Salin Artikel

Pencabulan 41 Santriwati di 2 Pesantren NTB, Korban Trauma dan Sebagian Pergi ke Luar Pulau

Sejumlah saksi termasuk saksi korban telah menjalani pemeriksaan sejak Selasa (16/5/2023).

Saksi korban didampingi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik dan Lembaga Studi dan Bantuan Hukum (LSBH) NTB sebagai pendamping dan kuasa hukum mereka.

Kepada Kompas.com, Ketua LBH Apik NTB, Nuryanti Dewi, Sabtu (20/5/2023), mengatakan pihaknya telah mendampingi korban dan keluarganya serta mengawal kasus tersebut sampai pelaku mendapatkan hukuman maksimal.

"Yang utama kami lakukan adalah mendampingi korban dan keluarganya, karena selain korban trauma dan merasa takut, korban dan keluarganya menghadapi intimidasi, itu yang harus kami jaga agar mereka tetap dalam perlindungan," kata Yanti.

Yanti juga menjelaskan, tersangka HSN melakukan kekerasan seksual pada santriwatinya sejak 2016 hingga 2023 atau selama 7 tahun.

Korban mulai berani melapor pada April 2023, setelah sebelumnya melapor tanpa pendampingan dan justru mendapat ancaman dan intimidasi dari tersangka dan pengikutnya.

Para korban mengalami kekerasan seksual di lingkungan ponpes dan berdasarkan pengakuan korban, LBH Apik mencatat 41 orang korban, jumlah itu pun diduga akan bertambah.

Tersangka memberikan doktrin dan informasi yang keliru pada para santriwati, yang mengatakan bahwa apa yang dilakukannya pada santriwatinya adalah pemberian cahaya dan mengaku dirinya sebagai wali Allah.

"Tersangka ini mengatakan pada para korbannya wajahnya akan memberikan cahaya jika bersedia mengikuti kemauannya, mengaku sebagai wali Allah, mendoktrin dengan mengatakan membiarkan apa pun yang terjadi pada diri santriwatinya karena yang melakukan perbuatan itu adalah tuan gurunya agar bisa mendapatkan cahaya," jelas Yanti.

Meski menolak, kata Yanti, para santriwati tak bisa berbuat apa-apa. Mereka sudah didoktrin untuk menjalankan perintah guru. Mereka percaya saja, apalagi tersangka HSN ini mengatakan dirinya sebagai wali Allah dan bisa memasuki dunia gaib.

"Saat menghadapi kekerasan itu, apalagi ada relasi kuasa dalam kasus ini, korban tak bisa melakukan apa pun, kecuali mematung. Tubuhnya tak bisa memberi reaksi apa pun, sementara hatinya memberontak ingin melawan, namun tidak berdaya, apalagi tersangka atau pelaku adalah tuan guru, orang yang dihormati dan panutan mereka," ulasnya.

Para santriwati juga menganggap tersangka sebagai orang yang harus diikuti, terpapar dalam pikiran mereka bahwa tuan guru ini suci.

"Setelah selesai menyetubuhi santrinya, mereka diancam jika menceritakan pada orang lain," kata Yanti.

Hingga akhirnya para santri saling menceritakan apa yang mereka alami, dan bertekad keluar dari tempat tersebut serta melaporkan apa yang dilakukan HSN pada mereka.

Para santri bahkan sudah banyak yang keluar dari pondok dan bekerja keluar pulau. Mereka takut dan ingin melupakan apa yang terjadi.

Namun semakin lama semakin banyak santriwati yang menjadi korban, hingga akhirnya ada di antara mereka yang berani melapor. Akhirnya kejahatan pimpinan ponpes ini pun terbongkar.

Dorong aparat serius tangani kekerasan seksual di ponpes

Bersama Koalisi Anti Kekerasan Perempuan dan Anak, yang di dalamnya terdapat sejumlah aktivis pemerhati anak dan perempuan, para pengacara yang tergabung dalam Lembaga Bantuan Hukum NTB mendorong aparat kepolisian serius mengani kasus kasus kekerasan seksual di sejumlah pondok pesantren di wilayah Lombok Timur dan NTB.

Meskipun APH berkomitmen menuntaskan kasus ini sampai pelaku diberikan hukuman yang maksimal, namun Koalisi Anti Kekerasan Perempuan dan Anak (LBH Apik) sebagai pendamping korban dan LSBH NTB sebagai tim kuasa hukum dan aktivis perempuan dan HAM yang memiliki komitmen yang sama, akan mengkawal kasus ini agar memberikan rasa keadilan pada korban.

"Keadilan yang kami maksud tidak hanya bicara soal bagaimana proses pengadilan hingga putusan pada pelaku atau tersangka dengan hukuman seberat-beratnya, tetapi juga bagaimana pemulihan terhadap korban dan perlindungan terhadap saksi dan menjaga kerahasiaan identitas korban," jelas Yanti.

Minta bantuan LPSK

Karena kasus kekerasan seksual di lingkungan ponpes ini sangat sensitif dan rawan intimidasi pada korban dan keluarganya, maka atas dasar itu LSBH Apik akan meminta bantuan Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK).

"Ada korban dan saksi-saksi kunci yang mau memberikan keterangan, keselamatan mereka sangat rentan, sangat membutuhkan perlindungan LPSK, mereka banyak yang diancam melalui WA, media sosial, dan mendatangi langsung korban, keluarga ataupun saksi," terang Ketua LBH Apik NTB ini.

Terkait kasus yang menjadi sorotan publik ini, Kasat Reskrim Polres Lombok Timur, AKP Hilmi Manusson Prayogo mengatakan, pihaknya terus mendalami kasus yang menimpa para santriwati tersebut.

"Kasus ini kami proses lebih lanjut, meminta keterangan dari sejumlah saksi dan saksi korban,"  katanya.

Hilmi menyatakan, Polres Lombok sangat memperhatikan kasus-kasus yang melibatkan perempuan dan anak ini.

"Ini untuk masa depan keluarga kita, kalau bukan kita siapa lagi, sehingga kita mengatensi kasus ini," lanjutnya.

Hilmi mengatakan pihaknya terus menjaga agar situasi dua ponpes itu kondusif setelah pimpinannya ditahan. Korban juga telah diberikan perlindungan dan pendampingan oleh LBH Apik dan LSBH NTB.

https://regional.kompas.com/read/2023/05/22/131520078/pencabulan-41-santriwati-di-2-pesantren-ntb-korban-trauma-dan-sebagian

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke