Salin Artikel

Cerita Sumartono Hadinoto Korban Kerusuhan Mei 1998, Rumahnya Dikepung Massa, Butuh 1,5 Tahun Sembuh Trauma

SOLO, KOMPAS.com - Peristiwa kerusuhan dan pembakaran yang terjadi di Solo, Jawa Tengah, pada Mei 1998 masih membekas diingatan Sumartono Hadinoto.

Rumah sekaligus difungsikan sebagai kantor yang berada di Kawasan Jalan Ir Juanda tepatnya di Kampung Sewu, Kecamatan Jebres, Solo, menjadi sasaran pelemparan dan penjarahan para perusuh.

Massa sudah mengepung rumah Sumartono yang saat itu sudah aktif dalam organisasi Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS). Diketahui, PMS merupakan organisasi sosial kemasyarakatan di Solo.

Organisasi ini didirikan pada tahun 1932 dari gabungan enam organisasi Tionghoa. Seiring perkembangan, baik pengurus atau anggotanya sekarang tidak hanya keturunan dari Tionghoa.

Sumartono menceritakan dirinya tidak pernah berpikir dan mengetahui akan terjadinya peristiwa kerusuhan dan pembakaran pada 14-15 Mei 1998 yang mengakibatkan belasan ribu orang di Solo menjadi korban.

Dia mengetahui kerusuhan dan pembakaran Mei 1998 pecah bermula mendapat informasi dari salah satu temannya. Ia diberitahu ada aksi demonstrasi mahasiswa dari dua kampus besar di Solo.

Mereka menuntut adanya reformasi di Indonesia. Tetapi aksi itu kemudian berubah dan tidak terkendali menjadi gerakan massa yang menyebabkan kerusuhan dan pembakaran.

Karena ada informasi massa masuk ke Solo melalui Jalan Slamet Riyadi, Sumartono pun menghubungi teman-temannya supaya menutup tempat usahanya dengan tujuan supaya tidak menjadi sasaran aksi massa ini.

Belum selesai menghubungi satu persatu temannya, Sumartono dikejutkan dengan pelemparan batu yang mengenai genteng dan kaca rumahnya.

"Aku telepon teman-teman yang rumahnya Slamet Riyadi karena katanya masuknya (massa) lewat Slamet Riyadi. Telepon belum selesai dor gentengku dilempar bata, kaca juga," kata Sumartono mengawali kisahnya di Solo, Jawa Tengah, Senin (15/5/2023).

Sumartono kemudian dihubungi oleh ketua rukun warga (RW) melalui sambungan telepon supaya menyelamatkan diri bersama keluarganya karena depan rumahnya sudah dikepung oleh banyak orang.

"Terus saya ditelepon RW ku, Pak Martono ngungsi ke belakang ya. Ternyata depan rumahku sudah dikepung massa juga. Dan depanku tempat preman banyak. Katanya di luar sudah serem tapi aku tidak tahu. Dan mereka teriaknya sudah bakar-bakar gitu," ungkap dia.

Untuk mengevakuasi Sumartono dan keluarganya, ketua RT/RW menjebol dinding bagian belakang rumah Sumartono menggunakan linggis. Padahal, kala itu dirinya berencana membuka nasi liwet seribu rasa bersama dengan karang taruna dan ibu-ibu PKK.

Proses penyelamatan Sumartono dan keluarga dari rumahnya cukup dramatis melalui lubang tembok kecil. Sampai sekarang lubang bekas dia gunakan menyelamatkan diri bersama keluarga dari sejarah kelam terus dilestarikan. Lubang di tembok rumahnya itu dia pasangi pintu kecil sebagai pengingat.

"Lha RT-ku, RW-ku tak bobolke (tembok) lewat belakang jangan lewat depan. Tembok kuno kan lunak tidak pakai semen. Dibobol sampai sekarang tak lestarikan tak kasih pintu," ungkap dia.

"(Proses keluar rumah) ditarik kepalanya dulu. Aku, ibuku, istriku, semua yang ada di rumah. Semua diamankan di belakang (rumah). Sore itu sebenarnya saya mau buka nasi liwet seribu rasa," sambung pria yang merupakan salah satu tokoh Tionghoa asal Solo.

Sumartono mengaku dirinya bersama keluarga berlindung di rumah warga selama sepekan sampai kondisi benar-benar aman. Sebab penjarahan dan pembakaran terjadi di mana-mana dan tidak ada aparat keamanan yang mencegah massa.

"Mudah-mudahan kerusuhan Mei ini menjadi yang terakhir terjadi di Kota Solo khususnya. Bahwa kerusuhan ini kan sebuah keadaan yang diciptakan oleh siapa yang punya kepentingan kelompok tertentu yang mengorbankan Kota Solo dan Jakarta waktu itu. Paling parah secara jumlah paling banyak Jakarta. Tapi presentasi Solo paling parah. Semua perempatan di bakar," jelasnya.

Pascakerusuhan, dirinya mendirikan posko di PMS dan setiap lima kecamatan memiliki perwakilan. Posko diririkan guna membantu pemulihan bagi warga korban kerusuhan dan pembakaran Mei 1998.

"Tiap kecamatan punya perwakilan masing-masing di PMS. Didata yang surat-surat hilang, terbakar, akta-akta lahir dan lain-lain dikasih uang untuk biaya hidup selama tiga bulan. Anggota keluarga Rp 100.000, kepala keluarga Rp 150.000 tergantung anaknya berapa," jelas Sumartono.

"Kemudian setelah tiga bulan mereka kita suruh datang ke PMS kalau siap kerja kita kasih Rp 7 juta untuk modal awal. Kalau belum mundur lagi tiga bulan kita kasih uang. Seluruhnya yang jadi korban ada sekitar 16.000 orang termasuk keturunan dari Tionghoa," katanya.

Pria kelahiran Solo, 21 Maret 1956 menyampaikan dirinya membutuhkan waktu 1,5 tahun untuk sembuh dari trauma peristiwa kerusuhan dan pembakaran Mei 1998. Bahkan dirinya sampai melakukan meditasi agar sembuh dari trauma tersebut.

"Aku dirawat dokter psikiater 1,5 tahun karena obat stres itu harus diberikan sampai normal. Keluarga juga stres semua tapi tidak separah aku," ungkap Sumartono yang menjabat CEO Palang Merah Indonesia (PMI) Solo.

https://regional.kompas.com/read/2023/05/15/222825378/cerita-sumartono-hadinoto-korban-kerusuhan-mei-1998-rumahnya-dikepung-massa

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke