Salin Artikel

Ketika Petani dan Nelayan di Nunukan Tinggalkan Profesi Mereka demi Rumput Laut, Kerawanan Pangan Jadi Ancaman Serius

Di satu sisi, rumput laut menjadi usaha mandiri masyarakat dan menjadi sumber perputaran ekonomi. Namun di sisi lain, menimbulkan ancaman serius yang tidak bisa dipandang sebelah mata.

Sebagai contoh, sistem penanaman rumput laut di luar zonasi, berefek pada potensi kerusuhan sosial.

Bentangan rumput laut, menutup jalur kapal, juga meniadakan zona penangkapan ikan. Belum lagi, limbah yang dihasilkan, berupa botol bekas, menjadi problem serius yang tidak teratasi.

Data Asosiasi Rumput Laut Nunukan mencatat, dalam sebulan, pengiriman rumput laut dari Kabupaten Nunukan, berkisar sekitar 6.000 ton atau sekitar Rp 25 miliar.

Cepatnya perputaran ekonomi sektor rumput laut, membuat petani dan nelayan di perbatasan RI–Malaysia ini meninggalkan profesi mereka. Di mana kondisi ini, menjadi ancaman potensi kerawanan pangan.

"Kita memilih pindah usaha rumput laut karena lebih cepat panen dan perputaran uangnya juga dua kali lebih cepat dibanding bertani padi," ujar Herni, Jumat (6/5/2023).

Herni yang tadinya menggarap 1 hektar sawah, memutuskan beralih usaha rumput laut.

Ia membandingkan, jika tadinya hanya mendapatkan Rp 10 juta dalam 3 bulan atau satu kali siklus panen padi, dengan membudi daya rumput laut, ia bisa mendapatkan Rp 10 juta dalam waktu 40 hari, sebagaimana siklus panen rumput laut.

"Artinya dalam tiga bulan kita panen dua kali, dan hasilnya dua kali lipat dibandingkan bertani," imbuhnya.

Selain itu, saat menggarap sawah, Herni memiliki kesulitan sendiri karena terkendala hand traktor untuk membajak sawahnya.

"Mesin bajaknya sedikit sehingga harus nunggu giliran. Kalau rumput laut mudah dan lebih cepat menghasilkan," tambahnya.

Salah seorang nelayan di Sebatik, Basri mengatakan, dengan usaha rumput laut, ia bisa mendapat penghasilan tetap setiap panennya.

Jika dibandingkan melaut atau menjadi nelayan dengan penghasilan tidak menentu, rumput laut lebih membuatnya terjamin.

"Kita bisa merencanakan akan bagaimana bulan depan, akan beli apa nanti, istilahnya pengeluaran kita bisa diatur sedemikian rupa karena sudah tahu berapanya. Beda kalau melaut, kadang dapat, kadang tidak, dan risikonya jauh lebih besar dari pada rumput laut," tuturnya.

Melihat ancaman serius ini, Wakil Ketua DPRD Nunukan, Burhanuddin, mengatakan perlunya seluruh stakeholder duduk bersama untuk membahas solusi terhadap persoalan yang terjadi.

"Alih profesi para petani dan nelayan, menjadi persoalan serius dan mengancam pemenuhan kebutuhan pangan di Nunukan. Kalau tidak mulai ditindaklanjuti sekarang, ke depan akan menjadi masalah berkepanjangan," katanya.

Saat ini, lanjut Burhan, alih profesi nelayan kian mengkhawatirkan. Peralihan profesi nelayan ke rumput laut, terlihat dari berkurangnya pengambilan es batu di pabrik yang sangat jauh menurun dibandingkan sebelumnya.

Burhan memperkirakan, lebih 50 persen nelayan di Pulau Sebatik, sudah berprofesi sebagai pembudi daya rumput laut.

Demikian juga dengan petani. Secara kasat mata, bisa dilihat jelas dari luasan areal sawah garapan.

Padahal dulunya, sejumlah lokasi di Pulau Sebatik menjadi penghasil padi. Sementara saat ini, hamparan sawah yang membantang tak ubahnya lapangan kosong yang hanya ditumbuhi rumput sejauh mata memandang.

"Kita di Kaltara ini menjadi salah satu penunjang pangan untuk Ibu Kota Negara (IKN). Jadi akan sangat riskan kalau kondisi ini tidak ada solusi. Jangan sampai ada kalimat pembiaran dan mengandalkan selama barang Sulawesi masuk, kebutuhan pangan Nunukan aman. Konsumtif Itu bukan solusi," kata Burhan.

https://regional.kompas.com/read/2023/05/05/140232278/ketika-petani-dan-nelayan-di-nunukan-tinggalkan-profesi-mereka-demi-rumput

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke