Salin Artikel

Mengenal Lebaran Ketupat, Tradisi Syawalan Warisan Sunan Kalijaga

KOMPAS.com - Tak hanya menjadi sebutan bagi hidangan khas lebaran, masyarakat muslim di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa mengenal tradisi Lebaran Ketupat.

Seperti namanya, Lebaran Ketupat juga erat dengan munculnya hidangan khas lebaran yaitu ketupat.

Berbeda dengan perayaan Hari Raya Idul Fitri yang merupakan hari besar keagamaan dan dirayakan dengan ibadah shalat, Lebaran Ketupat lebih dimaknai sebagai simbol kebersamaan.

Dilansir dari laman resmi Desa Jatimulyo, Kecamatan Petanahan, Kabupaten Kebumen, Lebaran Ketupat bukan tambahan ibadah.

Dalam pelaksanaannya tidak ada unsur-unsur ibadah sama sekali, seperti tidak ada takbiran maupun bentuk shalat, namun hanya sekedar berkumpul atau menghantar sedekah makanan berbentuk ketupat.

Tradisi ini dilaksanakan dengan bersilaturahmi ke tetangga dan kerabat dengan menyuguhkan makanan khas berupa ketupat yang akan dinikmati bersama setelah puasa sunah 6 hari bulan Syawal.

Apa Itu Lebaran Ketupat?

Dilansir dari laman NU Online, Lebaran Ketupat adalah tradisi masyarakat muslim di Indonesia khususnya di Pulau Jawa yang dilaksanakan setelah Hari Raya Idul Fitri.

Tradisi Lebaran Ketupat akan dilaksanakan satu minggu atau tujuh hari setelah Hari Raya Idul Fitri.

Oleh karena itu, tradisi ini di beberapa wilayah juga dikenal sebagai tradsi Syawalan.

Pelaksanaan tradisi Lebaran Ketupat juga biasa disebut sebagai “hari raya kecil”.

Hal ini karena tradisi ini dilakukan setelah menunaikan puasa Syawal selama enam hari atau puasa kecil dibandingkan dengan Hari Raya Idul Fitri yang didahului puasa Ramadhan selama 1 bulan.

Sejarah Lebaran Ketupat

Dilansir dari laman NU Online, sejarah Lebaran Ketupat sangat erat kaitannya dengan sosok Sunan Kalijaga, salah satu Wali Songo yang bertugas menyebarkan ajaran Islam di tanah Jawa..

Masyarakat Jawa mempercayai bahwa Sunan Kalijaga menjadi sosok yang pertama kali memperkenalkan tradisi Lebaran Ketupat.

Budayawan Zastrouw Al-Ngatawi menyebut bahwa tradisi kupatan (Lebaran Ketupat) muncul pada era Wali Songo dengan memanfaatkan tradisi slametan yang sudah berkembang di kalangan masyarakat Nusantara.

Tradisi ini kemudian dijadikan sarana untuk mengenalkan ajaran Islam, terutama mengenai cara bersyukur kepada Allah SWT, bersedekah, dan bersilaturahmi di hari lebaran.

Saat menyebarkan ajaran Islam di tanah Jawa, Sunan Kalijaga memperkenalkan dua kali lebaran, yaitu pada Hari Raya Idul Fitri dan Lebaran Ketupat (Bakda Kupat).

Kapan Lebaran Ketupat Dirayakan?

Dikutip dari pemberitaan Kompas.com (22/04/2023), Kepala Kanwil Kemenag Provinsi Jawa Tengah, Musta'in Ahmad mengatakan bahwa Lebaran Ketupat dikenal dalam konsep budaya Indonesia, khususnya Jawa dimulai pada tanggal 7 Syawal sore.

"Biasanya mulai tanggal 7 Syawal sore, setelah 6 hari puasa sunah Syawal pada 2-7 Syawal," ujar Musta'in, saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (15/4/2023).

Dengan kata lain, tradisi Lebaran Ketupat akan dilaksanakan satu minggu atau tujuh hari setelah Hari Raya Idul Fitri.

Pelaksanaan Lebaran Ketupat dilakukan setelah puasa enam hari di bulan Syawal yang dimulai pada tanggal 2-7 Syawal atau selama enam hari berturut-turut.

Kemudian pada tanggal 8 Syawal, umat muslim akan kembali merayakan lebaran yang disebut sebagai Lebaran Ketupat.

Sebagai contoh, Lebaran Ketupat 2023 atau 8 Syawal 1444 H adalah pada Sabtu, 29 April 2023 karena sebelumnya pemerintah melalui Kemenag telah menetapkan 1 Syawal 1444 H atau Hari Raya Idul Fitri 2023 jatuh pada hari Sabtu, 22 April 2023.

Makna Perayaan Lebaran Ketupat

Makna tradisi Lebaran Ketupat tidak jauh dari filosofi ketupat bagi orang Jawa.

Dilansir dari laman NU Online, sebutan “ketupat” atau “kupat” yang berasal dari kata bahasa Jawa “ngaku lepat” berarti “mengakui kesalahan”.

Sehingga makna Lebaran Ketupat bagi sesama Muslim mengandung harapan untuk saling mengakui kesalahan dan saling memaafkan serta melupakan kesalahan dengan cara memakan ketupat tersebut.

Sebagian masyarakat juga memaknai Lebaran Ketupat dari rumitnya anyaman janur yang digunakan sebagai bungkus ketupat mencerminkan berbagai macam kesalahan manusia.

Adapun warna putih ketupat ketika dibelah dua mencerminkan kebersihan dan kesucian setelah mohon ampun dari kesalahan.

Sementara dilansir dari laman Kemenag Jateng, ketupat bermakna "jarwo dosa" (ngaku lepat) atau mengaku bersalah.

Adapun janur pembungkusnya disebut janur yang bermakna "jatining nur" atau hati nurani sementara beras (isi ketupat) melambangkan nafsu dunia.

Ketupat juga mempunyai makna "laku papat" yaitu "lebaran", "luberan", "leburan", dan "laburan".

Lebaran bermakna sudah usai yang menandakan berakhirnya waktu puasa.

Luberan bermakna meluber atau melimpah yang menandakan ajakan bersedekah untuk kaum miskin atau pengeluaran zakat fitrah.

Leburan bermakna sudah habis dan lebur yang menandakan dosa dan kesalahan akan melebur habis karena setiap umat islam dituntut untuk saling memaafkan satu sama lain.

Terakhir, Laburan yang berasal dari kata labur (kapur yang biasa digunakan untuk penjernih air maupun pemutih dinding) bermakna supaya manusia selalu menjaga kesucian lahir dan batin.

Sumber:
jatimulyo.kec-petanahan.kebumenkab.go.id  
nu.or.id 
kemenag.go.id 
jateng.kemenag.go.id 
kompas.com(Penulis : Dandy Bayu Bramasta, Editor : Farid Firdaus)

https://regional.kompas.com/read/2023/04/25/231656478/mengenal-lebaran-ketupat-tradisi-syawalan-warisan-sunan-kalijaga

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke