Salin Artikel

Mahasiswa Jadi Buruh Saat Magang di Jepang, Bekerja 14 Jam Sehari Tanpa Libur, Gaji Juga Dipotong

Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Hariyanto mengatakan, kasus dugaan TPPO mahasiswa magang di Sumatera Barat (Sumbar) "bukanlah yang pertama terjadi" di Indonesia.

“Kasus-kasus dengan modus dan pola seperti ini sudah banyak terjadi, tidak hanya yang di Sumbar, tapi juga dulu pernah terjadi di Malang, Yogyakarta, dan wilayah lain,” kata Hariyanto kepada wartawan BBC News Indonesia, Kamis (29/06).

Hariyanto mengatakan, dugaan praktik TPPO dalam pemagangan muncul salah satunya disebabkan oleh tawaran gaji yang besar dari luar negeri di tengah sulitnya mencari pekerjaan di dalam negeri.

“Sehingga banyak yang tergiur untuk magang padahal melalui proses yang non-prosedural,” katanya.

Pengawasan yang lemah juga disebutnya sebagai faktor lainnya.

Sejauh ini, Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri telah menetapkan dua mantan direktur politeknik di Payakumbuh itu menjadi tersangka TPPO, Selasa (27/06) lalu.

Mereka diduga menjadikan mahasiswa "sebagai buruh di Jepang saat magang".

Sementara itu, Direktur Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh John Nefri mengatakan, proses magang mahasiswa ke Jepang telah melalui prosedur yang resmi dan bukan ilegal.

Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sumbar Nizam Ul Muluk mengatakan, dugaan TPPO dan proses magang mahasiswa ke Jepang tidak berada di dalam kewenangan instansinya.

“Untuk pengawasan, saya tidak bisa mengawasi karena di luar prosedur ketenagakerjaan. Mungkin ada yang bermain pihak swasta atau imigrasi, kan bisa jadi,” katanya.

Mereka adalah G, direktur politeknik pada periode 2013-2018, dan EH, direktur periode 2018-2022.

“Selama satu tahun magang, korban melaksanakan pekerjaan bukan layaknya magang, akan tetapi bekerja seperti buruh,” kata Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Brigjen Pol Djuhandani Rahardjo Puro di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (27/06).

Praktik TPPO ini disebut diduga telah berlangsung sejak tahun 2012.

Polisi menjerat para tersangka dengan Pasal 4 dan Pasal 11 UU Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO dengan ancaman hukuman penjara maksimal 15 tahun dan denda paling banyak Rp 600 juta.

Djuhandani menjelaskan, para mahasiswa tersebut bekerja selama 14 jam setiap hari, tanpa ada hari libur, dan hanya diberikan waktu makan maksimal 15 menit.

Setiap mahasiswa itu diberikan upah sekitar Rp5 juta per bulan, namun tambah Djuhandani, gaji itu kemudian diberikan Rp2 juta per bulan ke kampus sebagai dana kontribusi.

Djuhandani mengatakan, dugaan TPPO itu terbongkar ketika dua orang mahasiswa yang menjadi korban, yaitu ZA dan FY melapor dugaan ‘kerja sebagai buruh’ ke KBRI Tokyo, Jepang.

Selain dua orang itu, terdapat sembilan mahasiswa lain yang juga menjadi korban.

Para mahasiswa itu, kata Djuhandani, diberangkatkan dengan menggunakan visa pelajar selama satu tahun. Kemudian, pihak perusahaan Jepang memperpanjangnya menjadi visa kerja selama enam bulan.

Para korban kemudian melaporkan hal itu ke kampusnya dan meminta untuk dipulangkan.

Namun, terduga pelaku mengancam mahasiswa itu, "apabila kerja sama politeknik dengan pihak perusahaan Jepang rusak, maka korban akan di-drop out (DO)," katanya.

Dari hasil penyidikan, Djuhandani menjelaskan, pihak politeknik tidak memiliki izin proses pemagangan di luar negeri, tidak memiliki kurikulum pemagangan di luar negeri, dan juga menjalin kerja sama dengan perusahaan Jepang tanpa diketahui oleh KBRI.

Selain mendapatkan keuntungan dana kontribusi dari para mahasiswa magang, kata Djuhandi, politeknik juga mendapatkan keuntungan yaitu, dua program studi mereka mendapat akreditasi dari B ke A.

Polisi terus mendalami kasus tersebut untuk melihat dugaan adanya keterlibatan pihak lain.

John menceritakan, kasus tersebut kira-kira terjadi pada 2020-2021 saat ia belum menjabat sebagai direktur politeknik.

"Kalau tidak salah itu 2020-2021 saat Covid-19 ya. Saya waktu itu belum menjadi direktur jadi belum tahu persis," kata John seperti yang dikutip dari Kompas.com.

John mengatakan, kini program magang ke Jepang telah dihentikan sejak ia menjabat.

Walau demikian, dia menambahkan bahwa program magang tersebut telah melalui prosedur resmi dan seleksi, sehingga belum mengetahui mengapa program itu masuk dalam dugaan TPPO.

"Jadi magangnya resmi. Ada seleksinya di kampus, bukan ilegal… Ini yang sedang kita telusuri secara internal. Tapi kita hormati proses hukum yang sedang berlangsung di kepolisian," kata John.

Bukan kasus yang pertama

Ketua Umum SBMI Hariyanto mengatakan, kasus dugaan TPPO mahasiswa di Sumbar bukanlah kasus pemagangan yang pertama terjadi di Indonesia.

“Kasus-kasus dengan modus dan pola seperti ini sudah banyak terjadi, tidak hanya yang di Sumbar, tapi juga dulu pernah terjadi di Malang, Yogyakarta, dan wilayah lain,” kata Hariyanto.

Menurut Hariyanto, dugaan praktik TPPO dalam pemagangan muncul salah satunya disebabkan oleh besarnya permintaan masyarakat untuk bekerja di luar negeri, dengan iming-iming gaji yang besar.

Di tambah lagi, katanya, banyak pelajar yang telah lulus mengalami kesulitan untuk mencari pekerjaan di dalam negeri.

“Ada gap antara iming-iming gaji besar di luar negeri dan sulitnya mencari kerja di dalam negeri sehingga banyak yang tergiur untuk magang padahal melalui proses yang non-prosedural,” kata Hariyanto.

Senada, seorang yang pernah magang bekerja di Jepang, Denny Cahyadi mengatakan, alasannya merantau ke luar negeri tidak lepas dari sulitnya mencari pekerjaan di dalam negeri.

“Saya melihat banyak mahasiswa yang telah lulus tapi sulit cari kerja. Makanya berpikir cari jalan keluar dengan berbagai macam cari.

"Ini dilematis, tapi sebenarnya tuntutan hidup saja,” kata pria yang bekerja di pengelolaan plat logam saat di Jepang kepada wartawan Halbert Chaniago, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia dari Kota Padang.

Denny yang kini telah tinggal di Padang mengatakan, melalui proses perekrutan magang secara resmi melalui dinas tenaga kerja, dan menjalani pelatihan di lembaga pelatihan kerja (LPK).

“Setelah lulus proses dan dapat seluruh surat-surat izin, di Jepang di-training lagi satu bulan. Lalu bekerja. Bahkan ada yang di Jepang tidak lolos medical check-up. Prosesnya ketat tapi fasilitasnya sangat baik,” kata Denny.

“Kemenaker sebagai leading sector yang harus bertanggung jawab dan perpanjangan tangannya adalah disnaker setempat,” kata Hariyanto.

“Bagaimana pengawasan di politeknik kok sampai bisa mereka [politeknik] memberangkatkan? Ini kalau dibuka akan melebar dan ketemu benang masalahnya,” kata Hariyanto.

Hariyanto mengatakan, proses pengembangan bisa dilakukan dengan beberapa cara. Pertama adalah dengan mencari tahu apakah politeknik memiliki kerja sama dengan disnaker setempat dalam mengirimkan mahasiswanya magang di luar negeri.

“Itu dapat dilihat dari adakah surat lamaran atau permohonan dari politeknik ke disnaker terkait pemagangan. Jika tidak ada berarti ilegal,” kata Hariyanto.

“Kemudian, kalau politeknik itu diberikan kewenangan penempatan, perlu dipertanyakan siapa yang memberikan izin, apa pola kerja samanya, mekanisme pengawasan apa, MoU nya apa, siapa yang mengawasi politeknik ini kok bisa sampai terjadi penangkapan? Ini yang harus diungkap,” katanya.

Kedua, apakah ada surat-surat keterangan dari institusi pemerintah lain, seperti dari rukun tetangga (RT) hingga kelurahan terkait dengan aktivitas pemagangan tersebut.

“Ini akan mengurai celah-celah masalah hingga pihak-pihak yang bertanggung jawab. Ini juga jadi momentum tepat membongkar, melakukan evaluasi dan perbaikan atas praktik pemagangan ke luar negeri yang rawan terjadinya penyimpangan dan perbudakan,” katanya.

Untuk itulah Hariyanto berharap agar Kemenaker segera turun tangan untuk mengusut apa yang terjadi di politeknik itu dan juga mengevaluasi proses pemagangan ke luar negeri guna mencegah terjadinya kembali praktik serupa.

“Kalau mahasiswa itu bukan tenaga kerja, itu studi. Visa belajar tidak ada kaitan dengan Disnaker.”

“Pernah ada politeknik di Padang meminta rekomendasi ke saya untuk magang mahasiswa di Eropa, tidak saya kasih karena dalam UU Ketenagakerjaan itu tidak ada, jadi kalau mahasiswa magang itu tidak ada dalam UU,” kata Nizam kepada wartawan Halbert Chaniago.

Melihat yang terjadi di kasus tersebut, Nizam mengatakan, mungkin ada keterlibatan pihak-pihak lain yang meloloskan para mahasiswa itu sehingga bisa ke Jepang.

“Untuk pengawasan itu, saya tidak bisa mengawasi karena di luar prosedur ketenagakerjaan. Mungkin ada yang bermain pihak swasta atau imigrasi, kan bisa jadi,” kata Nizam.

Senada, Kepala BP2MI Sumatra Barat Bayu Aryadhi mengatakan pemagangan di politeknik itu bukan di ranah kewenangan BP2MI.

“Jadi pemagangan itu di bawah Kemenaker, sesuai aturan berlaku. Artinya selama ini pemagangan di bawah dinas ketenagakerjaan. Kalau kami, BP2MI, hanya untuk yang bekerja di luar negeri,” kata Bayu.

Sementara itu, Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) belum memberikan tanggapan terkait dengan dugaan TPPO yang terjadi di politeknik tersebut, hingga berita ini diturunkan.

Pandangan Kemendikbud

Namun dalam pernyataan sebelumnya, terkait dengan dugaan TPPO yang menimpa mahasiswa di politeknik itu, Inspektur Investigasi Fuad Wiyono dari Itjen Kemendikbud mengatakan bahwa Kemendikbudristek perlu untuk membuat regulasi tentang permagangan siswa/mahasiswa ke luar negeri.

Dikutip dari situs Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Fuad mengatakan, sebelum regulasi itu ada, "sebaiknya program magang ke luar negeri diberhentikan terlebih dahulu karena payung hukumnya hanya diatur melalui Permenaker Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tata Cara Perizinan Dan Penyelenggaraan Pemagangan Di Luar Negeri".

Senada, Direktur Tindak Pidana Terorisme Lintas Negara Kejaksaan Agung Idianto menyatakan mendukung apabila program magang dihentikan sementara jika belum ada regulasi yang kuat. Apalagi, banyak kasus TPPO yang tidak tersentuh hukum karena adanya ketidaktahuan, intervensi dari pihak lain, serta adanya tekanan-tekanan.

“Ke depannya dalam penindakan diupayakan agar perusahaan dari program magang ditindaklanjuti untuk dapat dituntut. Mengingat, pada kasus-kasus sebelumnya tersangka utamanya kebanyakan adalah perekrut. Hal ini diperlukan agar dapat menyelesaikan permasalahan hingga ke akar,” kata Idianto, seperti dikutip dari situs Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.

Selain Politeknik Pertanian Payakumbuh, dugaan TPPO juga diduga menimpa siswa sekolah menegah kejuruan (SMK) di Depok yang menjadi peserta program training industri Korea.

SBMI setidaknya telah menerima laporan lebih dari 30 orang yang menjadi korban praktik lowongan kerja non-prosedural ke luar negeri di sepanjang tahun 2023.

https://regional.kompas.com/read/2023/06/30/113300078/mahasiswa-jadi-buruh-saat-magang-di-jepang-bekerja-14-jam-sehari-tanpa

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke