi Siaran

Sebagai studio musik pertama dan terbesar di Indonesia, pada awal pendiriannya Lokananta memiliki tugas untuk merekam materi siaran dalam bentuk piringan hitam untuk disiarkan oleh 26 stasiun RRI di seluruh Indonesia.

Gading Pramu Wijaya dalam buku Lokananta Arsip Sejarah Musik Indonesia (1958) menyebut bahwa pihak RRI mulai menjual produksi piringan hitam yang berupa lagu-lagu daerah kepada masyarakat umum dengan merek dagang Lokananta.

Koleksi Lokananta pada waktu itu antara lain musik gamelan dari Jawa, Bali, Sunda, musik Batak, bahkan lagu-lagu rakyat (folklore) yang tidak pernah diketahui siapa penciptanya.

Lokananta Berubah Menjadi Label Rekaman

Selanjutnya Lokananta berubah status menjadi perusahaan negara dengan nama baru PN Lokananta setelah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah nomor 215 tahun 1961.

Bidang usahanya pun diperluas menjadi label rekaman yang berfokus pada karya lagu daerah dan pertunjukan seni serta penerbitan buku dan majalah.

Setahun kemudian, Lokananta memulai kegiatan rekaman untuk para musisi di tanah air ketika Indonesia menjadi penyelenggara Asian Games ke-IV, tepatnya pada 15 Agustus 1962.

Saat itu sejumlah lagu daerah seperti ‘Rasa Sayange’ yang dinyanyikan musisi lokal dan direkam ke dalam piringan hitam, lalu dibagikan kepada kontingen Asian Games 1962 sebagai cinderamata.

Lokananta Mulai Memproduksi Piringan Hitam

Selepas itu, Lokananta mulai memproduksi piringan hitam dari musisi terkenal, seperti Waldjinah, Titiek Puspa, Bing Slamet, Sam Saimun, dan maestro jazz Buby Chen.

Tak pelak, Lokananta disebut sebagai “Titik Nol” musik Indonesia, karena telah menerbitkan berbagai rekaman dari legenda musik di tanah air.

Waldjinah tercatat sebagai musisi pertama yang merekam suaranya di Lokananta, pada 1959, saat membawakan lagu Kembang Katjang karya Gesang Martohartono alias Gesang, maestro legendaris yang menciptakan lagu Bengawan Solo.

Rekaman perdana di Lokananta itu sebagai hadiah yang ia terima setelah memenangkan kontes menyanyi "Ratu Kembang Katjang".

Lokananta juga ikut merekam Bengawan Solo dan beberapa lagu ciptaan Gesang lainnya seperti Jembatan Merah dan Sapu Tangan.

Masa Kejayaan Lokananta

Pasang surut Lokananta mengikuti perkembangan industri musik di tanah air, seperti pada tahun 1972 saat produksi audio mulai beralih dari piringan hitam ke kaset.

Sehingga sejak 1983, Lokananta membentuk unit penggandaan film dalam format pita magnetik Betamax dan VHS.

Pada dekade 1970-an hingga 1980-an, Lokananta sempat meraih masa kejayaan sebagai sentra produksi rekaman audio kaset dan penggandaan film terbesar di Indonesia.

Heningnya Lokananta dan Upaya Revitalisasi

Keheningan di Lokananta berawal di tahun 1999 saat semakin banyak rekaman audio dilakukan dalam format CD, sehingga rekaman dalam bentuk kaset mulai ditinggalkan. Beberapa tahun berikutnya, Lokananta seakan terbengkalai.

Pada akhirnya, di tahun 2004 Lokananta diambil alih Perum Percetakan Negara RI dan berganti nama menjadi PNRI Cabang Surakarta-Lokananta.

Untuk melindungi aset berharga yang bernilai sejarah, Pemerintah Kota Surakarta telah menetapkan Lokananta sebagai cagar budaya melalui Surat Keputusan Kepala Dinas Tata Ruang Kota nomor 646/40/I/2014.

Upaya revitalisasi Lokananta juga dilakukan, hingga pada Hari Sabtu, 3 Juni 2023 Lokananta kembali dibuka diresmikan langsung oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir.

Dengan wajah baru Lokananta, diharapkan tempat ini tak hanya menjadi destinasi wisata sejarah, namun juga dapat berfungsi sebagai sentra kreativitas bagi para musisi, seniman, serta Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).

Sumber:
indonesia.go.id  
surakarta.go.id  
jatengprov.go.id  

https://regional.kompas.com/read/2023/07/15/231804578/sejarah-lokananta-studio-musik-tertua-di-indonesia-yang-hidup-kembali

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke