Salin Artikel

Memutus Lingkaran Setan "Maternal Filicide"

Seperti diberitakan Kompas.com (17/06/2023), seorang ibu di Jember membunuh anak pertama dan anak ketiganya (7 tahun dan 8 bulan). Setelah membunuh kedua anaknya, sang ibu lalu bunuh diri dengan cara gantung diri di rumahnya.

Mari kita menengok kasus sebelumnya. Kompas.com (11/05/2023), memberitakan seorang ibu di Rembang membunuh bayinya yang baru lahir.

Sang ibu kemudian dirawat di rumah sakit untuk mendapatkan observasi atas dugaan gangguan jiwa.

Namun, belum sempat mendapatkan pengobatan, hidupnya berakhir tragis. Ibu muda tersebut bunuh diri dengan menjerat lehernya di kamar mandi rumah sakit tempat ia dirawat.

Kasus pembunuhan anak oleh ibunya sendiri termasuk dalam kategori kekerasan rumah tangga yang berujung kematian.

Namun, dalam kedua kasus ini, sang ibu juga melakukan bunuh diri. Ibu sebagai perempuan menjadi pelaku kekerasan, sekaligus korban kekerasan dalam rumah tangga.

Maternal Filicide

Dalam artikelnya, Resnick (2007) memunculkan istilah maternal filicide. Maternal filicide memiliki definisi pembunuhan anak yang dilakukan oleh ibunya. Sedangkan, sang ibu yang membunuh anaknya disebut dengan istilah filicidal mother.

Dari hasil tinjauan Resnick terhadap literatur bidang psikiatri dunia, filicidal mother (ibu yang membunuh anaknya) memiliki kecenderungan depresi, pernah melakukan terapi kesehatan mental sebelumnya dan yang paling mengkhawatirkan adalah adanya pikiran untuk mencoba bunuh diri.

Resnick juga mengategorikan motif seorang ibu untuk membunuh anaknya. Ia memaparkan lima motif yang melatarbelakangi seorang ibu membunuh anaknya sendiri.

Pertama, altruistic filicide, yaitu seorang ibu yang membunuh karena ingin menyelamatkan anaknya dari ‘dunia yang kejam’, demi kebaikan anaknya dan atas nama cinta terhadap anaknya.

Kedua, acutely psychotic filicide, yaitu ibu yang berhalusinasi, yang membunuh tanpa motif jelas atau membunuh karena mendengar ‘perintah’.

Ketiga, fatal maltreatment filicide, yaitu ibu membunuh karena akibat kekerasan yang dilakukan pada anak secara simultan sehingga menyebabkan kematian tak terduga pada anak.

Keempat, unwanted child filicide, yaitu ibu membunuh karena menganggap anak sebagai halangan.

Terakhir, kelima, spouse revenge filicide yang disebut Resnick sebagai motif paling jarang terjadi, yaitu ibu membunuh anaknya untuk menyakiti perasaan ayah anak tersebut.

Kembali pada kasus ibu yang membunuh anaknya di Jember dan di Rembang, keduanya diberitakan memiliki gangguan jiwa berupa depresi.

Seperti yang dijelaskan oleh dr. Frijanto, Sp. KJ, MH dalam laman Kementerian Kesehatan, Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan, contoh gejala depresi, yaitu adanya perasaan merasa tidak berguna, kehilangan harapan dan putus asa yang akan mengarah pada risiko bunuh diri.

Namun, karena sang ibu telah meninggal dunia, sulit untuk mengategorikan motif membunuh mereka dengan motif versi Resnick.

Andaikan sang Ibu masih hidup dan tidak melakukan bunuh diri, kita bisa mendengar permasalahan apa yang dirasakan oleh kedua ibu selama ini sehingga tega untuk membunuh anak tercintanya.

Ibu yang mengalami kekerasan berlapis

Kasus maternal filicide ibarat sebuah paradoks. Bayangkan, seorang ibu yang secara alami memiliki jiwa keibuan (motherhood), memiliki tugas reproduksi untuk melahirkan anak, membesarkan dan mendidik anak justru malah melukai, bahkan mencabut nyawa anaknya sendiri.

Ibu tidak menjadi ‘guardian angel (malaikat penjaga)’ melainkan ‘malaikat pencabut nyawa’.

Namun, belajar dari kasus pembunuhan anak yang dilakukan oleh ibu kandungnya sendiri serta bunuh diri yang dilakukan, ada hal mendesak yang harus menjadi perhatian bersama, yaitu ibu yang mengalami kekerasan berlapis.

Kekerasan pertama yang dialami ibu adalah terbatasnya pengetahuan tentang kondisi kejiwaannya sendiri.

Seharusnya, penderita depresi harus berobat secara teratur dan mendapatkan kepastian sembuh berdasarkan observasi dari dokter penyakit jiwa.

Jika penyakit depresi tersebut masih berlanjut, maka sang ibu selamanya tidak akan bisa membentuk relasi yang sehat dengan anak dan pasangan.

Bahkan, justru sebaliknya, kondisi sang ibu bisa membahayakan jiwa orang-orang terdekatnya, termasuk dirinya sendiri.

Kekerasan kedua adalah kekerasan struktural. Sang ibu yang merupakan pasien gangguan jiwa tidak mendapatkan akses pendampingan atau konseling kejiwaan dari unit kesehatan terdekat.

Pasien dengan gangguan jiwa juga tidak diperkenalkan dengan komunitas yang bisa membantu mereka untuk berinteraksi dengan orang yang memiliki permasalahan sama. Dengan begitu, mereka tidak akan merasa sendirian dan tidak mudah untuk putus asa.

Kekerasan ketiga adalah himpitan ekonomi dan kemiskinan. Tempat tinggal yang tidak memadai dan keuangan terbatas semakin memperburuk kondisi kejiwaan sang ibu, apalagi jika sang ibu memiliki banyak anak yang harus diperhatikan dan dibiayai setiap saat.

Kemiskinan dan himpitan ekonomi akhirnya akan berkorelasi dengan kekerasan dalam rumah tangga. Sungguh, ini adalah lingkaran setan yang tidak ada ujungnya.

Memutus lingkaran setan Maternal Filicide

Maternal filicide menjadi tanggung jawab kita semua. Bagi pihak keluarga yang memiliki anggota keluarga seorang perempuan dan ibu yang mengalami gejala depresi, wajib untuk menjadi support system yang baik.

Tetap tawarkan bantuan untuk merawat sang anak jika sang ibu tampak menunjukkan gejala kesehatan mental yang tidak stabil.

Peran suami menjadi sangat krusial karena suami menjadi orang terdekat dari sang ibu yang seharusnya bisa memantau dan membantu penyembuhan mental sang ibu.

Selanjutnya, kenalkan ibu yang mengalami masalah gangguan jiwa dengan komunitas peduli kesehatan jiwa yang bisa memberikan pendampingan dan menjadi tempat curhat.

Seperti Get Happy, komunitas ini memberikan ‘ruang’ bagi orang-orang yang sedang mengalami depresi untuk menyuarakan masalahnya. Komunitas ini bisa diakses melalui situs mereka maupun media sosial.

Terakhir, permasalahan maternal filicide harus menjadi bagian dari program pemerintah pusat yang wajib disosialiasikan di berbagai lapisan masyarakat, dengan bantuan pemerintah daerah.

Tidak hanya kampanye melalui media sosial lembaga terkait atau dengan bantuan influencer, kampanye anti-maternal filicide ini juga harus diturunkan di kampung-kampung dengan bantuan perangkat desa (kepala desa, RT dan RW). No more maternal filicide. Semoga.

https://regional.kompas.com/read/2023/06/30/10100361/memutus-lingkaran-setan-maternal-filicide

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke