Salin Artikel

Pakar: Pemerintah Perlu Longgarkan Izin PLTS Atap di Perkotaan

SEMARANG, KOMPAS.com - Pemerintah Provinsi Jawa Tengah masih harus mengajar target bauran energi baru terbarukan (EBT) pada 2025 sampai 21,82 persen.

Padahal, di 2022 Jateng masih mencapai 15,76 persen bauran EBT.

Untuk mendongkrak selisih sebesar lima persen itu, Pakar Energi Universitas Diponegoro, Jaka Windarta menilai, pemerintah mesti memberi kelonggaran perizinan PLTS Atap di perkotaan agar masyarakat tertarik untuk memasang.

“Jadi, target itu bisa dibantu masyarakat kota dengan menggunakan PLTS Atap. Tapi, di satu sisi, kebijakan PLN juga ada kendala perizinananya. Artinya, ada batasan-batasan. Kalau dulu tidak ada batasan. Tanggal mengajukan, memenuhi syarat, berapa KwH, tapi lama-lama PLN membatasi,” tutur Jaka, saat ditemui di kantornya, pada Minggu (9/7/2023).

Padahal, Ketua Prodi Magister Energi Pascasarjana Undip itu menilai, PLTS Atap dapat menjadi solusi transisi energi di wilayah perkotaan di Jateng.

Sebab, tenaga surya menjadi potensi EBT terbesar yang dimiliki warga kota.

Lain halnya dengan warga desa yang memiliki berbagai potensi.

Mulai dari biogas dari kotoran sapi, mikro hidro dari energi air, hingga gas rawa.

“Nah, kalau di kota-kota besar yang paling mudah dipakai langsung EBT-nya itu adalah energi matahari, nantinya kalau sudah dipasang, kita sebut PLTS atap atau rooftop. Itu paling mudah, dua hari dipasang itu langsung bisa dipakai,” beber dia.

Di samping itu, Joko menyebut pemasangan atau instalasi PLTS atap saat ini terbilang murah. Lalu penggunaannya pun individu bukan komunal.

Sekarang sudah banyak tawaran memasang PLTS atap dengan on grid. Sistem on grid ini hanya bisa bekerja mengolah energi listrik dan langsung dipakai pada siang hari, karena tidak pakai baterai.

Sementara sistem off grid atau baterai masih jarang digunakan karena karena relatif mahal. Sehingga masyarakat memilih sistem on grid dengan tujuan mengurangi tagihan biaya listrik dari PLN.

“Sebenarnya PLTS atap makin ke sini harganya makin murah. Dari segi harga sekarang bisa bersaing dengan listrik PLN. Apalagi untuk industri. Cuma permasalahannya regulasinya. Karena sekarang PLN masih surplus listrik,” kata dia.

Joko pun telah memasang sejumlah unit PLTS atap on grid di rumahnya. Hanya saja untuk memasang dengan sistem on grid harus mengurus perizinan ke PLN.

Akan tetapi, regulasinya saat ini tidak mengizinkan pengguna PLTS atap atau industri memasang PLTS atap 100 persen untuk memenuhi kebutuhan listrik.


“Misalnya industri tekstil, alfamart, itu kan listriknya banyak. Dia mungkin pelanggan 25 KVa, dia mungkin agak sulit memasang PLTS dengan kapasitas 25 Kva. Karena sekarang dibatasi sekitar 20 persen dari kebutuhan,” tutur dia.

Bila mendapat persetujuan PLN untuk memasang PLTS atap, sisa listrik yang dihasilkan pengguna dapat dibeli PLN dengan harga lebih murah dari listrik PLN dengan sistem ekspo impor.

Namun, PLN berharap agar tidak ada ekspor, lantaran listrik mereka masih surplus.

“Ini memang ada regulasi yang terbaru, jumlah itu tergantung kebijakan di daerah masing-masing. Mungkin kalau di daerah yang suplai listrik PLN tidak banyak, misalnya di Sumatera, mungkin PLTS atap bisa lebih dari 20 persen dari jumlah langganan ke PLN. Tapi, saya kira itu tidak berlaku di Jawa,” ujar dia.

Dia mendorong agar masyarakat dibebaskan memasang PLTS atap sampai target EBT naik beberapa persen.

Bila sudah banyak pengguna dan kontribusi pada bauran EBT di Jateng, PLN baru mengatur hal itu.

“Biar orang mau mencoba dulu. Jangan dibatasi 20 persen, tapi misalnya 60 persen. Ini belum apa-apa sudah dibatasi,” ujar dia.

“Pemerintah jangan sampai PLN dirugikan sekali, tapi target EBT juga bisa tercapai. Jadi, bagaimana pemerintah mencari regulasi yang tepat,” ujar dia.

Dengan memasang PLTS atap on grid, masyarakat dapat modal kembali dalam jangka waktu 6-8 tahun.

Sedangkan untuk off grid atau pakai baterai, sampai 17 tahun. Hal itu tidak menarik masyarakat untuk memasang karena terlalu mahal.

“Off grid tidak perlu izin sama sekali ke PLN. On grid harus izin, karena PLTS tidak dapat bekerja kalau tidak terhubung ke PLN. Repotnya di situ,” kata dia.

Hanya dengan Rp 10 juta, masyarakat dapat menghasilkan listrik 1.000 watt dari penggunaan PLTS atap on grid.

“Yang jadi persaingan, sekarang PLTS untuk industri besar enggak perlu modal, pabrik tidak perlu investasi. Banyak yang mau masang dengan harga di bawah PLN. Nanti kalau sudah 15 tahun (pamakaian) PLTS diberikan ke industrinya karena dalam 6-7 tahun sudah balik modal,” pungkas dia.

https://regional.kompas.com/read/2023/07/09/123825278/pakar-pemerintah-perlu-longgarkan-izin-plts-atap-di-perkotaan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke